ENG-ING-EENG tidak ada lagi di TVRI. Penyanyi Benyamin hilang
wajahnya sebagai tokoh truk, tokoh tektil dan entah tokoh apa
lagi. Sejumlah obat antiketombe, antipegal dan antipanu juga
lenyap dari layar sejak 1 April. Yang menarik: kini hampir
sebulan setelah itu, nampaknya dengan mudah penonton bisa
menyesuaikan diri terhadap kenyataan bahwa S. Bagio tak lagi
tukang bakso yang berbunyi "mbrllw llw . . ."
Banyak orang yang menganggap iklan perlu, tapi banyak juga yang
memang mengakui, bahwa iklan di TVRI "mendorong pola konsumsi
tinggi." Dalam sebuah pengumpulan pendapat yang dilakukan TEMPO
baru-baru ini, dari hampir 600 responden di Jakarta dan daerah,
30% lebih menganggap alasan itulah yang tepat untuk meniadakan
iklan di TVRI. Hanya 23% lebih yang menganggap iklan perlu
dihapuskan karena "mengganggu waktu belajar anak-anak."
Dengan kata lain, nampaknya penonton cukup sadar, dan kritis,
terhadap pengaruh iklan di TVRI. Terutama pengaruh bagi diri
mereka sendiri.
Misalnya 37% responden mengatakan bahwa mereka mendapat
informasi suatu barang dari surat kabar. Sementara itu, 35,99%
mendapatnya dari TVRI. Namun ketika ditanya iklan di media
manakah yang mempengaruhi keputusan mereka untuk membeli sebuah
barang, 36,87% menjawab: TVRI. Hanya 28,54% yang menyatakan
terpengaruh oleh suratkabar, sementara 14% terpengaruh oleh
"pembicaraan tetangga dan atau teman."
Peranan utama dari iklan di TVRI rupanya bukan menghibur, bukan
pula menambah pengetahuan. Sebanyak 44,32% responden menganggap
jika ada alasan agar iklan di TVRI dipertahankan, maka itu
adalah karena iklan "memberikan informasi tentang suatu barang."
Tapi sementara itu tidak banyak responden yang bisa menganggap
bahwa penyajian iklan di TVRI "baik". Sebagian besar, 47,51%
menganggapnya "sedang", sementara yang menilai "baik" cuma
28,9%. Bahkan di Aceh, sebagian besar responden (41,17%)
menganggap penyajian iklan di TVRI "buruk". Lawan dari Aceh
ialah Sulawesi Utara, Irian Jaya dan Bali -- tempat sebagian
besar responden menganggap penyajian TVRI dalam hal iklan
"baik".
Sebagian besar responden -- kecuali responden di Bali --
menganggap iklan obat-obatan kurang jujur. Yaitu 75% lebih
membenarkan bahwa iklan obat-obatan disajikan dengan berlebihan
dan menyesatkan. Iklan yang dinilai paling menarik -- meskipun
sejak lama sudah dipotong -- adalah kaset lagu. Tapi ini pun
hanya disukai 20% responden.
Yang mengherankan ialah agaknya cukup banyak penonton -- sampai
25% -- yang ketika mula-mula melihat siaran iklan di TVRI tidak
mengetahui bahwa perusahaan pembuat produk membayar TVRI untuk
iklannya. Barangkali ada penonton yang menduga bahwa TVRIlah --
sebuah media pemerintah -- yang dengan sukarela menganjurkan
dibelinya suatu barang. Untunglah, sebagian besar responden
(75%) mengetahui bahwa iklan adalah iklan: pemuatannya dibayar.
Tentu saja kini, setelah iklan di TVRI dilarang dan menimbulkan
debat, soalnya jadi lebih jelas: bahwa TVRI mendapatkan uang
dengan iklan-iklannya. Tapi bagaimana pendapat penonton, bila
TVRI tak pakai iklan lagi? Dari mana seharusnya TVRI dapat dana
pengganti?
Sedikitnya 74,29% responden lebih suka pemerintahlah yang
menambah dana. Hanya 12,94% yang lebih suka bila iuran TVRI
dinaikkan lagi. Banyak orang Jawa Tengah yang menyokong soal
iuran ini.
Sementara itu, pilihan lain untuk memperoleh informasi tentang
suatu produk -- setelah TVRI tak memuat iklan lagi -- nampaknya
bukan radio atau majalah. melainkan suratkabar. Ada 63% lebih
responden yang menyatakan demikian.
Bagaimana dengan gagasan stasiun tv swasta? Sebagian besar
responden (68,43%) setuju. Hanya 17,37% tidak. Selebihnya
menyatakan "tidak tahu".
Dilihat dari tiap daerah, maka 100% responden di Riau menyetujui
gagasan stasiun swasta. Pendukung lain terhadap gagasan stasiun
swasta datang dari Jakarta (81,55%) dan dari Aceh (53%). Dalam
hal ini pun orang Sulawesi Utara dan Irian Jaya berbeda dari
Aceh: 55% responden Sulawesi Utara mengatakan "tak setuju", dan
ada 65% responden Irin Jaya yang bersikap sama.
Kenapa begitu banyak orang setuju akan ide didirikannya stasiun
TV swasta, tentulah perlu penelaahan lebih lanjut. Mungkin juga
itu berhubungan dengan penilaian mereka terhadap acara TVRI
selama ini. Patut dicatat, bahwa jumlah responden yang
menyatakan "jarang" menonton TVRI hampir seimbang dengan jumlah
responden yang menyatakan "sering" menonton, sekitar 44%.
Sebagian besar responden, 42,50%, bahkan hanya meluangkan waktu
antara setengah sampai satu jam. Lebih sedikit dari itu (41,48%)
yang bersedia menonton di atas satu jam.
Padahal sebagian besar responden hampir 56%, adalah wanita --
dengan asumsi mereka lebih sering di rumah. Hampir seperempat
dari jumlah seluruh responden adalah ibu rumah tangga, dan
kurang lebih jumlah yang sama adalah pegawai swasta. Tapi dari
90% lebih responden yang menjawab pengumpulan pendapat umum
TEMPO ini juga ada anggota ABRI, dokter, tukang cukur dan
pendeta serta pelajar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini