Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Kalau penonton TVRI ditanya

Hasil pengumpulan pendapat tempo mengenai iklan di tvri. diakui, iklan mendorong konsumsi tinggi. tapi mayoritas mendukung gagasan tv swasta. (md)

18 April 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ENG-ING-EENG tidak ada lagi di TVRI. Penyanyi Benyamin hilang wajahnya sebagai tokoh truk, tokoh tektil dan entah tokoh apa lagi. Sejumlah obat antiketombe, antipegal dan antipanu juga lenyap dari layar sejak 1 April. Yang menarik: kini hampir sebulan setelah itu, nampaknya dengan mudah penonton bisa menyesuaikan diri terhadap kenyataan bahwa S. Bagio tak lagi tukang bakso yang berbunyi "mbrllw llw . . ." Banyak orang yang menganggap iklan perlu, tapi banyak juga yang memang mengakui, bahwa iklan di TVRI "mendorong pola konsumsi tinggi." Dalam sebuah pengumpulan pendapat yang dilakukan TEMPO baru-baru ini, dari hampir 600 responden di Jakarta dan daerah, 30% lebih menganggap alasan itulah yang tepat untuk meniadakan iklan di TVRI. Hanya 23% lebih yang menganggap iklan perlu dihapuskan karena "mengganggu waktu belajar anak-anak." Dengan kata lain, nampaknya penonton cukup sadar, dan kritis, terhadap pengaruh iklan di TVRI. Terutama pengaruh bagi diri mereka sendiri. Misalnya 37% responden mengatakan bahwa mereka mendapat informasi suatu barang dari surat kabar. Sementara itu, 35,99% mendapatnya dari TVRI. Namun ketika ditanya iklan di media manakah yang mempengaruhi keputusan mereka untuk membeli sebuah barang, 36,87% menjawab: TVRI. Hanya 28,54% yang menyatakan terpengaruh oleh suratkabar, sementara 14% terpengaruh oleh "pembicaraan tetangga dan atau teman." Peranan utama dari iklan di TVRI rupanya bukan menghibur, bukan pula menambah pengetahuan. Sebanyak 44,32% responden menganggap jika ada alasan agar iklan di TVRI dipertahankan, maka itu adalah karena iklan "memberikan informasi tentang suatu barang." Tapi sementara itu tidak banyak responden yang bisa menganggap bahwa penyajian iklan di TVRI "baik". Sebagian besar, 47,51% menganggapnya "sedang", sementara yang menilai "baik" cuma 28,9%. Bahkan di Aceh, sebagian besar responden (41,17%) menganggap penyajian iklan di TVRI "buruk". Lawan dari Aceh ialah Sulawesi Utara, Irian Jaya dan Bali -- tempat sebagian besar responden menganggap penyajian TVRI dalam hal iklan "baik". Sebagian besar responden -- kecuali responden di Bali -- menganggap iklan obat-obatan kurang jujur. Yaitu 75% lebih membenarkan bahwa iklan obat-obatan disajikan dengan berlebihan dan menyesatkan. Iklan yang dinilai paling menarik -- meskipun sejak lama sudah dipotong -- adalah kaset lagu. Tapi ini pun hanya disukai 20% responden. Yang mengherankan ialah agaknya cukup banyak penonton -- sampai 25% -- yang ketika mula-mula melihat siaran iklan di TVRI tidak mengetahui bahwa perusahaan pembuat produk membayar TVRI untuk iklannya. Barangkali ada penonton yang menduga bahwa TVRIlah -- sebuah media pemerintah -- yang dengan sukarela menganjurkan dibelinya suatu barang. Untunglah, sebagian besar responden (75%) mengetahui bahwa iklan adalah iklan: pemuatannya dibayar. Tentu saja kini, setelah iklan di TVRI dilarang dan menimbulkan debat, soalnya jadi lebih jelas: bahwa TVRI mendapatkan uang dengan iklan-iklannya. Tapi bagaimana pendapat penonton, bila TVRI tak pakai iklan lagi? Dari mana seharusnya TVRI dapat dana pengganti? Sedikitnya 74,29% responden lebih suka pemerintahlah yang menambah dana. Hanya 12,94% yang lebih suka bila iuran TVRI dinaikkan lagi. Banyak orang Jawa Tengah yang menyokong soal iuran ini. Sementara itu, pilihan lain untuk memperoleh informasi tentang suatu produk -- setelah TVRI tak memuat iklan lagi -- nampaknya bukan radio atau majalah. melainkan suratkabar. Ada 63% lebih responden yang menyatakan demikian. Bagaimana dengan gagasan stasiun tv swasta? Sebagian besar responden (68,43%) setuju. Hanya 17,37% tidak. Selebihnya menyatakan "tidak tahu". Dilihat dari tiap daerah, maka 100% responden di Riau menyetujui gagasan stasiun swasta. Pendukung lain terhadap gagasan stasiun swasta datang dari Jakarta (81,55%) dan dari Aceh (53%). Dalam hal ini pun orang Sulawesi Utara dan Irian Jaya berbeda dari Aceh: 55% responden Sulawesi Utara mengatakan "tak setuju", dan ada 65% responden Irin Jaya yang bersikap sama. Kenapa begitu banyak orang setuju akan ide didirikannya stasiun TV swasta, tentulah perlu penelaahan lebih lanjut. Mungkin juga itu berhubungan dengan penilaian mereka terhadap acara TVRI selama ini. Patut dicatat, bahwa jumlah responden yang menyatakan "jarang" menonton TVRI hampir seimbang dengan jumlah responden yang menyatakan "sering" menonton, sekitar 44%. Sebagian besar responden, 42,50%, bahkan hanya meluangkan waktu antara setengah sampai satu jam. Lebih sedikit dari itu (41,48%) yang bersedia menonton di atas satu jam. Padahal sebagian besar responden hampir 56%, adalah wanita -- dengan asumsi mereka lebih sering di rumah. Hampir seperempat dari jumlah seluruh responden adalah ibu rumah tangga, dan kurang lebih jumlah yang sama adalah pegawai swasta. Tapi dari 90% lebih responden yang menjawab pengumpulan pendapat umum TEMPO ini juga ada anggota ABRI, dokter, tukang cukur dan pendeta serta pelajar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus