KANTIN TVRI Stasiun Jakarta senantiasa ramai. Di situ biasanya
boss berbagai perusahaan rekaman kaset lagu dan utusan biro
iklan berbincang-bincang dengan sejumlah karyawan TVRI. Mereka
biasanya menyinggung soal bagaimana caranya memperoleh prioritas
waktu untuk acara Siaran Niaga.
Tapi kebiasaan semacam itu -- setelah Siaran Niaga dihapuskan
dari TVRI mulai 1 April -- tak akan terjadi lagi. Itu berarti
kehilangan penghasilan bagi TVRI Jakarta sebulan paling sedikit
Rp 1 milyar. Tahun 1980/1981 pendapatan bersih iklannya mencapai
Rp 17 milyar.
Dan persoalan baru kini mulai dihadapi pengiklan dan biro iklan.
Yaitu bagaimana kelangsungan usaha bisnis tanpa TVRI. Sampai
belum lama ini telah terbiasa mereka senang menyalurkan sebagian
besar dana kampanye ke TVRI. Tahun 1979, misalnya, 28% dari Rp
105 milyar biaya periklanan dan promosi di Indonesia mengalir ke
TVRI.
Ke mana mereka akan mengalihkan dana kampanye? Jawabannya bisa
macam-macam. PT Tempo, penyalur tablet obat analgesik Bodrex,
akan memindahkan sebagian dana kampanye ke media cetak, termasuk
koran daerah, secara selektif. Ia juga merencanakan menambah
Mobil Propaganda Umum (MPU) yang kini 100 buah. Tahun lalu
kampanye Bodrex di TVRI menelan 60% dari seluruh biaya
periklanan PT Tempo. Tapi "kami tidak kehilangan atas
penghapusan Siaran Niaga TVRI," ujar Drs. Sudirman, salah
seorang direkturnya.
PT BAT (produsen rokok Commodore, 555, Ardath, Mascot dan
Diplomat) sudah sejak lama melupakan TVRI dan melancarkan
promosi dengan mensponsori berbagai pertandingan olahraga. Dalam
turnamen Marah Halim Cup di Medan tahun lalu, misalnya, PT BAT
mensponsori Rp 20 juta. Bahkan pameran lukisan pun pernah
disponsorinya. Sekalipun TVRI, koran Sinar Harapan dan Kompas
menolak iklannya, produksi BAT menguasai 35% pasaran rokok putih
di Indonesia tahun 1979. Dan tahun lalu sekitar angka itu juga
dicapainya.
Di saat TVRI menutup pintunya, sejumlah klien Biro Iklan Inter
Vista justru menambah anggaran kampanyenya. Beberapa di
antaranya malahan meningkatkan anggaran sampai 50%. Sejumlah
klien Biro Iklan Fortune juga bersikap demikian.
Media cetak (pusat maupun daerah) yang punya sirkulasi luas kini
jadi perhatian, menurut para eksekutif kedua biro iklan tadi.
Tapi pengaruh lenyapnya Siaran Niaga di TVRI itu belum segera
terasa buat Sinar Harapan. April ini, iklan yang masuk setiap
harinya baru 27% -- masih di bawah batas 35% dari semua 12
halaman koran Jakarta itu.
Radio El Shinta, Jakarta, sejak awal April mulai menolak iklan,
terutama untuk siaran pagi hari -- prime time, karena sudah
mencapai maksimum. Suatu tanda kalangan radio swasta niaga mulai
disukai kaum pengiklan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini