ASOSIASI Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) dituding sudah seperti kartel Organisasi Negara-Negara Produsen minyak (OPEC). Pernyataan ini dilontarkan Untung S.W., Presiden Direktur PT Royal Standard, yang menjadi pengurus Asosiasi Percetakan Kertas Komputer (Aspertaskom). Alasan Untung, sebagaimana dikemukakannya dalam pertemuan dengan wartawan awal pekan lalu, anggota APKI sudah beberapa kali berkumpul untuk menentukan harga patokan penjualan kertas. Asosiasi ini beranggotakan perusahaan Indah Kiat, Tjiwi Kimia, Surya Agung Kertas, Pindo Deli, Parasindo Pratama, Kertas Leces, Kertas Basuki Rachmat, Kertas Blabak, Suparma, Setia Kawan, Pura Barutama, dan Jaya Kertas. Dipimpin oleh Direktur Eksekutif Ir. Kahar Haryopuspito, organisasi ini sejak Desember 1993 setidaknya telah lima kali "bersidang" merumuskan harga patokan kertas cetak dan tulis. Pada 13 Desember 1993, delapan anggota hadir untuk menentukan kenaikan harga kertas tulis dan cetak rata-rata Rp 75 jadi Rp 1.650-1.950 (untuk empat jenis). Pembeli harus membayar paling lambat 45 hari. Kalau membayar kontan, mendapat potongan 5%. Pada 12 Januari 1994, anggota APKI berkumpul lagi, tapi yang hadir hanya empat anggota, sehingga tak ada keputusan perubahan harga. Namun, beberapa hari kemudian (tak jelas kapan), mereka telah menaikkan harga kertas rata-rata Rp 75. Lalu, pada 2 Maret 1994, terjadi pertemuan tujuh anggota, dan rupanya lebih dari kuorum. Kali ini mereka sepakat menaikkan harga kertas dengan rata-rata Rp 100. Syarat pembayaran menjadi ketat: paling lambat tujuh hari. Lewat dari itu, kena denda 2,5% per bulan. Kali ini tidak ada lagi penjualan tunai dengan diskon. Hasil rapat APKI 7 April 1994 lebih galak. Harga kertas rata- rata dinaikkan Rp 150. Syarat-syarat pembayaran sama seperti keputusan 2 Maret 1994. Juru bicara Indah Kiat dan Tjiwi Kimia, Suresh Kilam, tak mau menanggapi bahwa langkah-langkah APKI tersebut mirip kartel. "APKI tidak berwenang menentukan harga kertas. APKI hanya forum komunikasi. Kami kan harus melihat hubungan penawaran dan permintaan kertas di Indonesia. Kebutuhan cuma 2 juta ton, produksi 3,5 juta ton. Daripada sendiri-sendiri, lebih baik berkumpul membicarakan biaya masing-masing berapa," ujar Suresh. Apakah dalam pertemuan itu APKI juga melakukan kuota produksi, sebagaimana dilakukan OPEC, tak diungkapkan Suresh. Namun, menurut seorang pengurus SPS, pengurangan produksi mungkin juga telah dilakukan oleh APKI. Kendati tudingan kartel itu dilontarkan oleh anggota Aspertaskom, Ketua Aspertaskom Anton Partono tak mau menuding APKI sebagai kartel. Agaknya, pernyataan Untung S.W. tak mempan untuk memojokkan APKI. "Kita tidak bicara kartel," ujar Anton. Memang, para produsen kertas tidak pernah memaklumkan dirinya sebagai kartel, konon pula resmi bergabung dalam wadah yang memang sengaja didirikan sebagai sebuah kartel. Tapi apakah perlu sebuah organisasi untuk bisa bertindak sebagai kartel, ternyata tidak. Rapat-rapat APKI dan keputusan harga yang mereka ambil bukankah mencerminkan perilaku kartel? Dan terlebih lagi harga kertasnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini