NAMA apartemen di Jakarta selalu dalam bahasa Inggris, dan keputusan presiden yang kini disiapkan oleh sebuah tim antardepartemen akan cocok dengan hal itu. Mengapa? Karena keppres tersebut akan membuka peluang bagi warga negara asing (WNA) untuk memiliki rumah susun menengah dan mewah di Indonesia. Berita bagus itu dikumandangkan Menteri Negara Perumahan Rakyat Akbar Tandjung pekan lalu. Katanya, setiap tahun setidaknya 10.000 pekerja asing datang ke Indonesia dan perlu permukiman. "Itu kan pasar yang potensial," ujar Akbar. Ia pun segera mengkoordinasi tim antardepartemen untuk mengkaji peraturan hukum yang dapat mendukung realisasi ide tersebut. Upaya Akbar tentulah dimaksudkan untuk menggalakkan investasi asing di sini, yang diduga menyusut, antara lain, karena UU Agraria 1960 melarang pemilikan rumah oleh WNA. Namun, Profesor Boedi Harsono, guru besar Universitas Trisakti, mengatakan bahwa keppres tersebut sudah ketinggalan 30 tahun. Sebab, UU Agraria 1960 tidak melarang pemilikan rumah oleh WNA. Yang dilarang hanyalah pemilikan atas tanah. Menurut UU tersebut, hak atas tanah dan hak atas rumah itu terpisah. Dan WNA dapat memiliki hak atas rumah saja. Masalahnya, WNA hanya boleh membeli apartemen yang dibangun di atas tanah hak pakai. "Sekarang mana ada tanah hak pakai," cetus J.F. Ma'roef, Direktur PT Kemayoranland, yang membangun apartemen Park Royale di Jakarta. Lagi pula, tanah hak pakai tak dapat dijadikan agunan kredit. Sadar bahwa peraturan hukum dapat menghambat perkembangan bisnis, Pemerintah kemudian akan mengubah jangka waktu hak pakai dan kualitas hak pakai sehingga dapat dijadikan agunan. Namun, karena hak pakai diatur dalam UU, pengubahannya juga harus melalui UU. Dan itu makan waktu lama. Lantas, apakah keppres yang disiapkan itu kelak masih berguna? Menurut Ma'roef, kalau batasannya masih apartemen dengan tanah hak pakai, tentu sulit. Tapi, di pihak lain, Ma'roef juga mengakui, peluang untuk menjaring WNA memang ada. Minat untuk itu besar -- Ma'roef sendiri sering ditanyai apakah kolega asingnya dapat membeli rumah di Indonesia. "Tapi, menurut survei kami," kata Ma'roef lagi, "hanya 30% apartemen yang ditempati sendiri. Sisanya disewakan." Tak pelak lagi, investor asing yang kuat modal itu akan memanfaatkan peluang yang dibukakan keppres, untuk menangguk laba besar. Jadi, kalaupun bisnis apartemen dapat terpacu dengan membolehkan WNA membeli, risikonya, para WNA itu akan merajalela di sektor ini. Maka, Akbar berupaya meredam kemungkinan itu dengan beberapa pembatasan. Misalnya, tak semua WNA boleh membeli apartemen. Yang boleh hanya mereka yang memenuhi syarat izin kerja dan status keimigrasian. Bahkan, kata Akbar, mungkin akan ada persyaratan bahwa kepemilikan apartemen itu hanya boleh dialihkan setelah tiga tahun. "Jadi, tak bisa jual-beli seenaknya," ujarnya menandaskan. Tapi pihak developer tetap pesimistis. Ma'roef mengaku tak dapat menjawab kalau ditanya: "Bagaimana jika masa hak pakai itu habis?" Namun, ia menyadari, tanpa ketentuan hukum yang bijak, pembelian apartemen bisa sangat menguntungkan WNA. "Mereka akan terangsang untuk investasi. Dan ini akan mengembangkan bisnis lainnya, seperti jasa broker," katanya. Meski begitu, ada juga pengusaha yang optimistis, misalnya Todung Harahap, pemimpin PT Duta Adhiputra, developer apartemen senilai Rp 1 miliar. "Begitu ada keppres ini, saya akan berpromosi ke Singapura dan Hong Kong. Saya yakin, minat pembeli di sana besar," ujar Todung, yang siap melakukan antisipasi, dalam gaya seorang pengusaha sejati.Nunik Iswardhani, Ardian T. Gesuri, Diah Purnomowati, dan Iwan Qodar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini