Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Kartel dan kenaikan harga

Pasok kertas dalam negeri sudah melebihi permintaan, tapi produsen tetap mendikte harga. sps ingin bea masuk hapus, pabrik minta harga dinaikkan.

30 April 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KERTAS adalah pangan mental yang sangat dibutuhkan untuk mencerdaskan bangsa, demikian filofosi yang digariskan Serikat Grafika Pers (SGP) dan Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS) sejak 16 tahun yang lalu (1978). Sejak itu, dicanangkanlah tekad bahwa Indonesia perlu swasembada kertas. Pemerintah pun membantu swasta untuk membangun industri kertas. Program ini benar-benar terlaksana. Dalam tempo tak sampai 10 tahun, Indonesia sudah swasembada kertas. Bahkan di akhir 1980- an, beberapa produsen kertas menyerbu pasar luar negeri, karena produksinya melebihi kebutuhan lokal. PT Tjiwi Kimia misalnya, pada tahun 1989, sudah mengekspor buku tulis ke Timur Tengah. Bahkan tahun 1992, PT Lokomotif dituduh banting harga (dumping) oleh Australia. Mungkin karena bisnis kertas sudah mantap, sejak 2 April 1991 Pemerintah tidak lagi ikut campur dalam menentukan harga kertas. "Pemerintah membiarkan produsen dan konsumen memutuskan," kata seorang pengurus SPS. Tapi pasar bebas, yang biasanya menghasilkan harga yang pantas, di sini malah gagal. Bayangkanlah, dengan pasok kertas lebih besar dari permintaan, para produsen tetap bisa mendikte harga. Belakangan, malah semakin menjadi-jadi. Sejak Juli 1993, APKI (Asosiasi Pulp & Kertas Indonesia) dengan 12 perusahaan anggotanya sudah beberapa kali menaikkan harga. Misalnya harga kertas HVS ukuran 58 gram ke atas pada Juli 1993 masih Rp 1.550 per kg. Setelah beberapa kali dikerek, pada 7 April 1994, harga meloncat ke Rp 2.325 per kg atau naik 50%. Bahkan harga kertas ukuran lain naik sampai 65%. Ulah produsen kertas ini telah membangkitkan kejengkelan para konsumen. Pekan lalu, sejumlah asosiasi konsumen kertas berteriak dalam sebuah konferensi pers. Mereka menuduh bahwa industri kertas telah berbuat sewenang-wenang. "Ini kan sudah menjelang tahun ajaran (sekolah) baru. Kasihan rakyat kalau nantinya harga buku-buku pelajaran naik semua," tutur H.M. Fauzi Lubis, Ketua PPGI (Persatuan Percetakan Grafika Indonesia). Menurut Fauzi, kenaikan harga itu sangat tidak wajar dan mengada-ada. Kekesalan Fauzi dan kawan-kawan memuncak setelah tahu bahwa harga ekspor hanya US$ 600 (sekitar Rp 1.300) per ton atau Rp 1.300 per kg. "Mereka banting harga di luar, sewenang-wenang di dalam negeri," hardik Fauzi. Yang lebih membingungkan ialah, proteksi untuk produk kertas Indonesia masih diberikan Pemerintah dalam bentuk bea masuk kertas sekitar 58,4% (bea masuk 20% + bea masuk tambahan 20% dan pajak pertambahan nilai 10%). Padahal, harga kertas impor dari AS untuk ukuran 56 gram dalam bentuk rol sekarang ini hanya US$ 585 (sekitar Rp 1.265.000) per ton. Ini harga yang diberikan Dairi Paper (USA) Corporation kepada sebuah perusahaan di Indonesia tgl 11 April 1994 dengan kualitas W/F high bright bond paper, 86% brightness. Berarti, harganya per 1 kg hanya sekitar Rp 1.265. Jika ditambah BM 20%, BMT 20%, dan PPN 10%, harganya jadi Rp 2.000 per kg. "Itu kan harga dumping," kilah Suresh Kilam, anggota pengurus APKI. "Harga jual di Jepang, Australia, dan Amerika jauh lebih tinggi dari Indonesia. Di sana mencapai US$ 925 - US$ 1.050 per ton. Tapi untuk ekspor, mereka jual rendah. Kalau kita mau bersaing, harus kasih harga yang sama," ujar eksekutif dari PT Tjiwi Kimia dan PT Indah Kiat Pulp & Paper itu. Menurut Suresh, kenaikan harga kertas tulis dan cetak disebabkan karena harga pulp (bubur kertas) yang melonjak luar biasa sejak akhir tahun 1993. Faktanya, harga pulp awal November 1993 masih US$ 310, tapi tengah April 1994 sudah US$ 600. "Itu kan sudah naik 90%. Kalau dihitung menurut kurs rupiah, itu sudah naik 105%," Suresh berucap kepada R. Indra dari TEMPO. Sedangkan kenaikan harga kertas dalam periode yang sama (November-April) di Indonesia, katanya, baru 38,5%. Suresh membantah bahwa proteksi bagi kertas di sini kelewat tinggi. "Bea masuk di Filipina 30%, di Thailand 35%, RRC 51%, dan India 101%," kata Suresh lagi. Dumping kertas koran kabarnya juga dilakukan PT Aspex Paper (milik Bob Hasan dan perusahaan Korea), dan PT Kertas Leces. "Mereka ekspor dengan harga sampai pelabuhan penerima (C&F) US$ 450 per ton," tutur seorang pengurus SPS yang tak mau disebut namanya. "Harga itu lebih murah Rp 350 per kg dibandingkan harga di dalam negeri," tambahnya. Aspex dan Leces, kata sumber tadi, kini sedang berunding dengan SPS. Kedua BUMN itu hendak menaikkan harga kertas koran pada September depan, sedangkan SPS justru minta harga diturunkan menjadi sama dengan harga ekspor. SPS kini tengah berupaya agar untuk kertas diterapkan asas no tax on knowledge (bebas pajak demi ilmu) seperti di beberapa negara lain. Tingginya bea masuk boleh jadi karena Pemerintah juga memiliki pabrik kertas - di antaranya PT Kertas Leces dan PT Pabrik Kertas Goa -- yang selama ini terus merugi. Memang, bulan lalu Pemerintah telah mengoperkan PT Kertas Goa 100% kepada Kelompok Humpuss. Ini dilakukan karena BUMN itu yang berlokasi di Sulawesi Selatan itu merugi Rp 6 miliar dan menanggung utang sekitar Rp 20 miliar. PT Kertas Leces - berkapasitas 160.000 ton - tidak lebih baik. Tahun lalu BUMN ini merugi Rp 10 miliar. Namun, menurut direktur keuangannya, "Sampai Maret 1994 sudah laba sekitar Rp 2,5 miliar. Ini karena kami telah melakukan efisiensi, dan juga karena harga kertas naik," ujar Supardi kepada K. Candra Negara dari TEMPO. Dengan keterangan ini, jelaslah duduk perkaranya. Lalu, sampai berapa lama lagi rakyat Indonesia harus menyubsidi industri-industri yang hanya bisa merugi itu? Apakah mereka tidak cukup dibebani oleh pajak yang semakin lama semakin banyak ragamnya? Apakah ini ekonomi pemerataan? Max Wangkar, Nunik Iswardhani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus