Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Mau menjaring 10 juta WP?

Setelah 10 tahun, pemerintah menilai UU Perpajakan perlu diubah. tujuannya yang utama: memperbanyak jumlah wajib pajak menengah ke atas.

30 April 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KWIK Kian Gie, Ketua Penelitian dan Pengembangan PDI, agaknya sudah lama mendambakan pemerintah memperbarui peraturan di bidang perpajakan. Ia memang sudah lama mendengar, pemerintah ingin menjala dana lebih banyak dari pajak karena penghasilan dari sektor minyak tak lagi dapat diandalkan. Keinginan Kwik itu tampaknya tak lama lagi bakal kesampaian. Dewasa ini, sebuah tim ahli dan anggota DPR tengah merevisi undang-undang perpajakan, yang telah berumur sepuluh tahun. Perubahan itu diperkirakan selesai akhir April ini, dan baru diserahkan ke DPR Juni mendatang. Sebelum diterapkan, Januari 1995, hasil revisi itu akan diuji dahulu oleh tim Harvard, Amerika. Apa saja yang disentuh oleh revisi itu masih terlalu pagi untuk diramalkan. Tapi pekan lalu ada seminar di Jakarta yang khusus membicarakan revisi perpajakan. Dalam pidato pembukaannya, Menteri Keuangan Mar'ie Muhammad mengatakan, revisi itu harus dibuat sesederhana mungkin, transparan, dan menutup peluang kolusi. Adapun pembahasan rancangan revisi sudah dilakukan tim pajak sejak Oktober 1993. Sekarang ini, sedikitnya ada 12 usul yang tengah dibahas oleh tim pajak, di antaranya mengenai perluasan withholding tax, penyusutan aset, penertiban yayasan-yayasan, penilaian kembali aset perusahaan yang masuk bursa, pengenaan capital gain secara final, hingga usul perubahan tarif. Selain itu, pengenaan tarif khusus atas warisan masih terus dikaji. "Karena warisan ini menyangkut hukum adat Indonesia," kata sumber TEMPO. Juga dikaji lagi, apakah perlu dibentuk peradilan pajak khusus di daerah-daerah. Tapi, dari berbagai usul tadi, agaknya tarif pajaklah yang banyak menyita waktu dan tenaga. Tarif pajak memang sering dikaitkan dengan asas keadilan. Kwik, misalnya, menilai tarif pajak penghasilan (PPh) yang berlaku sekarang ini kurang adil. Menurut Kwik, wajib pajak (WP) yang berpenghasilan bersih Rp 50 juta dikenai tarif yang sama dengan WP yang penghasilannya Rp 20 miliar. Maka, Kwik mengusulkan ragam tarif pajak diperbanyak dari tiga menjadi enam tarif. Kwik memasang tarif pajak paling rendah 10% dan tertinggi 60%. Adapun penghasilan yang terkena pajak: minimal Rp 12 juta setahun. Untuk penghasilan lebih dari Rp 10 miliar, Kwik mengusulkan pajaknya 60%. Dan untuk penghasilan Rp 500 juta-Rp 1 miliar, tarif pajaknya 30%. "Dengan beban pajak ini, wajib pajak masih bisa hidup makmur," Kwik memastikan. Rizal Ramli juga mengusulkan tarif pajak baru. Pakar ekonomi ini bahkan berpendapat, warisan juga perlu dikenai PPh. "Masa anak-cucu enak-enakan menikmati harta warisan. Ini kan namanya tidak menghormati etos kerja," begitu alasannya. Sementara itu, Aberson dari Komisi VII DPR mengusulkan peninjauan terhadap pajak atas barang (PPN) dan kekayaan (PBB). "Tapi saya tidak setuju dengan usul gradasi (ragam) pajak yang tinggi," kata Aberson. Katanya, pengenaan tarif yang lebih beragam dan tinggi mendorong WP menghindari pajak. Mungkin karena itu pula, ahli pajak dan anggota DPR sangat berhati-hati menggodok tarif. Namun, menurut sumber TEMPO, Pemerintah memang tidak bermaksud mengubah tarif PPh yang sekarang: 15%, 25%, dan 35%. Agaknya, Pemerintah becermin pada pengalaman masa lampau. Ketika tarif penghasilan diturunkan dari 45% menjadi paling tinggi 35%, ternyata penerimaan pajak justru meningkat. "Dan lagi, beberapa negara malah mulai menurunkan tarif pajak penghasilannya," sumber tadi menambahkan. Karena itu pula, Pemerintah hanya mengutak-atik jumlah penghasilan yang dipajaki - jadi, bukan tarifnya. Konon, Pemerintah merencanakan, untuk penghasilan sampai Rp 25 juta, tarifnya 15%. Adapun penghasilan Rp 25 juta-Rp 100 juta (sebelumnya Rp 11 juta-Rp 50 juta) dikenai PPh 25%. Dan di atas Rp 101 juta (sebelumnya di atas Rp 51 juta) dikenai tarif 35%. Kebijaksanaan ini - menurut sumber yang tak mau disebut namanya itu - diambil dengan memperhitungkan jumlah golongan berpenghasilan menengah yang sudah semakin banyak. Sementara soal tarif belum begitu jelas, lain halnya dengan withholding tax dan pengenaan pajak atas capital gain. Menurut Dirjen Pajak Fuad Bawazier, mulai tahun depan akan lebih banyak objek pajak yang dipungut dengan sistem withholding tax (bayar di muka). Fuad memberi contoh transaksi atas tanah dan bangunan. Pemungutan pajak di muka, saat ini, baru diterapkan atas bunga deposito yang terkena 15% final, penghasilan penyalur Bulog, penyalur Pertamina, dan pola bagi hasil PT Telkom. "Cara ini lebih efisien, efektif, dapat menghindari kolusi," kata Fuad. Memang, penerimaan pemerintah dari pajak tampaknya kurang menggembirakan. Kendati melebihi target, kenaikannya tidak memenuhi harapan. Target kenaikan 20%, realisasinya kurang dari 10%. Kini, sekalipun agak terlambat, Pemerintah mulai gencar membidik penerimaan nonmigas. Apalagi di akhir Pelita VI penghasilan minyak diperkirakan tinggal 22% dari penerimaan dalam negeri. Jadi, pemerintah harus mencari sumber penghasilan baru. Sementara itu, pengamat perpajakan Husein Kartasasmita menilai, aparat pajak belum efektif menjangkau para WP. Bekas Sekditjen Pajak ini mengambil contoh WP perorangan. Menurut Husein, sampai saat ini baru tercatat 3 juta WP perorangan, atau hanya 1,7% dari semua penduduk Indonesia. Padahal, oleh Profesor Mubyarto disinyalir bahwa 32,7% penduduk Indonesia adalah orang kaya. Dari situ Husein menghitung, seharusnya kini di Indonesia ada 13 juta orang kaya. Berarti, ada 10 juta WP yang belum terjaring. Husein menduga, itu terjadi bukan karena WP menghindar, melainkan hanya karena mereka tak mengerti atau takut. "Jadi, di samping pembinaan perlu ditingkatkan, budaya malu juga harus dihidupkan," kata Husein. Ya, ada benarnya juga.Bambang Aji, Bina Bektiati, dan Sri Pudyastuti R.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum