BAGI seorang wartawan, tidak ada upacara," begitu petuah Madikin Wonohito kepada istri para wartawannya. Kata sakti itu mencerminkan kewartawanan Pak Won, tokoh pers tiga zaman yang meninggal dunia di Yogyakarta, Jumat pekan lalu. Kepada masyarakat pembaca di Jawa Tengah khususnya, dia mewariskan Kedaulatan Rakyat (KR), surat kabar harian yang sejak terbit belum pernah dibreidel. Dikenal sebagai tokoh pers Pancasila Wonohito, 72, berpulang setelah menderita sakit jantung 41 hari. Pemimpin Umum KR, ayah seorang anak dan kakek delapan cucu, ini Sabtu pekan lalu dikebumikan di Taman Pahlawan Kusuma Negara, Yogyakarta. Dia menjadi pemimpin redaksi KR selama 37 tahun, sebelum beralih ke tugas pemimpin umum pada tahun 1980. KR, yang terbit 12 halaman - kini oplahnya 35.000 eksemplar - memang dikelola dengan policy pemberitaan yang dasar-dasarnya diletakkan sendiri oleh Pak Won. Dalam pandangan bekas anggota Dewan Pertimbangan Agung kelahiran Gombong, Jawa Tengah, ini, pers Indonesia haruslah melihat pembaca - dan juga pemegang kekuasaan - sebagai tetangga. "Jika pohon tetangga mengganggu rumah kita, kita tidak akan menegurnya dengan keras," kata Iman Sutrisno, Pemimpin Redaksi KR, mengulang ucapan Almarhum. Iman, 48, yang menggantikan Pak Won sejak Mei 1980 silam, tampaknya akan meneruskan policy pemberitaan yang sudah dirintis pendahulunya itu. Oleh Pak Won sendiri filsafat kewartawanannya disebut sebagai "pers Pancasila". Ini kurang lebih berarti, pers yang tak dikembangkan dengan watak "aku" ataupun "kami". Pers Pancasila "bersendikan 'kita', kebersamaan, tidak berat ke sana kemari, melainkan paduan yang berkeseimbangan," kata Wonohito di hadapan pers mahasiswa pengikut pendidikan pers di Cibubur, Jakarta Timur, Oktober silam. Agaknya, tidak semua orang setuju dengan Pak Won. "Sikap yang demikian bisa dicap tidak tegas," ujar Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo, bekas wali kota Yogyakarta. Dari koran tua Kota Gudeg yang terbit sejak 17 September 1945 ini, pembaca memang tak usah menunggu berita yang "mengagetkan". "Dari duru," ujar Soedarisman, "KR tak berpartai, dan selalu berhati-hati." Pak Won, anak kepala stasiun kereta api lahir 31 Desember 1912 - mulai menulis tahun 1934 di majalah umum Politieke Tribune. Kemudian dia membantu Bintang Timoer yang dipimpin Parada Harahap, salah seorang perintis pers nasional. Ketika kuliah di Sekolah Tinggi Hukum (Rechts Hogeschool) Jakarta, Wonohito bergaul dengan tokoh pers yang satu ini. Barangkali Wonohito memang tak tertarik menjadi ahli hukum. Ia beralih ke Faculteit der Letteren en Wijsbegeerte yang didirikan Belanda tahun 1940 dan kemudian dikenal sebagai Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Ketika Jepang datang, Wonohito pun pindah ke Bogor menjadi wakil pemimpin redaksi Prajurit, majalah PETA, 1945. Di kota ini pula dia kemudian mendirikan Gelora Rakyat. 1945-1947. Setelah tentara Sekutu datang, Wonohito aktif sebagai wartawan keliling KR, sampai kemudian hijrah ke Yogya menjadi pemimpin redaksi surat kabar itu, dari 1948 hingga 1980. Dengan latar belakang demikian, bagi Pak Won, pers tetaplah diselimuti "romantisme" masa "republiken" dulu. Sebagai pemegang saham nomor dua besar, setelah H. Samawi - pemilik - di PT Badan Penerbit Kedaulatan Rakyat, dia tetap menganggap dirinya wartawan, bukan pemilik kapital. Walaupun sejak 1980 dia duduk di kursi direktur, menggantikan Samawi, Pak Won seakan tak yakin bahwa surat kabar adalah sebuah perusahaan. "Baru belakangan ini Pak Won sadar bahwa pers adalah juga institusi bisnis," ujar Iman Sutrisno. PT BPKR ini menghidupi 300 karyawan. Perusahaan ini juga menerbitkan koran mingguan delapan halaman Minggu Pagi, majalah bulanan anak-anak Gatot Kaca, majalah wanita berbahasa Jawa Mekar Sari, dan koran mingguan masuk desa Kandha Rahardja. "Total oplah semuanya 150.000 eksemplar," kata Drs. Idham, salah seorang anak Samawi, yang kini menjadi kepala percetakan. KR baru mulai membenahi bisnisnya September tahun lalu, setelah usianya 38 tahun. Sebuah kompleks percetakan baru dibangun di atas tanah seluas 17.325 meter persegi di bagian timur Yogya. Mesin-mesin cetaknya diremajakan dan pemasarannya siap melebar ke Jawa Barat dan Jawa Timur. "Untuk itu kami menginvestasikan Rp 1,4 milyar," kata Idham. Sekitar 65% dari dana itu diperoleh dari fasilitas PMDN. dan sisanva modal KR sendiri. Dalam pandangan Wonohito, pengembangan perusahaan itu tak ubahnya sebuah mimpi. "Tapi kita memang harus berani bermimpi," ujarnya beberapa waktu lalu, saat menghadapi desakan kalangan muda di KR yang menginginkan pengembangan usaha dan segi komersial. Orang-orang yang tinggal banyak menyimpan kenangan akrab tentang Wonohito. Misalnya, jika Pak Won ingin membicarakan sesuatu dengan wartawannya, terlebih dulu ia mengajak wartawan itu berjalan malam-malam menyusur Malioboro. Kemudian singgah di bakul gudeg, dan baru di sinilah Pak Won menyampaikan alasannya. Boleh jadi, dia memang tak betah di kursi pimpinan. Tapi jabatan sebagai direktur mencakup rapat ini dan rapat itu yang tak bisa dihindarkan. "Bapak jatuh sakit setelah rapat terus-terusan," ujar Ny. Wonohito prihatin. Profesi wartawan memang menuntut terlalu banyak, hingga kepada sang istri Wonohito mengaku tak mungkin dapat membahagiakannya. Dari 30 pemegang saham KR sekarang, ada enam oran muda yang tidak termasuk pendiri. Wonohito, pemegang Bintang Mahaputra Utama Kelas III, telah menetapkan untuk KR: bahwa satu saham satu suara, walaupun nilai saham tak sama besarnya. Tapi, sayang, hingga akhir hayatnya, Wonohito tak sempat meninggalkan rumusan yang bulat tentang konsep pers Pancasila, sesuatu yang amat dia cita-citakan, sebetulnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini