BERSAMA asap yang terus-menerus mengepul, pendapatan Pemerintah dari cukai di tahun anggaran 1990-91 ini, yang ditargetkan Rp 1,911 trilyun, ada kemungkinan bisa terlampaui. Dan pejabat di Dirjen Pajak akan merasa lega kendati para perokok barangkali serasa ditonjok. Soalnya untuk mencapai target itu -- yang Rp 424 milyar lebih besar dari APBN 1989-90 -- Pemerintah memberlakukan tarif cukai baru, mulai 1 April depan. Sekalipun begitu, tidak semua jenis rokok dinaikkan cukainya. Sigaret putih yang dibuat dengan mesin (SPM) dan SKT (sigaret kretek tangan) luput dari kenaikan cukai. Begitu pula cukai rokok tradisional seperti kelobot dan klembak menyan. Mengapa? "Karena modalnya kecil, mereka tidak bisa melakukan promosi seperti produsen besar. Jadi, memang perlu dilindungi," kata Sudjana Surawidjaja, Dirjen Bea dan Cukai. Yang terkena kenaikan cukai adalah sigaret kretek buatan mesin (SKM) dan sigaret kretek filter semi-mesin (SKSM). Dan kenaikan itu cukup mencolok. Dua jenis rokok yang dikuasai merk seperti Djarum, Gudang Garam, Sampoerna, Bentoel, dan Dji Sam Soe ini terkatrol cukainya, antara lain karena jenis proses produksinya dan jumlah hasil produksinya. Jelas, sasaran utama adalah para produsen kakap. Terhadap mereka ini, sebelumnya Pemerintah menetapkan cukai tertinggi (37,5%) bagi produsen yang memproduksi rokok di atas 35 milyar batang setahun. Dari ketentuan ini, produsen besar seperti Gudang Garam dan Djarum menciptakan peluang untuk berkelit. Maksudnya? Agar tidak terkena cukai termahal, mereka menekan produksinya, agar tidak melebihi 35 milyar. Tahun lalu, misalnya, Djarum hanya memproduksi SKM 33,5 milyar batang, sedangkan Gudang Garam 26,9 milyar batang. Padahal, sebenarnya mereka bisa memproduksi di atas 35 milyar. "Tapi, karena takut terkena penalti cukai 37,5%, mereka membatasi produksinya," kata Sudjana. Nah, untuk menghadapi "gaya berkelit" seperti itulah, Pemerintah menurunkan batas maksimal produksi. Kini tarif cukai 37,5% akan berlaku bagi merk-merk yang diproduksi di atas 8,5 milyar batang. Artinya, Gudang Garam, Djarum, dan Bentoel sudah pasti akan terkena cukai tertinggi. Tapi ternyata kenaikan cukai tidak terbatas pada tiga merk terbesar itu saja. Produsen SKM kelas menengah dan bawah juga dilibas. PT Sampoerna (produsen merk Sampoerna dan Dji Sam Soe), misalnya. Dengan 7 milyar batang SKM, sebelumnya Sampoerna hanya terkena cukai 32,5%. Kini, karena produksinya berada di antara 2 dan 8,5 milyar batang, jadi terkena 35%. Begitupun produsen SKM terkecil yang hanya berproduksi di bawah 675 juta batang setahun, cukainya dinaikkan 2,5%. Memang, kenaikan cukai tiap-tiap tingkat produksi sama rata, yakni 2,5%. Hanya saja, dulu ada lima tingkat produksi mulai dari 500 juta batang ke bawah, hingga 35 milyar batang ke atas -- tapi kini diubah menjadi empat tingkat saja. Patokannya, produksi terendah kurang dari 675 juta batang, tertinggi di atas 8,5 milyar. Selain dari jumlah produksi, cukai baru disesuaikan pula pada jenis proses produksi. Rokok-rokok filter yang diproduksi dengan setengah tangan setengah mesin, alias sigaret kretek semi-mesin filter (SKSM), seperti Bentoel Mild dan Djarum Filasta, cukainya dinaikkan dari 20% menjadi 30%. Di sini, jumlah produksinya tidak diperhitungkan. Kenaikan cukai, yang hampir terjadi setahun sekali ini, cukup membuat pengusaha rokok kebat-kebit. Bahkan ada yang menganggap sistem cukai yang baru ini tidak adil. Alasannya, tarif yang dibuat berdasarkan jumlah produksi dianggap tidak menggambarkan besar-kecilnya sebuah perusahaan rokok. Ini pendapat Muhaimin Mukti, Direktur Pemasaran PT BAT. Bandingkan rokok murah yang diproduksi BAT, seperti Commodore, Ardath, dan Mascot. Ketiga merk ini dikenai cukai 32,5%. Mengapa? Karena produksinya 4,2 milyar batang. Sementara itu, ada beberapa rokok mahal yang hanya terkena 27,5%, lantaran hanya diproduksi di bawah 1 milyar batang. Kekurangadilan seperti itu, kata seorang pengusaha SKM, berlaku juga pada sektor industri sigaret kretek mesin. Namun, terlepas dari adil atau tidaknya sistem cukai yang berlaku, tak dapat disangkal, pihak konsumenlah yang akan menanggung beban kenaikan. Dan hal itu sama pastinya dengan matahari yang terbit besok pagi. Beberapa pengusaha rokok yang termasuk raksasa sudah mengungkapkan rencana kenaikan harga jual rokoknya. "Itu pasti," kata T.D. Rachmat, salah seorang direktur Gudang Garam. Suara senada juga dikemukakan T. Budi Santoso, Wakil Direktur PT Djarum Kudus. Ia menduga, kenaikan harga jual itu bisa menyebabkan penurunan omset. Tapi ia juga yakin, hal itu tidak akan berlangsung lama. "Kami optimistis, dalam jangka panjang, konsumsi rokok masih mampu naik 10% setahun," ujarnya. Itulah perhitungan seorang raja kretek, yang tampaknya tidak akan meleset. Mengapa? Dengan produksi 39,5 milyar batang -- setelah produksinya ditekan -- tahun lalu Djarum mampu menyetor cukai Rp 481 milyar. Sedangkan Gudang Garam, kretek nomor dua, dengan total produksi 35,5 milyar batang, membayar cukai Rp 431 milyar. Lain lagi cerita si kecil. "Posisi kami benar-benar terjepit," kata Herman, Kabag Umum PT Karya Niaga Bersama, yang memproduksi Grendel. Contohnya, ketika terjadi kenaikan cukai tahun lalu, yang diikuti oleh naiknya harga jual, omset Grendel kontan merosot 30%. Hal yang sama dialami NV Sumatra Tobacco Trading Company (STTC), produsen rokok Salem, Union, Hero, dan Jet. "Omset kami pasti melorot," kata Posu, Kahumas STTC. Tampaknya, nasib Grendel dan STTC mesti diperhatikan juga. Bagaimanapun, produsen-produsen kecil itu ikut menyumbang APBN, di samping berjasa membuka lapangan kerja. Budi Kusumah, Bambang Aji, Bandelan Amarudin, Jalil Hakim, M. Baharun, dan Affan Bey Hutasuhut
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini