Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Delapan pekerja keluar-masuk gudang milik Subdivisi Regional Cianjur, Gudang Bulog Dramaga, Jalan Raya Dramaga, Bogor, Rabu siang pekan lalu. Mereka memanggul karung beras yang baru diturunkan dari sebuah truk. Karung beras berukuran 15 kilogram itu ditumpuk dan disusun menjulang tinggi hampir menyentuh atap gudang. Di gudang seluas lapangan basket ini, beras disusun dalam empat blok. Dua blok di depan dan dua blok lainnya berderet sejajar di belakang. Susunan yang sama juga terlihat di tiga gudang lainnya. ”Total ada stok 400 ribu karung atau 6.000 ton beras tersimpan di sini,” kata Opom Adam, kepala gudang Perum Bulog Divisi Regional Jawa Barat, Subdivisi Regional Cianjur, kepada Tempo di Bogor pekan lalu.
Gudang yang berada di dekat kampus Institut Pertanian Bogor ini hanya menyimpan beras. Tapi tak lama lagi gudang itu, juga gudang Bulog di sejumlah daerah, akan menyimpan pula kacang kedelai. Kini Bulog sedang merintis rencana mengimpor kedelai untuk memenuhi permintaan pengusaha tahu dan tempe se-Indonesia. Realisasinya tinggal sejengkal saja. Pada Senin, 29 Maret 2010, Bulog, Gakoptindo—beranggotakan Koperasi-koperasi Pengrajin Tahu dan Tempe (Kopti)—dan Bank Bukopin akan meneken nota kesepahaman kerja sama pengadaan kedelai.
Bulog akan mengimpor kedelai dari sejumlah negara dengan pendanaan dari Bank Bukopin. ”Rencana itu masih terus dievaluasi,” kata Sekretaris Perusahaan Bukopin Tantri Wulandari. Nantinya kedelai itu diserap oleh ratusan ribu perusahaan tahu dan tempe anggota Kopti. Penasihat Forum Kopti, Aip Syarifuddin, kepada Tempo memaparkan, pada tahap awal Bulog akan mengimpor kedelai 360 ribu ton. ”Kami berharap pada Juni nanti kedelai pertama dari Bulog sudah diterima,” katanya. Direktur Utama Bulog Sutarto Alimoeso menambahkan, setidaknya Bulog bisa memenuhi separuh dari kebutuhan kedelai anggota Kopti sebesar 120 ribu ton per bulan. ”Bertahap dulu karena kami sudah lama tak mengimpor kedelai,” ujarnya di Jakarta pekan lalu.
Sekitar 115 ribu pengusaha tahu dan tempe anggota Kopti adalah konsumen terbesar kedelai. Mereka membutuhkan 1,2 juta ton kedelai per tahun, atau lebih dari separuh dari total kebutuhan kedelai nasional sebanyak 2,2 juta ton per tahun. Pabrik kecap, perusahaan pakan ternak, dan industri makanan-minuman berada di urutan berikutnya sebagai konsumen kedelai.
Kebutuhan kedelai sebesar itu hanya bisa dipenuhi sepertiganya oleh produksi dalam negeri. Petani lokal hanya mampu memasok sekitar 600 ribu ton kedelai. Kekurangannya 1,6 juta ton harus diimpor. Nilai impor kedelai ini lumayan besar, sekitar Rp 8 triliun per tahun, sedikit lebih rendah dari nilai impor susu dan terigu.
Di era Presiden Soeharto, sejatinya Bulog merupakan importir utama kedelai—juga bahan pangan lainnya seperti beras, gula, dan minyak goreng—sekaligus penyangga atau stabilisator harga bahan pangan tersebut. Peran Bulog itu tamat setelah Soeharto meneken letter of intent (LOI) dengan Dana Moneter Internasional (IMF) pada 1998. Sebagai imbalan menolong krisis ekonomi Indonesia, lembaga donor itu melarang Bulog memonopoli komoditas pangan, termasuk kedelai. Bulog hanya boleh berdagang beras.
Sejak saat itulah impor dibebaskan. Setiap perusahaan boleh mengimpor kedelai. Namun, selama bertahun-tahun pasar kedelai hanya dikuasai oleh lima importir besar, seperti PT Gerbang Cahaya Utama, PT Teluk Intan, PT Gunung Sewu, PT Cargill Indonesia, dan PT Sekawan Makmur Bersama. Beberapa importir lain hanya bermain di ceruk kecil. ”Lima importir gede itu memasok sekitar 1,2 juta ton kedelai kepada para perajin tahu dan tempe,” kata Aip.
Ketergantungan pengusaha tahu dan tempe pada kelima importir menimbulkan masalah. Anggota Kopti itu sering kesulitan memperoleh kedelai. Harganya juga kerap berfluktuasi tajam. Puncaknya terjadi pada 2008. Saat itu harga kedelai merangkak naik melewati Rp 8.500 per kilogram di atas harga normal Rp 5.000-an per kilogram. Bahkan harga kedelai sering berubah-ubah. ”Sehari bisa berubah dua kali,” kata pengurus Primkopti Jakarta Barat, Handoko, kepada Tempo di Jakarta.
Ribuan perajin tahu dan tempe unjuk rasa di berbagai kota. Pendemo juga mengepung Istana. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono turun tangan. Bea masuk kedelai diturunkan menjadi nol persen dan pemerintah menyubsidi harga kedelai. Tapi permintaan pengusaha tahu dan tempe kepada pemerintah agar mengizinkan Bulog menjadi stabilisator harga kedelai tak dipenuhi.
Tahun lalu harga kedelai memang lebih stabil. Tapi, kata Aip, pengusaha tahu dan tempe sudah kadung kecewa kepada importir. Kopti pun bergerilya lagi melobi pemerintah agar kembali menugasi Bulog menjadi penyangga dan stabilisator harga kedelai. Kementerian Koperasi, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Perdagangan didekati.
Pada awal Januari 2010, pengurus Kopti juga bertemu dengan Wakil Presiden Boediono. Mereka diantar oleh Hayono Isman, mantan Menteri Negara Pemuda dan Olahraga, yang juga kader Kesatuan Organisasi Serbaguna Gotong Royong (Kosgoro). ”Saya hanya menemani mereka menemui Wakil Presiden,” ujarnya kepada Tempo pekan lalu. Kopti, kata Hayono, meminta pemerintah mengintervensi terbatas atas distribusi dan menstabilkan harga kedelai. ”Wakil Presiden pada prinsipnya mendukung.”
Dorongan agar Bulog menjadi stabilisator harga kedelai juga datang dari Dewan Kedelai Nasional. Agar fungsi perusahaan negara itu efektif, kata Ketua Dewan Kedelai Benny Kusbini, pemerintah juga harus mengubah tata niaga kedelai. Selanjutnya izin sebagai importir tunggal kedelai hanya diberikan kepada Bulog. ”Dengan cara itu, swasembada kedelai bisa tercapai,” kata dia.
Tahun lalu Kementerian Pertanian memang telah meluncurkan road map kedelai. Pada akhir 2014, Indonesia ditargetkan sudah bisa swasembada kedelai dan tak perlu banyak mengimpor lagi untuk memenuhi kebutuhan konsumen dalam negeri.
Menteri Pertanian Suswono mengatakan, mewujudkan swasembada kedelai tidak mudah lantaran ada keterbatasan lahan. Terlebih lagi petani kurang tertarik menanam kedelai karena harga kedelai lokal jatuh akibat banjirnya kedelai impor. Harga kedelai lokal hanya dihargai Rp 4.000-an per kilogram. Padahal biaya produksinya sekitar Rp 3.600 per kilogram. Jelas kedelai tak menguntungkan.
Sebaliknya harga beras lumayan tinggi Rp 4.500 per kilogram. Agar petani mau menanam kedelai, kata Suswono, idealnya harga kedelai 1,5 kali harga beras atau sekitar Rp 7.500 per kilogram. Meski tantangannya berat, bekas anggota Dewan Perwakilan Rakyat itu optimistis swasembada kedelai bisa tercapai empat tahun lagi. ”Akan ada perluasan area dan pemberian insentif.”
Bulog siap membantu pemerintah mewujudkan target swasembada itu. Syaratnya, kata Sutarto Alimoeso, pemerintah mengatur tata niaga kedelai. Caranya dengan mendorong Bulog menjadi stabilisator harga pangan. Dukungan dari Senayan juga mutlak karena untuk menstabilkan harga, berarti Bulog harus membeli kedelai petani, melakukan operasi pasar, dan juga memberikan benih. ”Konsekuensinya ke anggaran negara,” kata dia. Suswono membenarkan pendapat Sutarto. ”Bulog harus mendapat penugasan pemerintah bila menjadi stabilisator harga,” katanya.
Sambil menunggu lampu hijau dari pemerintah, sementara ini Bulog hanya akan mengimpor kedelai. ”Ini tak perlu izin pemerintah,” kata Sutarto. Direktur Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Diah Maulida, mempersilakan Bulog mengimpor kedelai. ”Tak perlu minta izin dari kami,” ujarnya.
Bulog pun sudah menjajaki negara-negara produsen dan perusahaan kedelai di luar negeri. Sumber Tempo membisikkan, Amerika Serikat salah satu negara yang sedang didekati. Departemen Pertanian Negeri Abang Sam (USDA) ini punya fasilitas General Sales Marketing (GSM) 102 yang bisa dimanfaatkan oleh Bulog. ”Sebentar lagi Bulog akan menjadi pemain baru kedelai, meski sebenarnya pemain lama di bisnis ini,” ujarnya.
Sutarto mengatakan kembalinya Bulog ke pasar impor kedelai bukan berarti lembaganya akan menjadi importir tunggal atau memonopoli tata niaga kedelai. ”Akan banyak yang tak suka,” ujarnya. Sutarto mungkin benar. Hanya dengan mengimpor 360 ribu ton kedelai atau 20 persen dari total kebutuhan anggota Kopti, duit senilai Rp 1,8 triliun lepas dari tangan para impotir, distributor, dan agen. ”Kami tak ingin mematikan importir,” kata Aip, ”hanya berupaya mengurangi ketergantungan pada mereka.”
Farhan R. Gunawan, Direktur Teluk Intan yang juga pejabat di Gerbang Cayaha Utama, mempersilakan Bulog menjadi importir kedelai. ”Siapa saja boleh menjadi importir kedelai,” ujarnya saat dihubungi Tempo pekan lalu. Dia tak yakin anggota Kopti kecewa karena saat ini harga kedelai sudah stabil dan malah sudah murah.
Toh, para pengusaha tahu dan tempe sudah tak sabar menanti Bulog mengimpor kedelai. Mereka yakin betul kerja sama dengan Bulog akan menguntungkan. ”Mata rantai tata niaga kedelai jadi lebih pendek,” kata Suharto, Ketua Primkopti Jakarta Barat. Dulu tata niaganya panjang, dari importir ke distributor, lalu ke agen dulu sebelum ke tangan anggota Kopti. Tapi nanti dari Bulog langsung ke pengusaha tahu dan tempe. ”Harga kedelai juga akan lebih stabil karena harganya berdasarkan kontrak,” ujar Aip.
Pengamat dari International Center for Applied Finance and Economics (InterCafe) IPB, Nunung Nuryartono, mengatakan bahwa harga kedelai tetap bergejolak bila Bulog hanya mengimpor. Pemerintah, katanya, harus punya kebijakan yang jelas dan perhitungan yang komprehensif. ”Harus dikaji benar apakah dengan melibatkan Bulog, swasembada kedelai bisa tercapai atau malah tidak.” Ataukah ini hanya keinginan Bulog agar bisa bermain komoditas di luar beras.
Padjar Iswara, Diki Sudrajat (Bogor)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo