Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

<font face=arial size=1 color=brown><B>Pemalsuan</B></font><BR />Bukti Tak Cukup untuk Adik Ayin

Kejaksaan Agung menghentikan penuntutan terhadap dua adik Artalyta Suryani yang terjerat kasus penggelapan. Menggelinding ke Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum.

5 April 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SELEMBAR surat yang dikeluarkan Kejaksaan Agung itu benar-benar membuat Budhi Yuwono kecewa. Ditujukan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Bandar Lampung, isi surat yang dikirim dua pekan lalu itu menegaskan sikap Kejaksaan Agung: setuju penuntutan terhadap Simon Susilo dan Aman Susilo dihentikan. ”Masak, yang mencuri buah kapuk tiga biji dihukum, kok yang menipu miliaran rupiah tidak dituntut,” ujar Direktur PT Bumirejo ini kesal.

Di mata Budhi, langkah kejaksaan menghentikan kasus penggelapan yang dilakukan dua tersangka itu sangat mengada-ada. Padahal semua bukti menunjuk keduanya terlibat penggelapan dan pemalsuan surat kuasa Direktur Utama PT Bumirejo, Soegeng Boediarto, ayah Budhi. ”Kejaksaan sengaja melindungi mereka,” kata Budhi.

Simon dan Aman tak lain adik Artalyta ”Ayin” Suryani, pengusaha yang dua tahun silam ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi karena menyuap jaksa Urip Tri Gunawan. Artalyta dan Urip kini sama-sama mendekam di penjara. Total uang yang ditilap dua bersaudara tersebut, dengan bekal surat kuasa itu, menurut Budhi, sekitar Rp 32 miliar.

Tapi, kepada Tempo, Jaksa Agung Muda Pidana Umum Kamal Sofyan, yang meneken surat itu, mempunyai alasan kenapa perkara itu layak dihentikan. ”Buktinya tidak cukup,” kata Kamal. Kepada wartawan, Jaksa Agung Hendarman Supandji juga menegaskan, kasus ini ”masuk kotak”, tak diteruskan. ”Penuntutannya dihentikan,” kata dia.

Kasus PT Bumirejo versus dua adik Ayin berawal pada 2002. Ketika itu perusahaan yang berpusat di Banjarnegara, Jawa Tengah, ini menang tender proyek pembangunan jalan di Bandar Lampung senilai Rp 82,5 miliar. Proyek itu dibiayai negara dari duit Bank Pembangunan Asia.

Untuk menggarap proyek itu Bumirejo meneken kerja sama dengan PT Sonokeling Buana, yang diwakili Simon Susilo selaku direktur utama. Dengan alasan demi memperlancar pekerjaan, Simon mengusulkan Juli Purwanto, bekas karyawan Bumirejo, diangkat sebagai Kepala Cabang PT Bumirejo Bandar Lampung. Permintaan ini disetujui Budhi.

Nah, menurut Budhi, tanpa setahu PT Bumirejo pusat, Juli Purwanto membuat surat kuasa palsu tertanggal 7 April 2005 dan 10 Maret 2005. Intinya, Simon dan Aman diberi kuasa oleh Soegeng Boediarto untuk membuka, menggunakan, dan menutup rekening di Bank Danamon Cabang Teluk Betung, dan Bank Mandiri Cabang Malahayati, Bandar Lampung, atas nama PT Bumirejo. Rekening di Bank Danamon itu dipakai untuk menampung uang pembayaran proyek.

Ke rekening inilah kemudian uang proyek mengalir. Dan berbekal surat kuasa palsu, Simon dan Aman, ujar Budhi, menguras isi rekening Bumirejo di Bank Danamon. Duit tersebut lantas dioper ke rekening PT Aman Jaya Perdana. Di perusahaan ini Simon duduk sebagai komisaris utama dan Aman sebagai direktur.

Pada 1 November 2005, PT Bumirejo melaporkan pemalsuan dokumen dan penipuan ini ke polisi. Kepolisian Daerah Lampung turun tangan. Juli, Simon, dan Aman ditetapkan sebagai tersangka. Kasus ini menggelinding ke meja hijau. Juli dituntut satu tahun penjara dengan tuduhan pemalsuan. Kendati di tingkat pengadilan pertama pada Februari 2007 hakim memvonis bebas, di tingkat kasasi, pada Juli 2007, Mahkamah Agung memvonis Juli hukuman percobaan satu tahun penjara.

Nasib berbeda dialami Simon dan Aman. Sama-sama menjadi tersangka, tapi berkas kedua orang ini ternyata jalan di tempat. Kejaksaan tak memproses berkas itu lebih lanjut lantaran isinya dianggap belum lengkap. ”Compang-camping,” kata Mohamad Serry, Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejaksaan Tinggi Lampung.

Menurut Serry, kejaksaan sudah meminta polisi memperbaiki berkas itu. Tapi, lima kali dikembalikan, berkas itu tetap saja isinya belum P21 alias lengkap. Polisi punya alasan tak bisa melengkapi berkas itu. Antara lain, saksi kunci, Juli, pada September 2007 meninggal. ”Kejaksaan juga sudah memeriksa sepuluh saksi. Kesimpulannya, kasus ini tak cukup bukti,” ujar Serry. Lantaran menemui jalan buntu itulah kejaksaan mengajukan usul penghentian penuntutan kasus ini ke Kejaksaan Agung.

Kejaksaan Agung melakukan gelar perkara atas kasus ini. Dilakukan dua kali, 30 Juli 2007 dan 7 Mei 2008, hasilnya disimpulkan unsur pemalsuan tak terpenuhi dalam perkara yang disangkakan kepada Simon dan Aman. ”Tersangka tidak tahu bahwa surat kuasa itu palsu,” kata Kamal Sofyan. Kejaksaan juga berpendapat keduanya tidak menggelapkan uang PT Bumirejo. Alasannya, proyek tersebut dibiayai PT Aman Jaya. ”Ini proyek besar, maka yang dipakai bendera PT Bumirejo,” ujar Kamal.

Budhi melakukan perlawanan terhadap kejaksaan yang tak melanjutkan perkara ini ke pengadilan. Pada 2008 ia menggugat praperadilan kejaksaan. Hakim memenangkan Budhi, yakni menyatakan berkas Simon dan Aman harus dilimpahkan ke pengadilan. Tapi, di tingkat banding, Budhi keok. Pengadilan tinggi, 5 Januari lalu, mementahkan vonis pengadilan negeri. Pengadilan menerima alasan kejaksaan.

Kepada Tempo, pengacara Budhi, Syafril Partang, menilai jaksa tidak serius menyelesaikan kasus ini. ”Jaksa sengaja mengendapkan perkara ini untuk menyelamatkan saudara Artalyta itu,” ujarnya menyebut nama pengusaha yang dikenal dekat dengan para pejabat kejaksaan. Tapi tuduhan ini dibantah Sopian Sitepu, kuasa hukum Simon dan Aman. Menurut dia, tak ada hubungannya perkara ini dengan Artalyta. ”Dia tidak tahu-menahu kasus bisnis Pak Simon dan Aman,” kata Sopian.

Sopian juga membantah kliennya menjarah uang milik PT Bumirejo. Selama berkongsi, kata dia, tidak sepeser pun Budhi Yuwono menyetor uang. ”Dia hanya modal bendera,” ujarnya. Menurut Sopian, Simon dan Aman justru korban penipuan Juli Purwanto dan Budhi Yuwono. Keputusan Mahkamah Agung, tuturnya, telah menyatakan Juli dihukum karena memalsukan tanda tangan atas perintah Budhi Yuwono.

Perseteruan antara Bumirejo dan Simon sebenarnya tak hanya dalam proyek jalan ini. Keduanya juga berseteru dalam bisnis gula. Kerja sama mengimpor gula dari Thailand itu berakhir, seperti juga proyek jalan, di ruang pengadilan.

Versi Sopian menyebut, bisnis gula ini berantakan gara-gara ulah Budhi. Menurut dia, pada 2004, Budhi menawarkan kepada kliennya kerja sama impor gula. Untuk meyakinkan kliennya, kata Sopian, Budhi menunjukkan bukti pemenang tender pengadaan gula. Budhi, melalui Juli Purwanto, lalu meminta Simon mentransfer uang US$ 1,4 juta. Surat permintaan itu ditandatangani Soegeng Boediarto, Direktur Utama PT Bumirejo. ”Pak Simon saat itu langsung mentransfer uang tersebut.”

Gula 9 juta metrik ton itu tak muncul. Simon lantas membawa kasus ini ke polisi dan menuduh Bumirejo melakukan penipuan. Budhi dituntut empat tahun penjara. Menggelinding ke pengadilan, pada Agustus 2006, hakim memutuskan Bumirejo dan Budhi tidak bersalah. ”Kasus itu yang membuat Budhi dendam dan mencari celah menghajar balik Pak Simon dan Aman,” ujar Sopian.

Syafril membantah keterangan Sopian. Menurut dia, Simon yang memiliki inisiatif mengimpor gula tersebut dan mengenalkan Budhi ke seorang petinggi PT RNI di Surabaya. Di tengah jalan, kata Syafril, Simon ternyata ”memotong” bisnis ini dan menangani impor tersebut diam-diam. ”Transfer uang itu dilakukan secara diam-diam agar bisa dinikmati sendiri. Itu cara culas, dan hasilnya uang dia amblas,” katanya.

Kini, setelah gugatan praperadilannya kalah di pengadilan tinggi, Budhi bersiap melakukan upaya hukum terakhir. ”Saya akan mengajukan peninjauan kembali,” kata Budhi. Dia menyatakan akan memakai putusan pidana pemalsuan yang dijatuhkan kepada Juli sebagai bukti baru melawan putusan pengadilan tinggi.

Upaya Budhi agar kasus pemalsuan dan penipuan oleh Simon dan Aman menggelinding ke pengadilan juga dilakukan lewat jalur lain. Dia telah melaporkan perkaranya tersebut ke DPR dan Tim Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum. ”Kalau surat penghentian penuntutan sudah resmi keluar, saya akan menggugat lagi Jaksa Agung,” katanya.

Sutarto (Jakarta), Nurochman Arrazie (Lampung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus