Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LIMA kantor cabang PT Bank Barclays Indonesia, di Jakarta, Bandung, dan Surabaya, beroperasi seperti biasa, Jumat pekan lalu. Pelayanan nasabah tetap dilakukan, kendati induk mereka—Barclays Plc.—sudah mengumumkan rencana pelepasan kepemilikan di perusahaan yang dulu bernama Bank Akita itu.
Bank terbesar kedua di Inggris itu berencana melakukan reorganisasi secara global. Strategi bisnis di Indonesia akan difokuskan pada layanan nasabah institusi melalui Barclays Capital. ”Reposisi ini akan menimbulkan biaya 100 juta pound (sekitar US$ 151 juta atau Rp 1,4 triliun),” demikian Barclays dalam pernyataan resminya, seperti dikutip kantor berita Bloomberg, Senin pekan lalu.
Barclays punya dua pilihan: menutup atau menjual Bank Akita. Dalam keterangan tertulis Barclays kepada Tempo, Kamis pekan lalu, perseroan akan mendiskusikan dengan Bank Indonesia dan pihak terkait lain, sebelum menentukan opsi yang akan diambil. Bila alternatif kedua yang diambil, berarti Bank Barclays Indonesia mesti mencari pemilik baru.
Saat ini bisa jadi momen yang pas untuk jualan bank. Sejumlah investor diketahui sedang berburu aset finansial. Biaya dana yang murah menerbangkan duit ke negara dengan pertumbuhan ekonomi bagus, salah satunya Indonesia. Kebetulan pula perbankan nasional sedang dalam proses konsolidasi untuk memenuhi aturan modal minimum Rp 100 miliar. Inilah salah satu persyaratan dalam Arsitektur Perbankan Indonesia yang harus dipenuhi paling lat akhir tahun ini.
Dari Malaysia, misalnya, RHB Capital Berhad dikabarkan bakal mengakuisisi Bank Mestika Darma, dan Affin Holding mengincar Bank Ina Perdana. The Industrial Bank of Korea dan Korea Development Bank kabarnya juga siap masuk. Begitu pula Union Bank, bank pelat merah India. Tapi bank sentral mengkonfirmasi, cuma RHB Capital, investor asing yang siap naik ke pelaminan.
Direktur Perizinan dan Informasi Perbankan Bank Indonesia Joni Swastono mengatakan Mestika sudah mengajukan izin akuisisi pada awal Desember 2009. Namun kedua mempelai terganjal kelengkapan dokumen. Joni menjelaskan, RHB Capital belum menyerahkan ultimate shareholder alias keterangan pemilik RHB Capital. ”Semacam struktur organisasi, di atas dia ada siapa saja. Demikian pula di bawahnya.”
Tujuannya, mencari penanggung jawab utama. Informasi ini diperlukan untuk mengetahui siapa pihak yang mesti bertanggung jawab bila suatu saat terjadi masalah di bank tersebut. Bank Indonesia juga meminta surat rekomendasi dari bank sentral Malaysia. Tapi hingga akhir pekan lalu permintaan BI belum terpenuhi.
Bank Mestika Dharma, yang berbasis di Medan, tergolong sehat. Dalam laporan keuangan yang dipublikasikan Bank Indonesia, per November 2009, bank ini memiliki modal inti Rp 1,12 triliun. Laba tercatat Rp 164,67 miliar, mayoritas ditopang pendapatan bunga, dan rasio kecukupan modal alias CAR 27,47 persen.
Proses akuisisi Mestika telah diungkapkan manajemen RHB Capital pada Oktober 2009, seperti dikutip Finance Asia & Business Times. Rencananya, mereka akan membeli 80 persen saham milik PT Mestika Benua Mas Rp 3,118 triliun (US$ 329 juta) atau 3,5 kali nilai buku Mestika yang mencapai Rp 1,114 triliun per 31 Desember 2008. Transaksi ini akan kelar pada triwulan kedua 2010.
RHB Capital adalah induk dari RHB Banking Group, penyedia jasa keuangan terbesar keempat di Malaysia. Pengendali RHB Capital adalah Malaysia’s Employees Provident Fund (57 persen). Pemegang saham lain, Abu Dhabi Commercial Bank (25 persen). RHB agaknya ngiler melihat bank-bank Indonesia bisa menikmati margin bunga bersih (NIM) di atas 5 persen, dua kali lipat Malaysia.
Di dalam negeri, Grup Sampoerna akan meminang Bank Dipo. Sampoerna salah satu investor yang amat likuid setelah mereka menjual PT HM Sampoerna pada 2005 seharga Rp 18,6 triliun. Joni mengatakan kedua pihak juga sudah mengajukan izin akuisisi ke Bank Indonesia awal Februari 2010. Namun Sampoerna juga belum melengkapi dokumen. Niat Sampoerna sebetulnya sudah sejak awal 2008, tapi mundur karena krisis global.
Sampoerna berencana membawa Bank Dipo ke bisnis retail, bersinergi dengan unit usaha Koperasi Sahabat. ”Dia mau seperti DSP-nya Danamon,” kata Joni menambahkan. Bank Dipo saat ini dimiliki PT Pahalamas Sejahtera (42 persen), Suhanti Poniman (48 persen), dan Suhada Poniman (10 persen). Berdasarkan laporan keuangan per Oktober 2009, Bank Dipo memiliki aset Rp 613,8 miliar dan laba Rp 12,1 miliar. Modal inti tercatat Rp 131,7 miliar, dan rasio kecukupan modal 24,7 persen.
Bank Rakyat Indonesia juga membidik Bank Bukopin dan Bank Agroniaga. Tapi pemegang saham lebih sreg bila BRI mengambil alih Agroniaga. Menteri Negara BUMN Mustafa Abubakar, akhir Februari lalu, mengatakan bahwa akuisisi itu diharapkan dapat mendongkrak kredit BRI di sektor pertanian. Sumber Tempo mengatakan BRI sudah melakukan uji tuntas terhadap Bank Agro pada Februari lalu. ”Saat ini sedang negosiasi dengan Dana Pensiun Perkebunan Karyawan PT Perkebunan Nusantara sebagai pengendali Bank Agro,” katanya.
Pemilik Agro, sumber tadi menambahkan, menawarkan harga di atas dua kali nilai buku, dengan harga Rp 130 per lembar. Namun, menurut Sekretaris Perusahaan BRI Muhammad Ali, perseroan menawar 1,2 kali nilai buku dengan harga Rp 110. Saat ini proses negosiasi dilakukan intensif. Menteri Mustafa berharap akuisisi rampung pada semester ini.
Jamsostek juga tak mau kalah. Perusahaan asuransi tenaga kerja ini diam-diam mengincar Bukopin. Dana telah disiapkan, sekitar Rp 500 miliar. Tapi prosesnya masih sangat dini. ”Baru info memo,” kata Direktur Utama Jamsostek Hotbonar Sinaga. Jamsostek sempat mendekati Bukopin Syariah dan Bank Agro. Nyatanya, aksi tak berlanjut.
Menurut Hotbonar, rencana ekspansi Jamsostek ke Bukopin bukan untuk menguasai. ”Sekadar partisipasi ekuitas.” Bank ini nanti akan disinergikan dengan jaringan pelayanan Jamsostek. Sumber Tempo mengatakan rencana Jamsostek itu tak mendapat restu dari Kementerian BUMN. Sebab, bank bukan core bisnis perusahaan. Hotbonar tak mau terbuka dalam hal ini. Ia cuma menjawab singkat, ”Masih proses.”
Pengamat perbankan Fauzi Ihsan mengatakan pasar sedang mahal karena penguatan bursa. Suku bunga global yang rendah juga memicu investor memburu aset finansial. Ini yang membikin harga naik terus. ”Bank kecil beraset bagus bisa jual mahal,” kata Fauzi. Mahalnya Agro, misalnya, ditunjukkan pengamat bursa Alfatih. Dengan memakai pendekatan harga dibanding laba alias price earning ratio (PER), Agro memiliki PER 254 kali, lima kali dibanding BCA, BRI, atau Bank Mandiri. Jadi, tak mendapat restu, Jamsostek tak perlu kecewa.
Retno Sulistyowati, Padjar Iswara
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo