Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
PLTGU Jawa 1 terlambat beroperasi dari jadwal semula.
PLN malah untung ketika PLTGU Jawa 1 terlambat beroperasi.
Kontrak jual-beli listrik merugikan PLN yang mengalami kelebihan pasokan.
UNGKAPAN ada berkah di balik musibah mungkin berlaku untuk PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) alias PLN dan PT Pertamina Power Indonesia (PPI). Bagi PPI, terkatung-katungnya proyek Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU) Jawa 1 adalah musibah karena anak usaha PT Pertamina (Persero) ini merugi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebaliknya, bagi PLN, hal ini bisa menjadi berkah karena mereka tak perlu buru-buru membeli listrik dari pembangkit baru itu. Apalagi saat ini PLN sedang mengalami kelebihan pasokan listrik. "Berkah doanya orang saleh," kata Direktur Perencanaan Korporat dan Pengembangan Bisnis PLN Hartanto Wibowo pada Jumat, 19 Mei lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Beberapa tahun terakhir, PLN memang mengalami oversupply listrik karena berbagai faktor. Pertumbuhan jumlah permintaan listrik dari pelanggan industri ataupun rumah tangga tidak sebanding dengan pasokan yang dihasilkan pembangkit listrik baru. PLN tak bisa menolak pasokan setrum itu masuk ke jaringan transmisi mereka karena sudah memiliki kontrak pembelian yang diteken sejak jauh hari.
Puncak surplus listrik terjadi pada 2020 atau pada masa pandemi Covid-19, dan berlanjut hingga saat ini. PLN berusaha menyiasati kelebihan pasokan listrik, antara lain lewat negosiasi ulang dengan produsen listrik swasta atau independent power producer (IPP).
Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi Industri Dewan Perwakilan Rakyat pada Februari lalu, Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan mereka berupaya keras menghindari sengketa hukum dengan IPP akibat wanprestasi kontrak jual-beli listrik atau power purchase agreement (PPA). Sebab, dia menjelaskan, sistem kontrak jual-beli listrik dengan skema take or pay yang dipegang IPP bisa berbalik merugikan PLN.
Aktivitas Kapal Floating Storage and Regasification Unit (FSRU) Jawa Barat di perairan Laut Jawa, Januari 2018. Tempo/Tony Hartawan
PLN pernah kalah oleh Karaha Bodas Company LLC, IPP pengembang Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Karaha Bodas di Jawa Barat pada 2000. Saat itu, gara-gara krisis moneter, proyek Karaha Bodas dibatalkan. Karaha Bodas Company menggugat Pertamina sebagai rekanan operasi dalam proyek PLTP tersebut.
PLN juga kena gugat karena tidak memenuhi kewajiban sebagai calon pembeli listrik berdasarkan PPA yang telah ditandatangani. PLN dan Pertamina kalah dalam pertarungan hukum tersebut. Keduanya harus membayar ganti rugi US$ 380 juta plus biaya hukum US$ 25 juta.
Dari kasus tersebut, PLN belajar menghindari sengketa di pengadilan. Apalagi dalam setiap kontrak PPA tidak ada istilah keadaan kahar alias force majeure. Artinya, tidak ada peluang bagi PLN untuk menolak pasokan listrik dari IPP kendati perusahaan setrum pelat merah itu sedang mengalami kelebihan pasokan. "Ternyata dalam kontrak beban demand ada di PLN," ucap Darmawan.
Biasanya PLN mengajukan alasan "kondisi sedang sulit" kepada IPP agar mau menunda pengoperasian pembangkit listrik atau mengurangi pasokan yang sudah kadung masuk ke PPA. Memang alasan itu tidak ada dalam kontrak karena PPA dibuat dengan asumsi tertentu. Sebagai contoh, ketika pemerintah menggelar proyek pembangkit listrik berkapasitas total 35 ribu megawatt, asumsi yang dipakai adalah pertumbuhan ekonomi nasional hingga 5 persen setiap tahun. Kenyataannya, di masa pandemi, asumsi ini meleset.
Asumsi pertumbuhan ekonomi dan permintaan listrik juga tak tercapai antara lain karena ada tuntutan global pengendalian emisi karbon. Program pengurangan emisi memaksa PLN meningkatkan bauran energi baru-terbarukan dan menekan pemakaian listrik dari pembangkit listrik tenaga uap batu bara yang memiliki kadar emisi tinggi.
Direktur Utama PT PLN Persero Darmawan Prasodjo di Jakarta., 7 Oktober 2022. Tempo/Febri Angga Palguna
Karena itu, Darmawan menambahkan, ketika asumsi-asumsi awal tidak terpenuhi, kontrak jual-beli listrik menjadi tidak adil buat PLN. "Itu yang kami sampaikan kepada mitra kami. Kami tidak ingin ada legal battle. Tapi, begitu asumsi tidak terpenuhi, beban itu ada di PLN. Kami ingin berbagi beban, bukan menginisiasi legal battle," tuturnya.
Kepada para pemilik IPP, Darmawan mengatakan, jika negosiasi tidak berjalan, ekosistem jual-beli listrik bakal kacau. Keuangan PLN pun terganggu. Padahal kinerja keuangan IPP juga bergantung penuh pada kemampuan PLN untuk membayar pembelian listrik dari mereka. "Ekosistem kelistrikan yang tadinya kondusif menjadi sangat sulit mengundang investasi," katanya.
Hingga pertengahan 2022, PLN bernegosiasi dengan 34 IPP untuk mengurangi pasokan listrik. Hasilnya, 17 IPP mau mengurangi capacity factor masing-masing, dari semula 80 persen menjadi 70 persen. Artinya, sementara sebelumnya PLN harus membeli minimal 80 persen dari listrik yang dihasilkan IPP, dalam kontrak baru kewajiban itu turun menjadi 70 persen.
Ihwal kelebihan pasokan, Darmawan memberi gambaran. Sepanjang 2022, ada pembangkit listrik baru dengan kapasitas total 7 gigawatt yang masuk ke sistem PLN. Sedangkan angka pertumbuhan permintaan listrik saat itu hanya 1,3 gigawatt. Beruntung ada IPP yang mau menekan capacity factor dan ada yang mau memundurkan jadwal operasi pembangkit listriknya. PLN bisa menghemat Rp 37,21 triliun ditambah dampak pemunduran jadwal operasi IPP sebesar Rp 9,83 triliun. "Total pengeluaran yang bisa kami tekan Rp 47,5 triliun," ujar Darmawan.
PLTGU Jawa 1 adalah salah satu pembangkit listrik yang jadwal operasinya mundur. Direktur Perencanaan Korporat dan Pengembangan Bisnis PLN Hartanto Wibowo mengatakan sempat ada negosiasi dengan PPI yang mengempit 40 persen saham PLTGU dan 26 persen saham floating storage regasification unit (FSRU) untuk Jawa 1. "Istilahnya konsultasi bersama," ucapnya.
Rupanya, PLTGU Jawa 1 yang digadang-gadang beroperasi pada Desember 2021 tak kunjung menyala. PLN, Hartanto mengungkapkan, menjalankan strategi pengalihan pasokan gas dari Lapangan Tangguh di Papua yang sedianya untuk PLTGU Jawa 1 ke pembangkit listrik lain. Di antaranya ke Pembangkit Listrik Tenaga Gas Pesanggaran di Bali. "Jadi kami bisa menghemat biaya logistik," tuturnya. Selain ke Bali, Hartanto menambahkan, gas dari Lapangan Tangguh dikirim ke FSRU Jawa Barat dan FSRU Lampung.
Ihwal pengoperasian PLTGU Jawa 1, Hartanto menyerahkan sepenuhnya kepada Pertamina dan para mitra. Yang jelas, PLN menuai berkah dari molornya proyek pembangkit listrik bertenaga gas terbesar di Asia tersebut.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Ada Berkah Ketika Molor"