Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hampir 10 tahun lalu ia jadi pecundang. Krisis ekonomi memaksa Hashim Djojohadikusumo, si pengusaha, meninggalkan ladang emasnya di proyek petrokimia Tuban, Jawa Timur, yang baru 65 persen tergarap. Utang di sejumlah bank menjerat lehernya.
Namun, pengalaman hidup belasan tahun terlunta-lunta di negeri orang sejak umur 3 tahun mengikuti orang tuanya, Sumitro Djojohadikusumo, yang berselisih pendapat dengan Presiden Soekarno, telah menempanya. Kini, Hashim, 52 tahun, bertekad ingin jadi pemenang. Proyek Tuban adalah salah satu incarannya.
Ladang itu kini memang mengucurkan emas setelah teronggok selama delapan tahun. Sejak Agustus tahun lalu, pabrik itu sudah menghasilkan light naphtha, aromatik, dan bahan bakar minyak. Kapasitas produksinya mencapai 3,6 juta ton per tahun dan mendudukkannya sebagai pengolah petrokimia terbesar di Asia Tenggara. Light naphtha adalah bahan baku olefin untuk pembuat plastik dan pipa, sedang aromatik bermanfaat untuk bahan baku tekstil, plastik kemasan, elektronik, serta industri farmasi.
Produk-produk petrokimia ini begitu dicari sehingga permintaannya terus melonjak meskipun harga minyak berfluktuasi. Dalam 10 tahun terakhir, permintaan produk petrokimia di dunia rata-rata meningkat 5,3 persen per tahun.
Kehadiran pabrik ini telah mengubah kondisi fisik Desa Remen, sebuah desa di bibir pantai Kabupaten Tuban. Nyanyian kodok dan debur ombak kini terkalahkan oleh bising cerobong asap dan raungan truk-truk kontainer yang lalu-lalang di areal pabrik yang luasnya 360 hektare atau lebih dari 500 kali lapangan sepak bola itu.
Namun, penduduk tak peduli. Desa sepi itu kini terang-benderang. Pelbagai sarana umum tersedia. Mulai rumah makan, warung telepon, toko kelontong, sewa motor, pangkalan ojek, hingga kos-kosan. Setelah sekian tahun jadi onggokan besi, pabrik yang dimiliki oleh PT Trans-Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) telah bermetamorfosis. Ia bak gadis cantik yang menarik para pebisnis internasional, termasuk Hashim.
Satu per satu pemain petrokimia kelas wahid berdatangan memburu produk dengan lisensi teknologi aromatik terkemuka dunia itu. BP dan Total adalah satu di antaranya. Tak sedikit pula yang datang untuk menguasai perusahaannya, seperti Indian Oil Corp. “Peminatnya memang cukup banyak,” ujar Direktur Utama PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA) Mohammad Syahrial pekan lalu.
PPA adalah pemegang saham mayoritas TPPI. Kepemilikan perusahaan ini berpindah tangan sesudah krisis ekonomi mendera dan Hashim, pemilik PT Tirtamas Majutama, terjerat utang. Ia terpaksa melepaskan TPPI bersama aset-aset lain kepada pemerintah melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) sebagai jaminan pelunasan utang. Peran BPPN selanjutnya digantikan oleh PPA.
Dalam kesepakatan antara BPPN dan Tirtamas pada April 2002, disetujui pembentukan perusahaan induk PT Tuban Petrochemical Industries (lebih dikenal Tuban Petro) yang mengelola warisan Tirtamas, termasuk TPPI. Sebanyak 70 persen saham Tuban Petro dimiliki oleh pemerintah Indonesia. Sisanya, 30 persen, dipegang PT Silakencana Tirtalestari yang terafiliasi dengan Tirtamas.
Adanya kesepakatan itu mendorong konsorsium Jepang mau menyuntikkan dana US$ 400 juta guna melanjutkan proyek yang sempat terbengkalai ini. Hasilnya, proyek tuntas dan bekerja dengan kapasitas penuh sejak enam bulan lalu.
Besarnya permintaan pada produk petrokimia membuat Hashim meneguhkan langkah untuk menguasai kembali Tuban Petro. Ia tak berbual. Langkah konkret sudah diambilnya dengan mengirimkan sepucuk surat ke meja Direktur Utama PPA, Desember lalu. Putra bungsu begawan ekonomi Sumitro Djojohadikusumo ini mengajukan penawaran untuk melunasi utangnya Rp 3,3 triliun plus bunga 1 persen per tahun. Sebagai gantinya, Tirtamas akan mendapatkan 45 persen dari 70 persen saham pemerintah di Tuban Petro.
Nanti dulu. Dari mana Hashim mendapat uang sebesar itu? Ternyata ia bukan lagi si pecundang. Alumnus Ilmu Ekonomi Politik dari Pamona College, California, AS, ini tak lagi menyandang gelar konglomerat bangkrut yang sedang terhimpit beban utang akibat krisis ekonomi. Setelah krisis, dia malang melintang di kancah bisnis komoditas dan migas internasional, seperti di Timur Tengah, Asia Tengah, hingga Afrika. Dan, ia sukses.
Ladang minyak di Kazakhstan yang diakuisisi perusahaannya, Nations Energy Co. Ltd., pada Mei 1997, kini sudah berbuah. Jika produksi awalnya hanya 12.500 barel minyak per hari, menurut direkturnya, David G. Wilson, kini melonjak menjadi 50 ribu barel per hari. Karena itu, jangan heran jika investor memperebutkannya sejak ditawarkan pada Maret tahun lalu.
Setelah melalui proses panjang, pada Desember 2006, ladang minyak itu akhirnya jatuh ke tangan CITIC Group dari Cina. Nilai transaksinya menakjubkan. US$ 1,91 miliar atau Rp 17 triliun! Hampir sama nilainya dengan program wajib belajar 9 tahun untuk semua anak Indonesia. Angka ini melebihi nilai penjualan saham perusahaan rokok H.M. Sampoerna ke Philip Morris senilai US$ 1,86 miliar.
Langkah taktis Hashim melego ladang migas ini mengejutkan sejumlah kalangan. Dengan cadangan sebesar 340 juta barel, sumur minyak ini menjanjikan keuntungan yang besar. Namun, menurut sumber dekat Hashim, sang pemilik sumur tidak terlalu merisaukannya. “Keluarga Sumitro punya nasionalisme tinggi, mereka lebih senang berbisnis di sini,” ujar sumber itu.
Berbekal duit hampir dua miliar dolar hasil penjualan ladang minyak, Hashim disebut-sebut memiliki rencana besar mengembangkan sayap bisnisnya di Indonesia. Hashim yang pernah bekerja sebagai analis finansial di Lazard Freres Et Cie Bank, Paris, bukan sekadar ingin menguasai Tuban Petro. Ia pun ingin berbisnis migas di Papua. Juga membereskan persoalan utang kakaknya, Prabowo Subianto, yang mengendalikan Kiani Kertas.
Soal utang Prabowo ini, menurut seorang pejabat Bank Mandiri, pada Januari lalu Hashim sudah melunasi utang Kiani kepada Bank Mandiri. Dia telah membayar bunga US$ 37 juta dan menjanjikan segera membayar utang pokok US$ 180 juta. Langkah sang adik ini seolah menjawab keengganan Prabowo menjual Kiani, walau banyak investor tertarik. Bahkan Putera Sampoerna yang menawar US$ 370 juta pun harus terpental. Bank Mandiri yang semula akan mensomasi Kiani juga mulai luluh.
Saat dimintai konfirmasi soal duit Hashim untuk Kiani, Prabowo hanya menjawab singkat, “Lain kali saja ya kita ngobrol.” Namun, menurut Luhut Pandjaitan, komisaris Kiani Kertas, duit Hashim atau Prabowo tidak ada bedanya. “Mereka itu kakak-beradik. Itu seperti keluar kantong kiri masuk kantong kanan,” katanya pekan lalu.
Bila melihat jejak sebelumnya, Prabowo dan Hashim memang seiring dan sejalan dalam berbisnis. Akibatnya, sulit membedakan mana bisnis Hashim atau bisnis kakaknya. Dalam sebuah wawancara khusus dengan Tempo pada November 2000, Prabowo, mantan Komandan Jenderal Kopassus itu, mengungkap soal kesibukan bisnisnya di Kazakhstan dan Timur Tengah. “Di sana, saya membantu adik saya (Hashim),” ujarnya.
Anak-anak Sumitro ini mengendalikan perusahaan yang tidak biasa. Sama halnya dengan Tuban Petro, Kiani yang pernah dikendalikan pengusaha Bob Hasan ini bukanlah perusahaan “ecek-ecek”. Kiani adalah salah satu perusahaan kertas dan bubur kertas raksasa dengan kapasitas produksi 525 ribu ton dan areal hutan tanaman industri seluas 181 ribu ton. Produksinya memang lebih kecil dibandingkan PT Riau Andalan Pulp and Paper yang 2 juta ton. “Namun, kelak Kiani akan terus berkembang,” kata Luhut Pandjaitan.
Benar, kini langkah Hashim belum lebar. Kiani belum lepas dari utang. Rencana menguasai Tuban Petro pun belum kesampaian. Yang ada malah sinyal buruk dari Syahrial, Direktur Utama PPA. Menurut dia, pemerintah belum tentu menyetujui tawaran Hashim. “Kalau ada investor yang mau membayar lebih mahal, mengapa tidak?” dia balik bertanya.
Kemenangan, saat ini, belum ada di genggaman Hashim.
Heri Susanto, Sujatmiko (Tuban)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo