Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bendera Putih di Kolam Udang

Kreditor Dipasena gagal bayar. Dugaan ada Grup Bakrie di balik Recapital membuat investor mundur.

5 Maret 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SATU setengah tahun sempoyongan mencari dana, Recapital Advisors akhirnya mengibarkan bendera putih. Menyerah. Kreditor Dipasena Citra Darmaja itu mengaku tak mampu lagi mendanai tambak udang raksasa di Kabupaten Tulang Bawang, Lampung, tersebut.

Surat menyerah itu dilayangkan Rosan P. Roeslani, Presiden Direktur Recapital, kepada Mohammad Syahrial, Direktur Utama Perusahaan Pengelola Aset, Rabu pekan lalu—sehari sebelum tenggat yang ditetapkan pemerintah. ”Waktu dua bulan yang diberikan tak cukup untuk mendapatkan tambahan dana,” kata Rosan memberi alasan.

Dari kebutuhan modal perusahaan Rp 1,5 triliun, setoran Recapital masih kurang Rp 679 miliar. Itu belum termasuk pembiayaan buat petambak udang Rp 1,1 triliun—perinciannya, Rp 220 miliar untuk melunasi utang plasma alias petambak ke pemerintah dan Rp 880 miliar untuk modal kerja 11 ribu petambak.

Karena tidak mampu menyetor lagi, Recapital dinyatakan gagal bayar atau default. Hak eksklusivitas yang selama ini disandangnya hangus. ”Mereka tidak boleh mengkonversi duit yang sudah dikucurkan menjadi kepemilikan saham,” kata Syahrial kepada Tempo.

Duit yang sudah disetor itu akan masuk pembukuan Dipasena sebagai utang, tapi selama satu tahun akan dibekukan. Selama kurun waktu itu, Recapital tidak boleh menagih piutangnya. ”Recapital juga tidak boleh melakukan eksekusi jaminan untuk memailitkan Dipasena,” ujar Iyal, sapaan akrab Syahrial.

Kegagalan Recapital membuat program revitalisasi Dipasena amburadul. Padahal, ketika terpilih sebagai kreditor utama pada akhir Oktober 2005, Recapital diharapkan bisa menyuntikkan ”darah segar” buat tambak udang seluas 186 ribu hektare—setara dengan 225 ribu lapangan sepak bola—itu. Bila sukses, Recapital bisa mengkonversi Rp 1,5 triliun menjadi 75 persen saham tambak udang terbesar di dunia itu.

Tapi, dalam perjalanannya, perusahaan yang sebagian besar sahamnya dimiliki Sandiaga S. Uno, Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia, itu ngos-ngosan. Program revitalisasi tidak berjalan sesuai dengan jadwal. Janji Recapital untuk mengucurkan dana buat inti tiga bulan setelah perjanjian utama diteken tak terlaksana.

Hingga November 2006, Recapital baru menyetor Rp 650 miliar. Situasi kian runyam karena perjanjian kerja sama antara plasma dan manajemen Dipasena yang kini dinakhodai Rudyan Kopot, bekas CEO PT Charoen Pokphand Indonesia, itu terkatung-katung hingga Oktober tahun lalu.

Pemerintah pun mengultimatum Recapital. Bila hingga akhir 2006 program revitalisasi tak juga rampung, posisinya sebagai kreditor utama bakal tergusur.

Recapital selamat setelah menandatangani perjanjian fasilitas revitalisasi, konversi dan opsi, serta administrasi dan komitmen pembiayaan plasma pada akhir tahun lalu. Tapi, menurut Syahrial, salah satu klausul dalam perjanjian itu menyebutkan, bila Recapital tidak memenuhi sisa pendanaan hingga 1 Maret 2007, perusahaan ini dinyatakan gagal bayar.

Kenyataannya, ya itu tadi, Recapital tak mampu menambal sisa pendanaan buat Dipasena. Gara-garanya, ”Ada beberapa anggota konsorsium yang mundur di saat-saat terakhir,” kata Sandiaga Uno, yang juga Komisaris Utama Recapital. Padahal, menurut Sandiaga, konsorsium yang terdiri atas sindikasi perbankan asing dan perusahaan pengelola dana itu sudah sepakat mencurahkan US$ 200 juta (sekitar Rp 1,8 triliun) untuk menutupi kekurangan dana.

Rosan punya cerita lain. Belakangan, enam dari sebelas anggota konsorsium mundur karena biaya yang mesti dikucurkan buat Dipasena melar. Hitung-hitungan terbaru manajemen menyebutkan kolam udang raksasa itu membutuhkan dana Rp 3,1 triliun, naik seratus persen dari kalkulasi awal.

Menurut Rudyan Kopot, Presiden Direktur Dipasena, menggelembungnya modal yang dibutuhkan antara lain untuk mengganti teknologi budi daya dari sistem terbuka menjadi tertutup. Air laut kelak tidak langsung mengalir ke tambak, tapi ditampung dulu di tambak karantina dan tambak yang diperlakukan khusus. Setelah steril, baru dialirkan ke tambak-tambak.

Namun sumber Tempo mengatakan penyebab Recapital gagal bayar bukan bengkaknya pendanaan. ”Tapi gara-gara ada Grup Bakrie di belakang Recapital,” katanya. Pendanaan dari Grup Bakrie ini sejak awal selalu ditutup-tutupi. Celakanya, ketidakterbukaan itu membuat Grup Bakrie dinilai minus oleh investor asing.

Padahal, dalam urusan Dipasena ini, Grup Bakrie bergantung pada pendanaan asing. Soalnya, kantong perusahaan yang kini dinakhodai Nirwan Bakrie, adik Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie, itu sudah banyak terkuras untuk menyelesaikan semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur.

Ultimatum pemerintah membuat Grup Bakrie harus menggalang dana—bila tak ingin duitnya di Dipasena dibekukan. Salah satu yang sibuk menggalang dana adalah Samin Tan, Presiden Direktur Renaissance Capital Asia, yang menjadi penasihat keuangan Recapital saat memenangi tender Dipasena. Renaissance pernah membantu Bumi Resources, anak perusahaan Grup Bakrie, mengakuisisi Kaltim Prima Coal. Perusahaan ini pula yang membantu Energi Mega Persada mengakuisisi ladang gas British Petroleum di Kangean, Madura, Jawa Timur.

Tapi penggalangan dana itu tak mulus. Menurut sumber Tempo, investor ragu-ragu nyemplung ke Dipasena. ”Karena Grup Bakrie tidak terus terang berada di balik Recapital,” katanya. ”Mereka khawatir kelompok usaha Bakrie buang badan bila terjadi sesuatu dengan Dipasena.” Padahal kepastian itu dibutuhkan lantaran Dipasena menyimpan sejumlah persoalan warisan masa lalu.

Anindya N. Bakrie, Presiden Direktur PT Cakrawala Andalas Televisi, anak perusahaan Grup Bakrie, menampik kabar tersebut. ”Tidak ada hubungan antara Bakrie dan Recapital, apalagi dalam transaksi Dipasena,” ucap putra Aburizal tersebut. ”Lagi pula kami punya bisnis masing-masing.”

Bantahan juga datang dari Samin Tan. Menurut dia, kabar itu menyembul gara-gara Rosan pernah minta nasihat dari Nirwan Bakrie saat Recapital mengajukan tawaran buat Dipasena. ”Kebetulan Pak Nirwan tahu banyak soal bisnis udang,” kata Samin. ”Tapi bukan berarti Nirwan di belakang Recapital.”

Meski begitu, Samin mengaku pernah diminta Nirwan mencarikan dana untuk Rosan. Permintaan itu datang sekitar Agustus tahun lalu. ”Tapi konteksnya hanya untuk pertemanan biasa, bukan pertimbangan bisnis,” Samin berdalih.

Benarkah tanpa pertimbangan bisnis? Rosan, yang juga duduk sebagai Komisaris PT Arutmin, anak perusahaan Grup Bakrie, justru mengakui bahwa Samin adalah anggota konsorsium mereka. ”Jadi Pak Samin memang terlibat dalam pencarian dana,” katanya.

Namun ia menepis ada aroma Bakrie di balik Recapital. ”Tidak ada aliran dana dari Bakrie,” katanya. Yang ada hanya masukan dari Nirwan saat proses tender berlangsung. Nasihat juga datang dari Edwin Soeryadjaya. Rosan dan Sandiaga memang pernah berkongsi dengan Edwin ketika mengakuisisi Mitra Global Telekomunikasi Indonesia senilai US$ 265 juta.

Kegagalan Recapital menambah cerita muram di tambak udang yang dulu dimiliki taipan Sjamsul Nursalim itu. Resepnya tak kunjung cespleng sejak zaman awal reformasi hingga kini. Padahal tambak yang mulanya mendapat konsensi lahan 16.250 hektare itu menyimpan potensi besar. Hasil panennya pernah merambah Amerika Serikat dan Jepang. Ekspornya pada 1996 menembus US$ 167 juta.

Tapi prestasi itu tidak pernah menetes kepada plasma, alias petambak, meski seorang petambak bisa mendulang 2 ton udang dalam sekali panen. ”Kami tidak pernah pegang duit,” kata Nafian Faiz, Kepala Kampung Bumi Dipasena Jaya. ”Yang ada, utang kami malah bengkak.” Malah ada petambak yang terjerat utang hingga Rp 500 juta.

Nasib petambak tambah tak menentu setelah Sjamsul menyerahkan aset yang dibangun sejak 1987 itu kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Langkah ini ditempuh setelah Bank Dagang Nasional Indonesia—bank milik Sjamsul yang ditutup pemerintah—menyisakan utang Rp 28,4 triliun. Saat itu Dipasena dihargai Rp 20 triliun. Harga itu langsung mengobarkan perdebatan karena Kwik Kian Gie, Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri era Presiden Abdurrahman Wahid, menghitung nilai ”kolam isi air” itu tak lebih dari Rp 2 triliun.

Kini pemerintah akan menghitung ulang nilai aset Dipasena. Langkah ini ditempuh karena setelah Recapital gagal, pemerintah punya dua opsi: mencari kreditor baru atau menjual 100 persen saham Dipasena. Dari dua pilihan tadi, menurut Syahrial, pemerintah cenderung memilih opsi kedua. Tapi itu semua masih menunggu hasil perhitungan aset, yang nilainya bisa di atas US$ 53,5 juta.

Para petambak meminta pemerintah tidak menjual Dipasena sebelum program revitalisasi tuntas. ”Perjanjian kerja sama antara manajemen dan plasma juga tidak boleh diutak-atik lagi,” kata Nafian Faiz. Ia meminta pemerintah menjamin pembiayaan untuk para petambak.

Syahrial setuju. Siapa pun kreditor atau investor yang nantinya berminat harus menyetor deposit Rp 1,1 triliun di rekening penampungan sebelum menawar Dipasena. Siapa berminat?

Yandhrie Arvian

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus