SAMPAI akhir Juni kemarin ternyata inflasi masih belum berhasil
dijinakkan. Angka indeks harga yang tercatat pada bulan itu
adalah 2,3%, sesudah sebulan sebelumnya tercatat 4,3%. Dengan
demikian selama setengah tahun pertama inflasi telah tercatat
15%, dibandingkan dengan hanya 6,7% untuk seluruh tahun 1978.
Sedangkan tingkat tahunan pada bulan Juni tersebut sudah
mencapai 22,5%. Sekalipun angka inflasi ini sudah cukup tinggi,
namun gejalanya indeks inflasi ini akan terus meningkat dalam
bulan-bulan mendatang ini. Harga beberapa bahan pokok seperti
beras dan jagung sudah naik dengan 20 - 30%, dan naiknya bahan
makanan untuk ternak telah mendorong harga telor dan daging.
Lebaran sudah di ambang pintu, dan dari sini dapat dipastikan
akan terjadi lagi gejolak harga. Dan dengan naiknya harga minyak
seperti yang diputuskan OPEC di Jenewa baru-baru ini dengan 24%,
maka harga barang-barang keperluan Indonesia yang diimpor dari
luar, seperti barang modal dan bahan baku akan naik. Hingga
impor inflasi ini jelas akan mempengaruhi tingkat harga di dalam
negeri.
Ditertawakan
Banyak yang mengkhawatirkan bahwa kalau tingkat inflasi ini
tidak bisa dikendalikan, maka manfaat devaluasi 15 Nopember akan
hilang. Apabila kenaikan biaya di dalam negeri yang dibayar
eksportir lebih cepat dari kenaikan kurs yang diterimanya, maka
eksportir akan kehilangan gairah untuk menekspor. Di lain
pihak, bila tingkat harga di dalam negeri naik lebih cepat dari
inflasi di luar negeri, maka harga barang dari luar negeri akan
lebih menarik daripada harga produksi dalam negeri, hingga
dorongan untuk mengimpor menjadi lebih besar.
Tekanan inflatoir ini makin terasa lagi sejak pemerintah
menaikkan hara minyaknya, yang terakhir pada 15 Juni lalu,
beberapa hari sebelum OPEC memutuskan kenaikan harga minyak.
Dengan kenaikan harga minyak ini diperkirakan penerimaan devisa,
yang berarti juga penerimaan dalam negeri pada APBN akan
bertambah sekitar US$400 500 juta. Kalau pemerintah tidak
hati-hati membelanjakan tambahan dana yang besar ini, tambahan
peredaran dana yang mengalir ke masyarakat akan menambah suhu
inflasi. Dan pertambahan dana pemerintah ini masih bisa lebih
besar lagi seandainya pemerintah menaikkan harga minyak lagi
sejalan dengan langkah yang diambil sebagian besar anggota OPEC
lainnya. Kecuali Indonesia dan Arab Saudi, negara anggota OPEC
lainnya telah menjual minyaknya rata-rata di atas US$21 per
barrel. Sampai sekarang Indonesia selalu mengambil sikap yang
moderat dalam harga minyak, dan selalu yang terakhir dalam
menaikkan harganya.
Apakah sikap seperti ini masih perlu dipertahankan Indonesia?
Prof. Sadli, bekas Menteri Pertambangan dan juga salah seorang
alumni pertemuan OPEC menganjurkan agar Indonesia melepaskan
sikapnya yang moderat ini dan segera memasang harga minyaknya
setinggi mungkin. Dalam wawancaranya dengan harian Kompas
beberapa hari yang lalu Sadli mengemukakan bahwa sebagai
pensuplai minyak dunia, bagian minyak Indonesia sangat kecil,
hingga pengaruh kenaikan harganya tak akan terasa. "Dan sebagai
negara yang tidak kaya, buat apa kita main amal kepada konsumen
minyak seperti Jepang dan AS," tanya Sadli, "nanti kita
ditertawakan orang saja." Di samping itu Sadli juga menganjurkan
agar pemerintah segera mengatur harga LSWR (Low Sulphur Waxy
Residue) yang dengan naiknya minyak mentah kini harganya malah
ketinggalan. Menurut Sadli harga LSWR ini seharusnya harus lebih
tinggi dari minyak mentahnya, karena pada LSWR terdapat komponen
ongkos prosesing. Sekarang ini harga LSWR adalah US$18 per
barrel, sedangkan harga minyak mentah US$18,50 per barrel.
Satu putusan penting yang diambil oleh pemerintah Indonesia
segera sesudah keputusan harga minyak oleh OPEC, adalah tidak
akan dinaikkannya harga BBM di dalam negeri. Bulan April lalu
harga BBM dalam negeri sudah dinaikkan dengan 40%, dengan tujuan
bahwa subsidi BBM ini harus makin berkurang. Karena sebagian
besar BBM ini masih harus diimpor, dengan kenakan harga minyak,
harganya pun akan naik dan devisa yang diperlukan juga
bertambah.
Ini berarti bahwa sebagian pertambahan devisa yang berasal dari
kenaikan harga minyak ekspor akan dibelanjakan lagi ke luar
negeri. Tapi di lain pihak, subsidi untuk BBM akan naik lagi,
dan diperkirakan akan mencapai Rp 400-500 milyar pada anggaran
tahun ini. Sejauh subsidi ini bisa mempertahankan harga BBM,
akibatnya baik bagi inflasi. Tapi apakah dana yang diberikan
pemerintah sebagai subsidi BBM ini kepada Pertamina akan
inflatoir, akan tergantung dari bagaimana Pertamina
membelanjakan dana yang diterimanya tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini