Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Masih Jauh Dari Jangkauan

Harga beras tampaknya akan naik terus, impian swasembada beras tampaknya masih jauh dari jangkauan. Menteri pertanian Sudarsono mewajibkan PNP untuk membuka perkebunan padi. (eb)

14 Juli 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SATU pukulan berat lagi menimpa para konsumen Indonesia ketika awal Mei lalu harga beras tiba-tiba melonjak. Kenaikan ini justru terjadi ketika suasana panas inflasi akibat devaluasi dan kenaikan harga bahan bakar belum mereda. Di Jakarta, harga beras jenis Cianjur Kepala, yang awal Mei masih Rp 230/kg, pada awal bulan ini sudah mencapai Rp 280/kg, sedang harga jenis "Saigon" naik dari Rp 175 menjadi Rp 230/kg. Kenaikan harga sekitar 20%-31,7% ini bukan tidak diketahui pemerintah. Dalam keterangannya pada pers beberapa waktu berselang, Kepala Bulog Bustanil Arifin memberi kesan bahwa kenaikan harga ini memang sengaja diatur pemerintah, agar harga beras mencapai tingkat yang wajar guna memberi perangsang bagi petani untuk meningkatkan produksinya. Betulkah ini? Sebab sumber lain menunjukkan bahwa memang agak sulit bagi pemerintah sekarang untuk mempertahankan harga beras, apalagi menurunkannya. Dalam dua bulan terakhir ini, harga beras di luar negeri telah naik US$ 35 sampai US$ 50 per ton, hingga kini harganya sekitar US$ 275 per ton. Kenaikan harga ini sudah terjadi sebelum adanya keputusan kenaikan harga minyak oleh OPEC. Untuk mengimbanginya negara pengekspor beras -- yang kebanyakan adalah pengimpor minyak -- dengan sendirinya akan menaikkan harga beras ekspornya. Dengan demikian diduga harga beras di luar negeri masih akan terus naik. Apabila pemerintah masih tetap pada kebijaksanaannya untuk memperkecil subsidi beras, dengan sendirinya Bulog akan harus meneruskan kenaikan harga beras impornya pada konsumen. Sementara itu sekalipun stok beras yang dikuasai Bulog cukup besar, lebih dari 1 juta ton, jumlah yang musti dilcmpar ke pasar ternyata juga meningkat keras belakangan ini. Bila sebelumnya hanya sekitar 20.000 ton sebulan buhn Juni kemarin, melonjak menjadi 65.000 ton. Di Jakarta, yang tadinya cukup diinjeksi 800 ton sehari kini tidak cukup dengan 1600 ton sehari. "Ada sesuatu terjadi dengan suplai dari petani dan sawah-sawahnya," kata Bustanil Arifin. Apa "sesuatu" itu tidak dijelaskannya. Tapi yang dikhawatirkan tampaknya bukan saja seretnya aliran beras dari desa, tapi bayangan bahwa produksi beras tahun ini akan parah lagi. Impian Swasembada Perkiraan produksi beras tahun ini masih tetap sekitar 18 juta ton, sedangkan konsumsi sekitar 17,3-17,5 juta ton. Teoritis, produksi dalam negeri sebenarnya sudah cukup untuk keperluan konsumsi. Tapi karena biasanya cadangan penyangga masih diperlukan, untuk persediaan waktu tidak bercocok tanam dan paceklik sebesar 10% dari produksi, maka Bulog masih harus mengimpor beras sekitar 1,5 juta ton tahun ini. Di samping itu masih ada beberapa masalah lagi. Bulog pernah memperkirakan, susut beras pada masa pasca panen mencapai 10-25%, yang berarti sekitar 2 sampai 5 juta ton hilang. Serangan hama wereng tahun lalu mengakibatkan hilangnya 200.000 ton beras. Selama hal seperti ini belum bisa ditanggulangi, Impian swasembada beras tampaknya masih akan jauh dari jangkauan. Selama Pelita III pemerintah merencanakan untuk menambah areal sawah sebanyak 350.000 Ha. Untuk tahun ini diharapkan akan tercapai perluasan 40.000 Ha. Ada lagi upaya lain. Ide pembukaan sawah lewat perkebunan kini muncul kembali sesudah tak terdengar beritanya sejak terjadinya kriss keuangan Pertamina. Tadinya Pertamina dengan dananya yang besar diharapkan bisa memperluas usahanya pada perkebunan padi. Usaha ini sudah dicoba di Sumatera Selatan, tapi macet gara-gara krisis yang dideritanya. Kini ternyata perusahaan perkebunan milik pementah (PNP) yang akan menerima beban untuk membuka perkebunan padi. Menteri Pertanian Sudarsono pernah mengungkapkan bahwa PNP akan diharuskan menanam sebagian keuntungannya pada perkebunan padi. Perkebunan semacam ini akan segera dimulai di Jambi dan Riau, sedang PTP/PNP di Jawa bisa melakukan patungan dengan rekannya yang di luar Jawa. Pada tahap pertama usaha ini diharapkan bisa memenuhi kebutuhan perkebunan yang bersangkutan sendiri. Buruh perkebunan besar kini berjumlah 500.000 orang atau sekitar 2,5 juta bersama keluarganya. Mereka ini memerlukan 300.000 ton beras setahunnya, dan untuk memprodusir beras sebanyak ini, diperlukan tanah seluas 120.000 Ha. Apakah dana yang nantinya tersedia dari bagian laba PTP/PNP akan cukup untuk membuka areal seluas ini masih harus dilihat. Tapi kalau hal ini berhasil dilaksanakan, berarti sumbangan yang tak kecil bagi usaha meningkatkan produksi beras.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus