SATU pukulan berat lagi menimpa para konsumen Indonesia ketika
awal Mei lalu harga beras tiba-tiba melonjak. Kenaikan ini
justru terjadi ketika suasana panas inflasi akibat devaluasi dan
kenaikan harga bahan bakar belum mereda. Di Jakarta, harga
beras jenis Cianjur Kepala, yang awal Mei masih Rp 230/kg, pada
awal bulan ini sudah mencapai Rp 280/kg, sedang harga jenis
"Saigon" naik dari Rp 175 menjadi Rp 230/kg.
Kenaikan harga sekitar 20%-31,7% ini bukan tidak diketahui
pemerintah. Dalam keterangannya pada pers beberapa waktu
berselang, Kepala Bulog Bustanil Arifin memberi kesan bahwa
kenaikan harga ini memang sengaja diatur pemerintah, agar harga
beras mencapai tingkat yang wajar guna memberi perangsang bagi
petani untuk meningkatkan produksinya.
Betulkah ini? Sebab sumber lain menunjukkan bahwa memang agak
sulit bagi pemerintah sekarang untuk mempertahankan harga beras,
apalagi menurunkannya. Dalam dua bulan terakhir ini, harga
beras di luar negeri telah naik US$ 35 sampai US$ 50 per ton,
hingga kini harganya sekitar US$ 275 per ton. Kenaikan harga ini
sudah terjadi sebelum adanya keputusan kenaikan harga minyak
oleh OPEC. Untuk mengimbanginya negara pengekspor beras -- yang
kebanyakan adalah pengimpor minyak -- dengan sendirinya akan
menaikkan harga beras ekspornya. Dengan demikian diduga harga
beras di luar negeri masih akan terus naik. Apabila pemerintah
masih tetap pada kebijaksanaannya untuk memperkecil subsidi
beras, dengan sendirinya Bulog akan harus meneruskan kenaikan
harga beras impornya pada konsumen.
Sementara itu sekalipun stok beras yang dikuasai Bulog cukup
besar, lebih dari 1 juta ton, jumlah yang musti dilcmpar ke
pasar ternyata juga meningkat keras belakangan ini. Bila
sebelumnya hanya sekitar 20.000 ton sebulan buhn Juni kemarin,
melonjak menjadi 65.000 ton. Di Jakarta, yang tadinya cukup
diinjeksi 800 ton sehari kini tidak cukup dengan 1600 ton
sehari. "Ada sesuatu terjadi dengan suplai dari petani dan
sawah-sawahnya," kata Bustanil Arifin. Apa "sesuatu" itu tidak
dijelaskannya. Tapi yang dikhawatirkan tampaknya bukan saja
seretnya aliran beras dari desa, tapi bayangan bahwa produksi
beras tahun ini akan parah lagi.
Impian Swasembada
Perkiraan produksi beras tahun ini masih tetap sekitar 18 juta
ton, sedangkan konsumsi sekitar 17,3-17,5 juta ton. Teoritis,
produksi dalam negeri sebenarnya sudah cukup untuk keperluan
konsumsi. Tapi karena biasanya cadangan penyangga masih
diperlukan, untuk persediaan waktu tidak bercocok tanam dan
paceklik sebesar 10% dari produksi, maka Bulog masih harus
mengimpor beras sekitar 1,5 juta ton tahun ini. Di samping itu
masih ada beberapa masalah lagi. Bulog pernah memperkirakan,
susut beras pada masa pasca panen mencapai 10-25%, yang berarti
sekitar 2 sampai 5 juta ton hilang. Serangan hama wereng tahun
lalu mengakibatkan hilangnya 200.000 ton beras. Selama hal
seperti ini belum bisa ditanggulangi, Impian swasembada beras
tampaknya masih akan jauh dari jangkauan.
Selama Pelita III pemerintah merencanakan untuk menambah areal
sawah sebanyak 350.000 Ha. Untuk tahun ini diharapkan akan
tercapai perluasan 40.000 Ha. Ada lagi upaya lain. Ide pembukaan
sawah lewat perkebunan kini muncul kembali sesudah tak terdengar
beritanya sejak terjadinya kriss keuangan Pertamina. Tadinya
Pertamina dengan dananya yang besar diharapkan bisa memperluas
usahanya pada perkebunan padi. Usaha ini sudah dicoba di
Sumatera Selatan, tapi macet gara-gara krisis yang dideritanya.
Kini ternyata perusahaan perkebunan milik pementah (PNP) yang
akan menerima beban untuk membuka perkebunan padi. Menteri
Pertanian Sudarsono pernah mengungkapkan bahwa PNP akan
diharuskan menanam sebagian keuntungannya pada perkebunan padi.
Perkebunan semacam ini akan segera dimulai di Jambi dan Riau,
sedang PTP/PNP di Jawa bisa melakukan patungan dengan rekannya
yang di luar Jawa.
Pada tahap pertama usaha ini diharapkan bisa memenuhi kebutuhan
perkebunan yang bersangkutan sendiri. Buruh perkebunan besar
kini berjumlah 500.000 orang atau sekitar 2,5 juta bersama
keluarganya. Mereka ini memerlukan 300.000 ton beras setahunnya,
dan untuk memprodusir beras sebanyak ini, diperlukan tanah
seluas 120.000 Ha. Apakah dana yang nantinya tersedia dari
bagian laba PTP/PNP akan cukup untuk membuka areal seluas ini
masih harus dilihat. Tapi kalau hal ini berhasil dilaksanakan,
berarti sumbangan yang tak kecil bagi usaha meningkatkan
produksi beras.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini