EMPATPULUH dua pengusaha tekstil pribumi di Majalaya Jawa Barat
hari-hari ini mendapat rezeki borongan istimewa. Deru mesin ATM
dan ketak-ketik Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) yang selama ini
sepi kini ramai lagi. Ada alasan mengapa demikian. Selain
memenuhi kebutuhan Lebaran mendatang juga Departemen Hankam
telah memesan 821 ribu meter kain blacu untuk keperluan ABRI.
Pembelian itu "untuk membantu pemasaran tekstil Majalaya," kata
Mayjen Haryo Suroso, Kepala Badan Pembekalan (Bapek) ABRI.
Langkah Hankam ini tentu saja disambut gembira oleh para
pengusaha tekstil Jawa Barat itu.
"Pesanan itu merupakan awal dari kebangkitan kembali industri
kecil pribumi," kata H. Tatang Mukrom Direktur CV Tangulun yang
juga meangkap koordinator pengusaha tekstil di Majalaya kepada
Hasan Syukur dari TEMPO. Namun H. Tatang, satu di antara 42
pengusaha tekstil yang kecipratan rezeki itu mengharapkan,
Hankam tidak hanya memesan blacu saja tapi diperluas dcngan
jenis tekstil lainnya. H.E. Sukendar, Direktur CV Jembartex yang
memiliki 300 Alat Tenun Mesin (ATM) menganggap "usaha
pemerintah itu harus diimbangi oleh pengusaha dengan mengadakan
berbagai perbaikan." Baik dalam mutu produksi, manajemen maupun
bidang pemasaran.
Dulu, ketika ramainya sistim jatah industriawan tekstil pribumi
kecil umumnya cuma aktif dalam produksi. Pemasarannya diserahkan
kepada pedagang lain yang sebagian besar terdiri dari non-pri.
Setelah para pedagang itu memiliki pabrik sendiri para pengusaha
pribumi ini kehilangan pasar. Kalau toh masih ada yang bertahan
itu adalah "mereka yang rajin menjajakan barangnya ke Pasar
Tanah Abang Jakarta," ucap H. Tatang Mukrom. Tapi dengan adanya
pesanan Hankam baru-baru ini ke-42 pengusaha tekstil pribumi
kecil ini agaknya tak perlu lagi menjajakan kain blacunya ke
pasar.
Proyek Cikal
Bangkitnya lagi Majalaya mungkin berkat adanya uluran tangan
Menteri Perindustrian AR Soehoed yang menunjuk PT Industri
Sandang (Insan) I sebagai "bapak angkat" industri tekstil.
Sebagai "bapak angkat" PT Insan I memberikan. fasilitas modal
kerja dan menyalurkan pemasaran produksi. Menurut Mayjen Atam
Surakusumah, Dir-Ut PT Insan I modal kerja itu berupa penjualan
kredit benang tenun. Kredit bahan baku itu akan dibayar kembali
dengan hasil produksi. Sedang pembinaan dalam bidang manajemen
dan teknis dilakukan oleh Bimbingan dan Pengembangan Industri
Kecil (Bipik) Ditjen Industri Kecil. Dan selaku konsumen maka
Bapek ABRI mengikutsertakan Institut Teknologi Tekstil (ITT)
Bandung sebagai pengawas produksi dan kwalitas kain.
Langkah yang diambil PT Insan I terhadap 42 industri tekstil
pribumi, Majalaya barulah merupakan proyek cikal (pilot
project). Ini meliputi sekitar 1200 ATM dan pesanan Hankam itu
sudah harus siap dalam tempo 4 bulan. Dewasa ini di Majalaya
terdapat 132 perusahaan industri tekstil milik pribumi. Dalam
jumlah ini belum termasuk 111 milik non-pri yang umumnya
mendapat fasilitas kredit bank. "Dari 132 itu baru 2 pengusaha
pribumi yang dapat kredit bank," ujar Yan Mokoginta Ketua Tim
Komisi VI DPR-RI yang meninjau pelaksanaan Keppres 14/1979 di
Majalaya pekan lalu. Anggota DPR yang juga dikenal sebagai
pengurus Kadin itu menilai prosedur kredit bank untuk pengusaha
pribumi kecil ini harus dirobah. Katanya: "Pihak bank jangan
hanya berpegang pada ketentuan-ketentuan formil saja. Tapi harus
didasarkan pada kelayakan." Dia berpendapat tindakan Hankam yang
memesan produksi tekstil Majalaya ini amat positip bahkan
menggairahkan para pengusaha.
Tidak semua pengusaha tekstil Majalaya bergairah menyambut.
"Saya belum ikut, ingin melihat pelaksanaannya dulu," ujar Iyas.
Kenapa? Iyas yang memiliki 26 buah mesin tenun dan memproduksi
kain songket itu "sedang sibuk melayani pesanan untuk bulan
puasa dan Lebaran." Tapi diakuinya, industri tekstil pribumi
Majalaya akan merangkak cepat kalau pesanan Hankam liwat PT
Insan I berkelanjutan dan diikuti oleh instansi lain.
Memang menjelang puasa Ramadhan dan Lebaran situasi pasaran
tekstil lagi sedang baik. Tapi bulan-bulan berikutnya biasanya
merupakan masa paceklik bagi produsen tekstil. Sedang
kesinambungan produksi harus tetap dipertahankan. Di sinilah
perlu instansi pemerintah mengikuti jejak Departemen Hankam itu.
Lebih Berkah
Bagi perusahaan yang punya jaringan pemasaran, "rezeki" yang
didapat 42 pengusaha pribumi Majalaya itu memang bukan hal yang
luar biasa. Menurut Munir, 43 tahun, manajer pabrik tekstil
Persatuan Pembatikan Indonesia Pekalongan (PPIP) dengan pesanan
itu "seolah-olah kita menjadi buruh." padahal katanya "menjadi
juragan lebih berkah." Kini Pabriteks PPIP yang terletak di
Baros, Kabupaten Batang itu memiliki 308 buah ATM yang
dijalankan selama 24 jam (3 shift). Jumlah produksinya 8500 pis
sebulan dengan tenaga kerja 500 karyawan. Juga Hasan Syakur, 50
tahun, Ketua I Koperasi Persatuan Batik Setono (KPBS) di desa
Setono, Batang yang memproduksi mori merasa "sedikit pun tak
iri" dengan rekannya dari Majalaya. Dengan 80 buah mesin, pabrik
KPBS ini mampu memproduksi sekitar 2000 pis mori prima setiap
bulan dengan mempekerjakan 118 karyawan. Untuk bahan baku,
pabrik milik 270 anggota koperasi ini membeli benang tenun dari
Perusahaan Industri Daerah (Pinda) Semarang atau Patal Sencang.
Sampai kini, "bimbingan dari Bipik belum ada, semua bimbingan
diperoleh dari GKBI," kata Hasan Syakur kepada pembantu TEMPO,
Churozi Mulyo.
Berbeda dengan Ketua I KPBS, H. Surip yang memiliki 40 mesin
tenun di Pekalongan ingin pula "mendapat pesanan dari
pemerintah". Dan H. Surip yang memproduksi kain verban dan mori
itu mengatakan: "Saya iri dengan pesanan Hankam kepada pengusaha
tekstil Majalaya." Pabriknya yang terletak di belakang rumahnya
cuma bekerja 8 jam sehari. Untuk bahan baku ia pernah membeli
dengan sistim kredit kepada PT Insan, "prosedurnya mudah asal
ada bank garansi," katanya. Untuk mendapat bank garansi inilah
yang sulit. Meskipun tak pernah mendapatkan bimbingan teknik dan
manajemen dari Bipik, H. Surip pun ingin bangkit kembali.
Tampaknya keinginan H. Surip tak Iama lagi akan menjadi
kenyataan. Menteri Perindustrian AR Soehocd telah menunjuk PT
Insan I sebagai "bapak angkat" untuk memberikan bantuan
fasilltas modal kerja kepada industri tekstil pribumi di daerah
Jawa Tengah bagian barat, termasuk Pekajangan, Sumatera Utara
yang kemudian disusul dengan daerah Sumatera Barat. Di Sumatera
Utara misalnya, dewasa ini terdapat sekitar 1500 ATM, 2000 ATBM
dan 8500 gedogan. Masing-masing menghasilkan kain sarung,
songket dan ulos. Untuk memproduksi kain ulos dan salun (adat)
diperlukan benten (benang tenun) jenis No. 20 S sekitar 60 bal
sebulan. Sekarang hanya berjalan 15%. Tapi dengan adanya
dropping benten dari PT Insan I menurut Atam Surakusumah
"produksi ulos dan sarung diharapkan meningkat menjadi dua kali
lipat."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini