Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Kenapa mahathir khawatir

Pengetatan pengawasan terhadap pers di malaysia, agar tidak menghambat pembangunan dan menjaga citra malaysia. ada majalah asing yang mendapat kesulitan beredar. (md)

26 Mei 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEMERINTAH Malaysia belakangan ini makin risau melihat berita-berita yang dipandang "menghambat pembangunan". Walaupun Undang-Undang Pencetakan dan Publikasi yang disetujui Dewan Rakyat - parlemen federal negeri itu-- 16 April lalu belum ditandatangani Yang Dipertuan Agung, peraturan baru ini mencerminkan pengawasan lebih ketat terhadap pers. Malaysia sejak tahun lalu tampak lebih repot menghadapi pemberitaan yang dipandangnya . mempunyai pengaruh buruk. Pemerintahan yang dipimpin PM Dr. Mahathir Mohamad kini menilai, banyak pemberitaan yang tak mempedulikan kepentingan umum. "Dalam sebuah negeri yang multiras," kata Mahathir, "media massa hendaknya memberikan jaminan bahwa aktivitasnya tak mengganggu pembangunan." Sedangkan Wakil Menteri Dalam Negeri Mohamad Kasim Ahmad menegaskan, "Pemerintah akan mengawasi pers asing yang merusakkan citra Malaysia." Itulah sebabnya, oleh UU yang baru itu menteri dalam negeri Malaysia diberi wewenang untuk "menjewer" pers yang nakal. Menurut UU itu, media asing yang beroperasi atau beredar di Malaysia harus menyerahkan deposit, semacam uang jaminan, yang suatu ketika dapat diambil negara sebagai denda jika membuat pemberitaan yang merugikan. Prosesnya akan melewati sidang pengadilan. Soal deposit ini kelak masih akan diatur dengan peraturan pemerintah. Sebermula, PM Mahathir tersinggung sekali oleh laporan majalah mingguan terbitan Hong Kong, Far Eastern Economic Review (FEER). Majalah ini pada salah satu nomor awal tahun 1984 memuat perbedaan pendapat antara Yang Dipertuan Agung Malaysia dan Kabinet tentang masalah konstitusi. Akibatnya, peredaran FEER sekarang dipersulit. Di Kuala Lumpur, misalnya, pertengahan Mei ini para pembaca baru blsa mendapatkan FEER edisi satu bulan yang lewat. "Oplah kami jatuh," kata James Clad, koresponden FEER di Kuala Lumpur, kepada James R. Lapian dari TEMPO. Padahal, menurut Clad - tanpa menyebut jumlah Malaysia menyedot 20% dari keseluruhan oplah majalah itu. Tetapi FEER tidak sendirian. Sejak Juli 1982 hingga Maret 1983, harian The Asian Wall Street Journal (AWSJ) - juga terbitan Hong Kong - mengalami penundaan peredaran pula. Hal itu konon disebabkan laporan AWSJ tentang seorang pengusaha yang disebut menanjak namanya setelah Dr. Mahathir Mohamad naik ke kursi perdana menteri. Gara-gara penundaan peredaran ini pula, AWSJ terlambat sampai tiga minggu di pasaran: "Secara ekonomis," kata Raphael Pura, wartawan AWSJ di Malaysia, "cara seperti ini lebih mematikan." Pelanggan AWSJ di Malaysia kini tercatat 1.500 orang. Tapi, "Banyak di antara mereka yang menarik diri," kata Pura. UU yang mengontrol pers asing sebetulnya sudah ada di Malaysia sejak 1958. Di samping itu, juga ada undang-undang yang menyangkut fitnah ataupun hasutan, yang dikeluarkan 1970, sesudah pecahnya kerusuhan rasial 16 Mei 1969. Hal baru yang dicakup UU terakhir yang diterima parlemen April lalu itu, hanyalah masalah deposit ini. Dan di sampingnya, dalam upaya pemerintah Malaysia membendung berita yang membahayakan stabilitas nasional, sejak awal Mei ini berita dari kantor berita asing, seperti AP, UPI, AFP, dan Reuter, hanya boleh disebarluaskan lewat Bernama, kantor berita Malaysia. Sebagai negeri multiras, Malaysla sangat berhati-hati terhadap isu yang mempertajam pertentangan ras. Separuh lebih, persisnya 53% dari sekitar 14 juta, penduduk negeri itU adalah keturunan Melayu. Golongan nomor dua besar ialah Cina, yakni 35%. Selain itu, terdapat keturunan Tamil, 11%, dan keturunan Eropa, 1 %. Di Malaysia sekarang tiap hari beredar 2,2 juta eksemplar surat kabar, yang terbit dalam empat bahasa: Malaysia 48,6%, Inggris 34,6 %, Cina 16 %, dan Tamil 0,8%. Sebelum diterima oleh Parlemen, undang-undang pers yang baru ini telah dibicarakan lewat debat yang cukup seru. Dengan alasan bahwa peraturan itu akan membelenggu kemerdekaan pers, Partai Aksi Demokrasi oposisi - menentang rancangan itu. Ketentuan baru ini, tampaknya, lebih banyak ditujukan untuk membendung pengaruh media luar negeri. Media cetak Malaysia sendiri pada umumnya patuh terhadap ketentuan pemerintah, sebab ada kewajiban untuk memperbarui izin terbit setiap tahun. Salah satu yang tak memperoleh perpanjangan izin itu ialah majalah Roket, terbitan Partai Aksi Demokrasi, yang dibekukan lima tahun lalu. Walau begitu, James Clad tak terlalu khawatir, malah, Raphael Pura tak percaya bahwa Yang Dipertuan Agung akan segera menandatanganinya. UU Malaysia melarang mempersoalkan kedudukan para sultan, bahasa Melayu sebagai bahasa nasional, Islam sebagai agama negara, dan masalah ras. Tapi PM Mahathir mungkin juga tak mau mendengar berita di luar yang bisa mengganggu stabilitas nasional. Nadi Insan, majalah bulanan, tahun lalu ditutup karena menyiarkan wawancara dengan Tunku Wira, pimpinan Patani United Liberation Organization. Pasalnya? Berita itu dianggap dapat merusakkan hubungan diplomatik dengan Muangthai. Entah kenapa, kini makin banyak saja soal yang membuat PM Mahathir begitu khawatir.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus