Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Lain di bibir lain di hati

Banyak orang yang ingin menggalakkan produk dalam negeri ternyata tidak yakin untuk menggunakan produk tsb. di bidang periklanan terdapat moral: pakailah selalu produk klienmu.(ki)

26 Mei 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BARU saja saya menerima sebuah undangan. Loka Karya Pembahasan Konsep Dasar Strategi Promosi Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri, begitu judulnya. Acara ini diselenggarakan sebuah organisasi bekerja sama dengan Kantor Menteri Muda UP3DN (Urusan Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam Negeri). Undangannya dicetak rapi di atas kertas bermutu tinggi. Di sinilah kejanggalan itu langsung terasa. Loka karya itu akan membicarakan upaya penggalakan penggunaan produksi dalam negeri, tetapi undangannya dicetak di atas kertas conqueror bikinan luar negeri. Saya pun mengangkat telepon. "Ha haha," seru orang di seberang telepon. "Saya sudah menduga akan mendapat pertanyaan seperti ini," kata orang itu. "Soalnya, kalau pakai kertas dalam negeri kurang selling, Mas. Nanti orang tidak tertarik untuk datang." Nah, ini dia. Persis seperti lirik lagu lama: lain di bibir lain di hati. Orang-orang, yang katanya ingin menggalakkan penggunaan produksi dalam negeri, ternyata justru tidak yakin untuk menggunakan produk dalam negeri. Sama saja bo'ong. Saya lantas teringat akan pelajaran moral yang pertama ketika saya mulai bekerja di bidang periklanan: "Pakailah selalu produk klienmu". Kalau saya mengiklankan baju Arrow, sehari-hari pun saya harus tampak menggunakan baju Arrow, bukan Dior atau Lanvin. Kalau saya mengiklankan Bir Bintang, maka saya pun harus minum Bir Bintang, setidaknya ketika di depan klien saya. Akan lucu rasanya kalau dalam suatu pertemuan membicarakan rasional kreatif untuk rokok 234 di antara jari-jari saya mengepul asap sebatang sigaret 555. David Ogilvy, salah seorang tokoh periklanan yang dikenal karena banyak menulis buku tentang periklanan, juga dikenal karena sikapnya. yang fanatik terhadap produk kliennya. Dia selalu memakai baju Hathaway, karena merk itu diiklankan biro iklannya. Hanya naik pesawat terbang KLM saja yang tidak dilakukannya, karena ke mana-mana ia selalu memakai kapal laut. Tetapi, sebagai gantinya, ke mana-mana ia sering tampak mengenakan dasi yang memakai logo KLM. Hal-hal seperti ini memang tampaknya sepele, sekalipun dalam beberapa hal ia dapat sangat berarti bagi kelangsungan usaha. Bagaimana kita bisa meyakinkan masyarakat untuk membeli suatu produk kalau kita sendiri tidak memakainya? Terutama bagi orang-orang yang bergerak di bidang komunikasi, orang hanya percaya kalau ia sendiri konsekuen dengan apa yang dikomunikasikannya. Di Jawa Timur ada seorang petugas lapangan keluarga berencana yang dengan bagusnya membuat ceramah tentang pentingnya keluarga berencana bagi masyarakat. Lalu ada yang bertanya, "Sampeyan sendiri anaknya berapa?" Dengan tersipu-sipu petugas itu menjawab bahwa anaknya telanjur lima. Komentar yang ia peroleh. "Wah, itu namanya konsekuen (kamu terlalu lama)." Diam-diam, di Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup upaya memakai produk dalam negeri sudah berjalan sejak lama, sekalipun mungkin dengan alasan lain: yaitu memanfaatkan bahan kertas nonkayu. Paling tidak ini sudah relevan dan konsekuen dengan kampanye penggalakan pelestarian lingkungan hidup yang dilakukan oleh Kantor ini. Di Kantor ini map-map yang diunakan dibuat dari bahan enceng gondok, tanaman yang saat ini belum ditemukan manfaatnya, dan lebih banyak dianggap sebagai pengganggu. Kartonnya memang tidak halus, mirip kertas merang yang tebal. Di bagian dalamnya dicetak keterangan bahwa bahan map itu adalah enceng gondok. Di sinilah letak keunikan map itu sehingga setiap orang yang menerima map "bermutu rendah" itu justru akan mengharai keunikannya. Diam-diam saya bayangkan kartu undangan atau kartu nama yang menarik karena bahannya dlbuat dari kulit singkong. Kalau dengan seni melipatnya orang Jepang bisa membuat kemasan yang sungguh menarik dari daun bambu, kenapa kita tidak bisa melakukan hal yang serupa? Bukankah kita masyarakat berbudaya dan penuh daya cipta? Penggunaan produk dalam negeri memang tidak hanya untuk dilokakaryakan. Tetapi perlu dibuktikan dan diwujudkan dalam laku. Bondan Winarno.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus