Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MEMASUKI bulan kesebelas pandemi Covid-19 di Tanah Air, penanganan krisis belum menampakkan hasil maksimal. Sementara itu, pemulihan ekonomi juga belum berjalan optimal. Tak ada yang tahu kapan akhir situasi tak menentu ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di tengah ketidakjelasan ini, sejumlah kampus dan lembaga penelitian memacu riset dan melahirkan sejumlah temuan. Setidaknya enam instansi sedang mengembangkan vaksin Merah Putih: Lembaga Eijkman, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Universitas Airlangga, dan Universitas Gadjah Mada. UGM juga menciptakan GeNose, alat tes lewat napas; LEN Industri bersama Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi serta ITB mendesain emergency ventilator; dan masih banyak lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari sisi usaha, tak ada yang perlu diragukan: semua lembaga riset itu sudah melakukan yang terbaik agar negeri segera bebas dari pandemi. Tapi, dari kacamata tata kelola, seluruh upaya itu seperti coba-coba: tidak menunjukkan adanya rencana dan desain, apalagi kepemimpinan dan strategi dalam riset dan inovasi di negeri ini.
Apa yang salah dan bagaimana memperbaikinya?
Masalah paling mendasar adalah bahwa riset dan inovasi tak pernah sungguh menjadi prioritas di Indonesia. Mungkin karena sentimen, atau hanya abai, sejak lengsernya Presiden Soeharto, praktis wacana tentang “iptek” yang dulu erat menempel pada Orde Baru dan sosok B.J. Habibie absen dari ruang publik. Demikian juga dalam perencanaan pembangunan, sejak reformasi hingga 2014, ilmu pengetahuan, riset, dan teknologi (dan lalu inovasi) tidak pernah menjadi prioritas nasional. Artinya, sejak Presiden Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, hingga Susilo Bambang Yudhoyono.
Barulah pada periode pertama Joko Widodo-Jusuf Kalla 2014-2019, iptek dan inovasi muncul sebagai prioritas nasional, meski tidak disebut dalam Nawacita. Tapi wujudnya hanya target membangun 100 science-techno park dalam lima tahun dan ternyata cuma tercapai lima. Hal lain adalah menggabungkan Pendidikan Tinggi ke dalam Kementerian Riset dan Teknologi menjadi Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi.
Tak ada perubahan berarti di periode kedua Joko Widodo-Ma’ruf Amin: riset dan inovasi tak ada dalam lima visi kunci 2019-2024. Yang disebut hanya transformasi ekonomi, infrastruktur, sumber daya manusia, reformasi birokrasi, dan penyederhanaan perizinan. Pun dalam anggaran. Dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2021 sebesar Rp 2.750 triliun, alokasi untuk riset hanya Rp 9,9 triliun (0,36 persen)—ini malah turun dari Rp 30 triliun (1,1 persen) dalam APBN 2020. Angka itu pun merupakan akumulasi alokasi anggaran riset yang tersebar di semua kementerian dan lembaga untuk tujuh sektor prioritas: kesehatan, pendidikan, teknologi informasi, infrastruktur, ketahanan pangan, perlindungan sosial, dan pariwisata.
Ini semua makin menegaskan: riset dan inovasi memang tidak pernah menjadi prioritas bagi bangsa ini.
Ketika pandemi menyergap, kita berharap riset dan inovasi bisa segera menjadi solusi: menciptakan alat tes, membuat vaksin, merekayasa ventilator atau alat kesehatan lain. Namun itu tak terjadi. Penyebabnya jelas: karena kita tidak pernah menginvestasikan sumber daya dan perhatian pada riset dan inovasi. Bahwa UGM bisa menciptakan alat tes GeNose atau ITB dan BPPT mendesain ventilator, misalnya, itu bukan karena strategi riset dan inovasi yang memadai, melainkan kepepet.
Hingga kini, lebih dari 94 persen alat kesehatan masih didominasi impor—termasuk alat tes, perlengkapan lab, reagen, dan ventilator. Setelah setahun pandemi berjalan, Kementerian Kesehatan mengestimasi anggaran untuk penanganan Covid-19 2021 sebesar Rp 134,46 triliun. Dari angka itu, Rp 58,18 triliun dialokasikan untuk vaksinasi dan hanya Rp 670 miliar buat penelitian.
Jadi jangan pernah berharap riset dan inovasi bisa menjadi penyelamat bagi semua jika ada krisis atau bencana baru lagi kelak. Sudah pasti harapan itu akan kandas lagi kalau cara kita memperlakukan riset dan inovasi tetap seperti ini.
Sama halnya dengan mimpi Indonesia Maju 2045, setelah kita melewati pandemi ini. Tidak mungkin menjadi pemimpin dunia jika ekonomi negeri masih mengandalkan jual-beli komoditas dan relokasi industri alas kaki. Syarat mutlak menjadi bangsa maju adalah ekonomi berbasis pengetahuan dan inovasi.
Menurut Indeks Inovasi Global 2020, Indonesia ada di peringkat ke-85 dari 131 negara—tak berubah sejak 2018. Kita duduk di urutan ke-9 dari 29 negara berpenghasilan menengah ke bawah serta ke-14 dari 17 negara di Asia Tenggara, Asia Timur, dan Oseania. Jadi sudah pasti Indonesia Maju 2045 juga tinggal mimpi kalau riset dan inovasi tidak pernah menjadi tuan di negeri sendiri. Itulah mengapa kita mesti memprioritaskan riset dan inovasi dalam satu orkestrasi.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi serta munculnya struktur Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), yang disatukan dengan Kementerian Riset dan Teknologi, sebenarnya adalah terobosan. Sebab, memberikan landasan regulasi sekaligus kelembagaan untuk tata kelola riset serta inovasi yang lebih baik dan memprioritaskannya.
Terobosan ini mesti terwujud. Caranya?
Pertama, struktur kelembagaan BRIN harus segera diputuskan. Sejak Menteri Riset dan Teknologi/Kepala BRIN ditunjuk pada 23 Oktober 2019, sudah 16 bulan kementerian/badan ini berjalan tanpa struktur definitif. Hanya ada pelaksana tugas sekretaris, deputi, dan perangkat lain. Kondisi ini tidak bisa diterima dari segi tata kelola. Tanpa struktur definitif, tak ada kerja yang efektif. Jika untuk memimpin dan mengorkestrasi jalannya riset dan inovasi saja terbentur kendala fundamental ini, bagaimana mau memprioritaskan riset dan inovasi?
Ada yang menduga persoalan ini tersandera urusan politik tingkat tinggi. Kalaupun benar, tugas Presidenlah sebagai pemimpin tertinggi birokrasi untuk menyelesaikannya. Sebab, pada akhirnya menteri dan kepala lembaga adalah pembantu Presiden juga.
Jadi sudah saatnya Presiden mengambil langkah tegas tanpa menunda lagi untuk segera memutuskan struktur BRIN. Apa pun keputusannya—tetap digabung atau dipisah dari Kementerian Riset dan Teknologi dengan enam, tujuh, atau lebih kedeputian atau lainnya—tetaplah itu akan lebih baik daripada membiarkan Kementerian Riset dan Teknologi/BRIN terkatung-katung seperti selama ini.
Mengapa demikian? Karena peran negara lewat BRIN adalah memastikan perbaikan tata kelola riset negara agar lebih mandiri, terfokus, dan kolaboratif dengan kinerja riset dan inovasi yang lebih terintegrasi dan terukur dampaknya. BRIN menjadi kunci dalam reformasi birokrasi di semua lembaga riset pemerintah agar proses kerja menjadi lebih sederhana dan peneliti tidak dihantui perizinan ataupun pelaporan keuangan yang terlampau rumit.
BRIN juga memastikan fasilitas riset meningkat jumlahnya, tersebar merata, dan bisa diakses secara terbuka. Integrasi inovasi akan jauh lebih mudah jika proses riset tidak “berat sebelah” hanya pada ilmu teknik, tapi juga ilmu sosial-humaniora. Karena itu, BRIN harus menjamin transparansi proses bisnis riset.
Kedua, untuk membangun negeri menuju ekonomi maju, BRIN harus memastikan berjalannya ekosistem pengetahuan dan inovasi. Pertama-tama, BRIN mesti menjadi dirigen komersialisasi dan penghiliran hasil riset yang didorong untuk mendongkrak daya saing bangsa. Artinya: menyiapkan insentif untuk memperkuat riset dasar, mendorong riset terapan hingga terjadi invensi, dan menyediakan fasilitas untuk menjembatani “jurang kematian” (valley of death) dari invensi ke inovasi.
Tanpa ekosistem ini, tak ada orkestrasi memajukan bangsa lewat riset dan inovasi. Yang ada hanya upaya serabutan (arbitrary) tanpa rencana, apalagi strategi. Akibatnya, riset tidak menjawab kebutuhan; kebutuhan dipenuhi lewat kebiasaan impor dan beli tanpa evaluasi. Akhirnya, inovasi sekarat, lalu mati. BRIN harus mencegah ini terjadi.
Lalu BRIN mesti memastikan agar pengetahuan diintegrasikan secara sadar, sengaja, dan terencana dalam kehidupan lewat kebijakan publik. BRIN mesti memastikan penggunaan bukti (evidence) dalam pembuatan kebijakan sekaligus mengupayakan agar dampak tak-termaksud (unintended consequence) yang pasti ada dalam setiap kebijakan pembangunan sungguh diperhitungkan, diantisipasi, dan dimitigasi. BRIN harus menjamin proses knowledge to policy ini terjadi.
Tugas negara adalah menyelaraskan riset dan inovasi agar sejalan dengan tujuan pembangunan bangsa. Pandemi ini membuka mata bahwa riset dan inovasi memang harus menjadi prioritas. Bukan hanya untuk keluar dari wabah ini, tapi juga buat meraih mimpi masa depan menjadi bangsa yang maju, unggul, dan bermartabat di mata dunia.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo