Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Simalakama dalam rapbn 1991-92

Pendapatan dari migas meningkat rp 5 trilyun dari yang dianggarkan. realisasi subsidi bbm ikut naik. pemerintah masih akan mempertahankan subsidi bbm. subsidi bbm mengurangi anggaran untuk sektor lain.

12 Januari 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEJAK dari awal pidatonya, Menko Ekuin Radius Prawiro sudah mengakui bahwa pemerintah berada dalam dilema penentuan harga minyak. Namun. dalam konperensi pers khusus untuk mengantarkan RAPBN 1991-92 itu, semua menteri dalam jajaran Ekuin tampak berwajah tenang, seakan teka-teki Perang Teluk sudah terjawab. Padahal selain krisis Teluk yang mengembangkan rasa tidak menentu, juga laju pertumbuhan ekonomi dunia melambat, dan volume perdagangan dunia dibayang-bayangi kegagalan Putaran Uruguay. Kembali ke soal minyak, untuk menentukan harga patokan ternyata pelik sekali. Dipatok berdasarkan harga pasar, salah. Tapi, dipatok dengan harga terlalu rendah juga tidak benar. Gara-gara krisis Teluk, harga minyak melambung -- Minas per Desember harganya 29,01 dolar per barel -- dan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor non-ekonomis. Hal ini juga ditegaskan dalam Nota Keuangan, yang diantarkan Presiden di DPR, Senin pekan ini. Dikepung oleh pelbagai ketidakpastian di sekitar krisis Teluk, pemerintah tidak mungkin hanya menunggu saja. RAPBN tetap harus dibuat. Dan harga patokan tidak perlu menunggu deadline Teluk: 15 Januari depan. Tak jelas, entah didorong oleh pertimbangan yang bagaimana, tapi sikap hati-hati yang besar tersirat nyata dari angka US$ 19 per barel untuk harga patokan minyak dalam RAPBN 1991-92. "Harga 19 dolar merupakan harga terbaik yang bisa kami perkirakan," kata Menteri Pertambangan dan Energi Ginandjar Kartasasmita. Bukan perkiraan sembarang perkiraan, tentunya. Berdasarkan perhitungan pemerintah, dalam APBN yang sedang berjalan, harga rata-rata Minas jatuhnya 21 dolar per barel. Dengan demikian, dalam RAPBN kali ini, pendapatan dari migas dipatok pada angka Rp 40.184 milyar, alias naik 27,2%. Itu jika dibandingkan dengan pendapatan migas yang dianggarkan tahun lalu. Tapi lain halnya jika angka RAPBN 1991-92 ini dibandingkan dengan perkiraan realisasi anggaran yang sedang berjalan. Diduga, dengan harga rata-rata 21 dolar plus tingkat produksi rata-rata yang 1,44 juta barel per hari, pendapatan dari migas pada 1990-91 akan meningkat menjadi Rp 36,56 trilyun, alias Rp 5 trilyun lebih tinggi dari yang dianggarkan. Makanya, bila dijejerkan dengan angka perkiraan realisasi, angka perolehan Migas dalam RAPBN yang baru saja diumumkan itu tidaklah terlalu kolosal, Bedanya cuma Rp 3,6 trilyun. Hanya satu hal perlu diperhatikan, yakni beban subsidi BBM. Semula, dalam anggaran berjalan, subsidi yang satu ini diperkirakan Rp 806,8 milyar saja. Kenyataannya? Sungguh mengejutkan. Realisasi subsidi diperkirakan membengkak menjadi Rp 2,6 trilyun lebih. Jumlah ini termasuk "koreksi" perhitungan subsidi di tahun-tahun sebelumnya sebesar Rp 821,5 milyar. Artinya, jika dikurangi dengan "nilai koreksi" tersebut, perkiraan realisasi subsidi BBM tahun 1990-91 adalah Rp 1,82 trilyun. Atau 125% lebih tinggi dari yang dianggarkan. Jadi, wajar pula jika kali ini pemerintah menganggarkan subsidi Rp 1,18 trilyun. Dengan perhitungan, pemakaian BBM dalam negeri akan meningkat 13% menjadi 34 juta kiloliter. Yang mengundang pertanyaan para pakar adalah, kenapa pemerintah bertahan dengan subsidi BBM. Menteri Ginandjar menjawab lugas, "Untuk sementara, pemerintah tetap akan mempertahankan subsidi BBM." Disertai pesan bahwa dengan membengkaknya subsidi tidak berarti harga jual BBM tidak akan naik. "Saya tidak menjamin," tuturnya. Untuk mengerem pemakaian BBM di dalam negeri, tidak pula mudah. Ini diakui Ginandjar. Buktinya, ketika tahun lalu harga minyak dinaikkan 15%, konsumsi bensin dan solar tetap saja membengkak. Kenaikan tersebut terutama disebabkan oleh sektor transportasi dan industri. Lain halnya dengan minyak tanah, yang tingkat konsumsinya mendatar, bahkan cenderug menurun. Kenyataan ini menunjukkan bahwa menekan tingkat konsumsi BBM dengan mekanisme harga hanyalah bisa efektif untuk kalangan masyarakat berpenghasilan rendah -- yang paling banyak menggunakan minyak tanah. Sedangkan untuk masyarakat berpenghasilan tinggi, "mekanisme harga ini belum manjur," kata Menteri. Pendapat serupa juga dikemukakan pengamat ekonomi Anwar Nasution. Kalau memang mekanisme harga sudah tidak manjur lagi, dan hanya dinikmati oleh kalangan menengah ke atas, "kenapa subsidi tetap dipertahankan? Ini sudah tidak benar," katanya kepada Dwi Irawanto dari TEMPO. Anwar serta-merta membandingkan subsidi BBM ini, yang volumenya hampir seperempat dari anggaran gaji pegawai negeri. Tentu, pemerintah punya alasannya sendiri. Katakanlah, salah satu tujuan subsidi BBM adalah untuk mendongkrak ekspor nonmigas. Nah, ini pun perlu dipertanyakan. "Mana yang lebih besar, subsidi BBM atau peningkatan ekspor nonmigas kita," kata ekonom yang terkenal vokal ini. Anwar bersikukuh, sebaiknya subsidi BBM dihapuskan saja. Sebab, dengan dipertahankan seperti sekarang, tak ubahnya dengan orang yang mengurangi jatah makannya demi menjaga kestabilan asap rokok yang diisapnya. Soalnya, "Membengkaknya subsidi BBM telah mengurangi anggaran untuk sektor lainnya," ujarnya lugas. Keberatan Anwar sangat bisa dimaklumi. Tapi, seperti disebutkan di atas, pemerintah tentu menyimpan alasan-alasannya sendiri. Selain itu, bukan tidak mungkin krisis Teluk mereda tanpa bunyi tembakan sekalipun. Dan harga minyak Minas lantas anjlok. Jadi, untuk sementara, subsidi jangan dipersoalkan. Dan harga US$ 19 per barel itu benar-benar aman. Budi Kusumah, Iwan Qodar Himawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus