Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Revisi UU Pengampunan Pajak atau tax amnesty masih ada dalam daftar program legislasi nasional prioritas.
Komisi XI DPR yang menginisiasi RUU Pengampunan Pajak dengan dalih memulihkan ekonomi.
Program tax amnesty bisa menambah penerimaan, tapi menimbulkan ketidakadilan.
DI antara 41 rancangan undang-undang yang masuk dalam Program Legislasi Nasional Prioritas 2025, Dewan Perwakilan Rakyat menempatkan RUU Pengampunan Pajak. Aturan ini bakal menjadi landasan hukum tax amnesty jilid ketiga.
Komisi XI DPR menginisiasi perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak. Menurut Wakil Ketua Komisi XI DPR Mohamad Hekal, usulan ini digulirkan untuk membantu pemerintah menambah pendapatan negara. "Tujuannya untuk membantu pemerintah dalam mencari sumber-sumber pembiayaan program pemerintah," katanya, Kamis, 21 November 2024.
Lewat program tax amnesty, pemerintah menawarkan pengampunan untuk wajib pajak perorangan dan badan yang belum mengungkapkan harta mereka dengan cara membayar uang tebusan. Program ini terbukti berhasil mendatangkan dana segar untuk pemerintah. Ketika program ini digelar pertama kali pada periode 2016-2017, pemerintah mengantongi Rp 114 triliun. Sedangkan pada 2022, ketika digelar amnesti jilid kedua dengan nama Program Pengungkapan Sukarela, pemerintah mendapatkan Rp 61 triliun.
Keberhasilan inilah yang menurut Wakil Ketua Komisi XI DPR Fauzi Amro mendorong timnya mengusulkan tax amnesty jilid ketiga. "Tax amnesty I dan II kan berhasil menggaet wajib pajak dari luar negeri, kesadaran pajak orang tumbuh," ujarnya. Harapannya, pemerintah bisa menambah basis pajak, meningkatkan penerimaan, serta mengoptimalkan belanja.
Dana yang akan diperoleh pemerintah dari pengakuan para wajib pajak juga diharapkan bisa mengurangi defisit anggaran 2026. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2025, pemerintah mematok defisit senilai Rp 616,2 triliun.
Meski usulan RUU Pengampunan Pajak sudah disetujui dalam rapat paripurna pada 19 November 2024, Komisi XI DPR belum membagikan detail ketentuan tax amnesty jilid ketiga yang bakal mereka atur, seperti sasaran wajib pajak, skema tarif, serta periode pelaksanaannya. Hekal menyatakan pihaknya masih harus duduk bersama pemerintah. "Ini masih jauh, masih perlu pengkajian," ujarnya. Menurut Fauzi, pemerintah juga punya opsi menolak usulan tersebut.
Setelah menggelar pengampunan pajak pada 2022, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pernah berikrar tak akan menerapkan program yang sama lagi.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Dwi Astuti menegaskan, rencana program pengampunan pajak belum disepakati oleh pemerintah. "Terkait dengan Rancangan Undang-Undang Tax Amnesty, kami akan mendalami rencana tersebut," ujarnya.
Peneliti dari Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran, Badiul Hadi, memaklumi keinginan penyelenggara negara untuk menambah pendapatan. Target penerimaan negara tahun depan mencapai Rp 3.005,1 triliun. Angkanya naik dari target 2024 yang sebesar Rp 2.802,3 triliun.
Pemerintah butuh banyak pendapatan, terutama untuk mendanai program prioritas Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka yang membutuhkan anggaran besar. Sebut saja program makan bergizi gratis, yang menurut Badan Gizi Nasional, membutuhkan Rp 1,2 triliun per hari. Jika program ini dapat dijalankan secara penuh oleh 30 ribu satuan pelayanan di seluruh Indonesia, setiap satuan pelayanan bisa mengakomodasi kebutuhan makan 3.000 anak sekolah per kecamatan.
Tax amnesty menjadi opsi lantaran langkah tersebut terbukti bisa menambah dana negara dengan mudah, meskipun selama ini pelaksanaannya tak optimal. Hal itu, antara lain, terlihat dari rasio basis pajak yang tak tumbuh signifikan. "Tingkat kepatuhan masyarakat kita juga belum begitu baik terhadap pajak," katanya.
Namun kebijakan ini berpotensi memunculkan ketidakadilan. Sebab, pada saat yang sama, pemerintah menerapkan kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN). Sejak 1 April 2022, pemerintah menaikkan PPN dari 10 persen menjadi 11 persen. Mulai 1 Januari 2025, tarifnya naik menjadi 12 persen.
Dengan kenaikan PPN menjadi 12 persen, masyarakat umum, terutama kelas menengah ke bawah, akan terkena dampaknya. Sementara itu, masyarakat kelas atas yang menjadi sasaran program tax amnesty diberi pengampunan pajak.
Hadi menyatakan kenaikan PPN menjadi 12 persen pada tahun depan merupakan sumber pendapatan negara yang besar. "Tapi kalau ini dieksekusi, akan banyak masyarakat yang jadi obyek pajak, terutama masyarakat kelas menengah, jadi terbebani," kata dia. Tarif pajak Indonesia memang rendah dibanding banyak negara lain. Tapi ia mengingatkan bahwa kondisi ekonomi sedang tidak stabil. Idealnya, eksekusi program ini ditunda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut dia, pemerintah bisa menempuh strategi lain untuk menambah penerimaan negara. Dia menyinggung kembali pernyataan adik Prabowo Subianto, Hashim Djojohadikusumo, yang menyebutkan ada potensi penerimaan negara hingga Rp 300 triliun dari industri sawit yang tak membayar pajak. Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra tersebut mengatakan para pengusaha nakal ini tidak memiliki nomor pokok wajib pajak dan rekening bank di Indonesia.
Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia Ajib Hamdani menyatakan, di satu sisi, kebijakan tax amnesty akan menimbulkan rasa ketidakadilan terhadap wajib pajak yang patuh. Masyarakat juga akan cenderung meremehkan kebijakan perpajakan karena pemerintah "secara rutin" memberikan pengampunan pajak. "Kedua hal inilah yang membuat kebijakan tax amnesty adalah yang program yang kurang ideal," katanya.
Namun, di sisi lain, tax amnesty bisa membantu meningkatkan literasi perpajakan dan tingkat kepatuhan masyarakat. Selain tambahan arus kas, pemerintah bisa mengantongi data harta bersih wajib pajak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Ilona Estherina Piri, Vedro Imanuel, dan Oyuki Ivani Siagian berkontribusi dalam penulisan artikel ini