Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Resepsi peringatan setahun revolusi Libya yang digelar di Hotel Ritz-Carlton di kawasan Kuningan, Jakarta, Rabu pekan lalu, berlangsung meriah dengan 300 lebih undangan. Sahibulhajat malam itu adalah kuasa usaha Kedutaan Besar Libya di Jakarta, Masoud S. el-Koshly. Ia tak henti menebar senyum, meskipun beberapa tamu dari kalangan pemerintah Indonesia yang sangat dia harapkan tidak hadir.
Kekecewaan Koshly cukup terobati dengan kedatangan Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Widjajono Partowidagdo. Sebagai pejabat tertinggi yang hadir mewakili pemerintah RI, Widjajono disambutnya dengan memberi kehormatan untuk memotong kue tart tanda perayaan di atas panggung. "Kami senang melihat Pak Widjajono datang," kata Lukman Mahfoedz, Direktur Utama PT Medco Energi Internasional Tbk. "Karena diundang, ya, saya datang," ujar Widjajono seusai acara.
Seperti halnya Koshly, para pengusaha Indonesia yang sedang mencoba membangun kembali bisnisnya di Libya setelah tumbangnya Muammar Qadhafi ikut kecewa malam itu. Mereka berharap setidaknya ada seorang pejabat setingkat menteri yang menghadiri resepsi.
Bahkan seorang petinggi lembaga telik sandi negara yang ada di acara itu sempat berbisik, "Saya tak habis pikir, apa alasan pemerintah kita sehingga sampai hari ini belum juga memberikan pengakuan kepada Dewan Transisi Nasional (NTC) yang sekarang berkuasa di Libya."
Pengakuan resmi yang tak kunjung diberikan itu, menurut Direktur Eksekutif Libyan-Indonesian Business Council Jaya Wahono sedikit banyak jadi ganjalan bagi para pelaku usaha kita untuk menjalin lobi dengan penguasa baru di Libya. Jaya membandingkan dengan gerak cepat yang dilakukan beberapa pemerintah negara lain yang segera menyatakan pengakuannya begitu tahu Qadhafi dipastikan tewas pada 20 Oktober lalu. "Mereka tahu besarnya potensi ekonomi yang ada di Libya setelah revolusi. Untuk merebut peluang itu, mereka tak bisa menunda-nunda langkah ke sana. Dalam hal ini, kita banyak ketinggalan."
Sebagai negeri dengan cadangan minyak bumi dan air tawar terbesar di Afrika, kata dia, Libya berpotensi menjadi penggerak utama perekonomian di Afrika Utara, bahkan Mediterania. Sebaliknya, Jaya menambahkan, Indonesia punya pengalaman panjang sebagai produsen minyak dan gas. Kita juga punya banyak tenaga kerja dengan keterampilan dan keahlian tinggi di bidang itu. "Yang lebih penting lagi, bangsa Libya cenderung memilih pekerja ahli dari Indonesia ketimbang Cina, India, Brasil, Rusia, dan bahkan dari Barat. Persepsi mereka tentang Indonesia sangat positif karena kesamaan kultur, historis, dan penduduknya yang mayoritas beragama Islam."
Bimo Harikristanto, Manajer Konsorsium PT Citra Megah Karya Gemilang (CKG) dan PT Inti Karya Persada Tehnik (IKPT), membenarkan Jaya seraya menuturkan pengalamannya selama lima tahun menggarap proyek di Libya. "Salah satu simbol penghargaan mereka kepada kita bisa terlihat dari nama jalan seperti Jalan Jakarta, Jalan Bandung, dan sebagainya, di Tripoli."
Menjelang akhir 2005, Bimo mulai bertugas di negeri itu untuk menangani proyek konstruksi, infrastruktur, perumahan, hotel dan perkantoran, hingga pembangunan tangki penimbunan minyak mentah dan cadangan air. Total ada 10 proyek di 27 lokasi. Nilainya sekitar US$ 1,5 miliar atau Rp 13,5 triliun.
Untuk perumahan saja, ia bercerita, konsorsium yang diwakilinya kebagian membangun 5.000 apartemen berukuran 200 meter persegi per unit. Hingga ia terpaksa pulang ke Tanah Air karena memburuknya situasi pada akhir 2010, sudah lebih dari 3.000 unit apartemen ia selesaikan konstruksinya. Selama itu, mereka mempekerjakan sekitar 5.000 tenaga kerja, termasuk 700 orang dari Indonesia. "Dari proyek ini saja, bahan bangunan seperti keramik yang bisa kita bawa dari Indonesia bernilai tak kurang dari US$ 500 juta atau sekitar Rp 4,5 triliun," kata Bimo.
Dengan bisnis sebesar itu, menurut dia, tak ada pilihan buat mereka selain kembali ke Libya. Apalagi, selama masa rusuh, mereka terpaksa pergi dengan meninggalkan tabungan dalam jumlah jutaan dolar di bank di Tripoli. Ada pula sejumlah tagihan yang belum dilunasi, serta 500-an unit alat konstruksi yang harganya tak sedikit.
Masalahnya, Bimo melanjutkan, semua kontrak dan proyek itu diperolehnya di bawah kekuasaan Qadhafi. "Dengan munculnya otoritas baru, sekarang semuanya harus diperbarui," ujarnya. "Di sinilah kami membutuhkan bantuan pemerintah untuk menjalin lagi kontak dengan pemerintahan transisi di Tripoli."
Hubungan dan upaya komunikasi melalui jalur informal lain tentu saja telah diupayakan. "Tapi, ketika mau membicarakan kontrak, mereka meminta semacam official talk dengan wakil pemerintah kita. Salah satu yang mereka harapkan adalah pengakuan itu."
Hambatan lain adalah belum beroperasinya secara penuh Kedutaan Besar RI di Tripoli, yang sudah diaktifkan kembali sejak awal Desember lalu. "Memang sudah dibuka, tapi beberapa pejabatnya belum ada. Ini juga merepotkan," kata Bimo. "Kami sudah melaporkan situasi ini ke Kementerian Pekerjaan Umum, lalu kirim surat ke Kementerian Perdagangan, dan akhir Januari lalu ke Kementerian Luar Negeri. Tapi belum ada kemajuan berarti."
Medco Energi, yang sejak 2005 sudah mengebor 20 lokasi dan menemukan 320 juta barel cadangan minyak di 18 sumur, tak mau lama-lama "disandera" oleh lambatnya langkah pemerintah. Begitu Qadhafi dipastikan jatuh, komunikasi segera diupayakan lewat semua cara untuk bisa melanjutkan investasi sekitar US$ 400 juta yang telah telanjur mereka tanam di Libya.
Hasilnya, mereka kembali mendapatkan persetujuan komersialisasi dari National Oil Company (NOC) Libya. Sekarang mereka bersiap membangun fasilitas eksploitasi dengan rencana investasi tambahan US$ 800 juta. "Komposisinya, 25 persen dari modal Medco, 25 persen dari rekanan, dan 50 persen adalah porsi pemerintah Libya," kata Lukman Mahfoedz. Jika pembangunan berjalan lancar, fasilitas ini diperkirakan sudah dapat berproduksi pada awal 2015.
Meski mengaku tak banyak menemui hambatan membangun kembali hubungan dengan otoritas baru di Tripoli, Lukman mengatakan situasinya akan jauh lebih mudah jika pemerintah mendukung langkah mereka secara lebih aktif. "Beberapa hari lalu saya baru dari Tripoli. Saya lihat Malaysia mulai masuk. Korea, Cina, dan Turki bahkan sudah lebih dulu. Indonesia mestinya jangan sampai ketinggalan. Ada banyak sekali peluang yang bisa kita garap di sana," ujarnya, Kamis pekan lalu.
Harapan kepada pemerintah begitu besar. Tapi juru bicara Kementerian Luar Negeri, Michael Tene, menolak anggapan pihaknya teramat lambat mengantisipasi perkembangan baru di Libya. Ia juga berkukuh bahwa permintaan pengakuan terhadap penguasa baru pengganti rezim Qadhafi tak ada hubungannya dengan hambatan bisnis di sana. "Itu tidak relevan. Kalau memang ada ganjalan, tolong beri tahu kami secara spesifik apa yang diharapkan untuk dibantu," katanya.
Menurut Michael, kebijakan politik luar negeri Indonesia hanya memberikan pengakuan resmi kepada negara, bukan rezim yang selalu berganti. "Menteri Luar Negeri sudah bertemu dengan pimpinan NTC dalam sebuah forum di New York. Hubungan kedua negara tak ada masalah. Buktinya, kedutaan mereka di Jakarta tetap beroperasi. Begitu pula kita di Tripoli, walaupun stafnya memang belum lengkap."
Michael berjanji mencatat keluhan para pengusaha. "Tapi saya belum mengerti, apa persisnya yang mereka ingin agar kami lakukan?" Kalau begitu, pembicaraan internal di Jakarta perlu segera digelar supaya peluang bisnis di Libya tak melayang percuma.
Y. Tomi Aryanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo