Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA buruh mengaduk campuran semen dan pasir di depan sebuah rumah tipe 21 yang sedang dibangun di Perumahan Nuansa Indah, Ciomas, Bogor, Selasa pagi pekan lalu. Mereka sesekali menyiramkan air dari ember ke dalam adukan. Di sampingnya, seorang tukang lain sedang menggergaji kaso sepanjang tiga meter. Dua buruh lain mengaci dan menghaluskan tembok rumah bagian belakang.
Di kompleks perumahan itu sudah terbangun 350 unit rumah tipe 21—artinya memiliki luas 21 meter persegi. Pengembangnya, PT Mahaloka Ayala Raya, sedang menyiapkan pembangunan proyek tahap kedua untuk hunian tipe 21, 27, dan 36. Tapi mereka menunda pemasaran lantaran menunggu peraturan pemerintah atau petunjuk teknis pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman. "Kami masih menanti kepastian dari Kementerian Perumahan Rakyat," kata Dera Rosdiana, tenaga pemasar Mahaloka, kepada Tempo pekan lalu.
Undang-Undang Nomor 1/2011 disahkan pada 11 Januari lalu. Sekarang Kementerian Perumahan Rakyat sedang menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah—petunjuk teknis untuk undang-undang tersebut. Kementerian menargetkan rancangan peraturan itu rampung Mei mendatang. Meski sudah disahkan, regulasi ini menimbulkan polemik di kalangan pengembang perumahan.
Ambil contoh pasal 22 ayat 3 dalam undang-undang tersebut. Menurut pasal ini, luas lantai rumah tunggal dan rumah deret—kompleks perumahan—minimal tipe 36. Pelanggarnya bisa dipenjara maksimal dua tahun atau denda maksimal Rp 5 miliar. Tak mengherankan bila kini pengembang tak berani lagi membangun apalagi memasarkan rumah di bawah tipe 36.
Menurut Ketua Realestate Indonesia (REI) Setyo Maharso, penjualan 21.143 unit rumah di bawah tipe 36 milik anggota REI terkatung-katung. Penyebabnya perbankan tak mau memberikan kredit pemilikan rumah (KPR) lantaran belum ada kepastian hukum atas penjualan rumah di bawah tipe 36. "Semuanya menunggu peraturan pemerintah turunan undang-undang itu," kata Setyo kepada Tempo.
Luas rumah tipe 36 merujuk pada acuan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana. Lembaga ini mengasumsikan keluarga sejahtera dengan dua anak. Menurut institusi ini, satu orang penduduk butuh hunian minimal sembilan meter persegi. Artinya, satu keluarga sejahtera membutuhkan rumah yang manusiawi seluas 36 meter persegi.
Menurut Kepala Biro Hukum dan Kepegawaian Kementerian Perumahan Rakyat Agus Magiarto, dengan mengacu pada standar Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana pun, Indonesia masih termasuk negara dengan ukuran rumah paling kecil. Standar minimum luas rumah berdasarkan acuan rumah sehat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sekitar 51 meter persegi. "Itu rumah dua kamar buat empat anggota keluarga," katanya kepada Tempo. Alasan ini memacu Kementerian Perumahan menargetkan harga rumah tipe 36 paling mahal Rp 70 juta per unit.
Menteri Perumahan dan Permukiman Djan Faridz malah sesumbar rumah ukuran 36 meter persegi bertembok beton bisa dibangun dengan harga sekitar Rp 25 juta per unit. Kementerian, kata Djan, akan menghapus beberapa biaya yang sebelumnya ditanggung pengembang. Misalnya sertifikasi tanah, surat perizinan pembebasan dan penggunaan tanah (SPPT), izin mendirikan bangunan (IMB), pajak pertambahan nilai (PPN), penyambungan listrik, dan penyambungan air minum.
Kementerian Perumahan juga akan mengalihkan biaya asuransi jiwa dan asuransi kebakaran yang dulu menjadi beban konsumen menjadi beban perbankan. "Kami sudah mengirim surat ke beberapa institusi dan lembaga agar membebaskan biaya-biaya ini," kata Djan kepada wartawan di Hotel Gran Kemang Jakarta, Rabu pekan lalu.
Setyo mengatakan, dari sisi kesehatan dan asas manusiawi, REI setuju luas rumah penduduk Indonesia minimal 36 meter persegi. Tapi tak mudah mewujudkan keinginan tersebut. Para pengembang di kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi serta Papua kesulitan membangun rumah tipe 36 dengan harga Rp 70 juta per unit. Masyarakat berpenghasilan rendah akan kesulitan membeli rumah bila harganya di atas patokan pemerintah.
Arif, 32 tahun, penghuni Perumahan Nuansa Indah Ciomas, Bogor, bisa jadi contoh. Tahun lalu ia membeli rumah tipe 21 di sana seharga Rp 59,5 juta. "Sekarang saja, dengan cicilan Rp 500 ribu, saya kewalahan. Apalagi lebih dari itu," ujarnya.
Lantaran masih ada ganjalan terhadap regulasi itu, sejak akhir tahun lalu REI sudah meminta Kementerian Perumahan meninjau ulang pelaksanaan aturan pembangunan rumah minimal 36 meter persegi. Pembicaraan terakhir dilakukan di sela-sela acara Jakarta Property Club di Episentrum Kuningan, Jakarta, Kamis dua pekan lalu.
Pengurus REI bertemu dengan Djan Faridz dan meminta pemerintah mencari solusi serta menyikapi kendala yang dihadapi pengembang, khususnya di Jabodetabek. REI juga melobi agar kewajiban membangun rumah minimal tipe 36 diundurkan menjadi awal tahun depan. "Kalau bisa ditunda lebih baik," ujar Setyo.
Berbeda dengan REI, para pengembang anggota Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) bersikap lebih keras. Apersi menolak kewajiban pengembang membangun rumah minimal tipe 36. Ketua Apersi Eddy Ganefo mengungkapkan, pengurus Apersi juga pernah meminta Kementerian Perumahan menunda dan bahkan membatalkan kewajiban tersebut. Namun Kementerian tak bersedia memenuhinya.
Mentok melobi Kementerian Perumahan Rakyat, kata Eddy, akhirnya pada 6 Januari lalu Apersi mengajukan uji materi pasal 22 ayat 3 dari UU Nomor 1/2011 ke Mahkamah Konstitusi. Apersi meminta Mahkamah membatalkan pasal tersebut lantaran menyulitkan konsumen dan pengembang. "Kami sudah dua kali sidang dengan Mahkamah Konstitusi," ujarnya pekan lalu.
Eddy menjelaskan, di kawasan Jabodetabek, sekitar 80 persen rumah yang terjual adalah tipe 21, 27, atau 30. Rumah mungil itu hampir semuanya dibeli oleh masyarakat berpenghasilan rendah dengan penghasilan di bawah Rp 2,5 juta per bulan. Adapun di luar Jawa, proporsi pembelian rumah tipe 36 sebanding dengan pembelian rumah dengan luas lebih kecil.
Harga jual rumah juga menjadi persoalan bagi Apersi. Menurut Eddy, di kawasan Jabodetabek sulit membangun rumah tipe 36 dengan harga hanya Rp 70 juta per unit. Berdasarkan perhitungan, harga rumah seluas itu Rp 90 juta hingga 120 juta. Dengan harga mendekati Rp 100 juta, rumah tersebut tidak bisa lagi mendapat subsidi bunga. Potongan pajak pertambahan nilai juga tak ada lagi. "Masyarakat berpenghasilan rendah akan kesulitan," ujarnya. Menurut aturan, pemerintah akan memberi subsidi bunga—7,25 persen setahun—untuk KPR senilai Rp 63 juta.
Agus heran dengan penolakan Apersi. Dia mengatakan, Kementerian sudah sering mensosialisasikan UU Nomor 1/2011, terutama kewajiban membangun rumah tipe 36, kepada pengurus Apersi. Kementerian juga telah mensosialisasi harga rumah maksimal Rp 70 juta. "Mereka (Apersi) sudah setuju harga itu. Tapi mengapa tiba-tiba mereka mengajukan uji meterial ke Mahkamah Konstitusi?"
Deputi Perumahan Sederhana Kementerian Perumahan Rakyat Pangihutan Marpaung menambahkan, Undang-Undang Perumahan justru memudahkan masyarakat kecil memiliki rumah. Selain harganya cuma Rp 70 juta per unit, uang muka pembelian diturunkan dari Rp 11 juta menjadi Rp 7,6 juta. Tingkat bunganya juga relatif ringan, hanya 7,25 persen selama 15 tahun.
Dengan kemudahan itu, sekarang masyarakat berpenghasilan di bawah Rp 3,5 juta per bulan bisa membeli rumah yang manusiawi. "Justru kami berpihak kepada masyarakat kecil. Jadi seharusnya didukung," ujar Marpaung.
Padjar Iswara, Ayu Prima Sandi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo