Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Ketika Operator Tak Mau Rugi

Renegosiasi kontrak PAM Jaya dengan operator swasta hampir tuntas. Pembahasan pasal harus diutamakan.

2 April 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sepekan ini Sriwidayanto Kaderi berkejaran dengan waktu. Saban hari Direktur Utama PT Perusahaan Air Minum (PAM) Jaya itu terus memantau kerja tim perunding renegosiasi kontrak dengan PT Aetra Air Jakarta. "Perundingan alot, tapi kami berusaha agar pada awal April kesepakatan dapat diteken," katanya Kamis pekan lalu.

Di ujung pena Sriwidayanto kini terletak nasib ratusan ribu pelanggan air bersih dan operasional perusahaan dalam sepuluh tahun mendatang. Hasil perundingan dengan Aetra, operator air minum swasta yang berkantor di Jakarta tapi terdaftar di Singapura, bakal menentukan naik-tidaknya tarif pelanggan dan kelangsungan bisnis perusahaan air minum milik pemerintah Jakarta itu.

Sejatinya, proses renegosiasi dengan Aetra sudah berjalan hampir setahun sejak April tahun lalu. Gagasan awal runding ulang dirintis Maurits Napitupulu, pejabat lama sebelum Sriwidayanto. Maurits dongkol lantaran menganggap kontrak dengan dua operator swasta, Aetra dan PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja), yang berdurasi 25 tahun sejak 1997, merugikan PAM Jaya.

Kontrak itu berupa kerja sama penyediaan dan pelayanan air bersih di wilayah barat dan timur Jakarta. Palyja mendapat konsesi di wilayah barat, sedangkan Aetra di timur. Perjanjian kerja sama dikuatkan pada 22 Oktober 2001, yang disetujui oleh Sutiyoso, Gubernur Jakarta waktu itu.

Meski perjanjiannya bisa direvisi tiap lima tahun, kerja sama tetap berat sebelah. Dalam hitungan Maurits, berdasarkan perjanjian kerja sama, tarif pelanggan yang kini rata-rata Rp 7.800 per meter kubik untuk Palyja dan Rp 6.800 untuk Aetra masih kelewat mahal. Di Surabaya, tarif pelanggan hanya Rp 2.600 per meter kubik, dan di Bekasi Rp 2.300 per meter kubik.

Maurits bertambah galau ketika PAM Jaya mesti menanggung utang Rp 18,2 triliun hingga akhir kerja sama pada 2022. Utang ini terbagi atas Rp 10,9 triliun, dan kepada Aetra Rp 7,3 triliun. Gunungan utang itu akibat defisit alias shortfall dari selisih antara tarif pelanggan dan imbalan alias water charge kepada operator yang terus membengkak.

Lewat pendekatan, Maurits berhasil membujuk Aetra ke meja perundingan untuk bernegosiasi ulang lewat nota kesepahaman (MOU) pada 8 April 2011. Belakangan Maurits terpental dari kursinya, diduga lantaran terlalu ngotot mendesak operator untuk berunding.

Hasil perundingan memunculkan poin-poin pokok, antara lain Aetra sepakat tidak meminta kenaikan tarif, tapi kenaikan imbalan (saat ini sekitar Rp 6.000 per meter kubik) 1,5 persen per tahun; menghapus shortfall; dan menurunkan tingkat keuntungan. Persoalannya, MOU belum berkekuatan hukum yang mengikat kedua pihak, sehingga perlu dituangkan dalam perjanjian induk atau master agreement.

Berbekal MOU itulah Sriwidayanto berunding. Menurut sumber Tempo di pemerintah, terjadi tarik-ulur antara PAM dan Aetra. Sejak awal Aetra mendesak PAM segera meneken perjanjian induk. Namun PAM Jaya bertahan untuk membahas perincian pasal dalam perjanjian yang dianggap tak seimbang.

Hingga Kamis pekan lalu, kata sumber itu, arah angin agaknya berpihak kepada tim perunding yang dipimpin Bano Rangkuti, komisaris Aetra. Alih-alih menuntaskan pasal per pasal, perundingan renegosiasi melulu membahas master agreement. "Ini lebih menguntungkan Aetra sebagai operator," katanya.

Dengan ditekennya master agreement, kedua pihak bakal terikat pada master plan. Dalam draf master plan Aetra, perusahaan yang sahamnya dikuasai Acuatico Pte Ltd dan Alberta Utilities, terdapat perhitungan yang janggal, misalnya, di tahun-tahun akhir kerja sama, seperti pada 2020, 2021, dan 2022, Aetra memproyeksikan dividen masing-masing Rp 512 miliar, Rp 347 miliar, dan Rp 239 miliar. Sedangkan PAM tak mendapat sepeser pun.

Selain itu, Aetra meminta keleluasaan lebih besar untuk mencari dana buat investasi. Padahal pinjaman komersial Aetra niscaya diikuti kewajiban membayar suku bunga. Beban bunga ini diperhitungkan sebagai komponen water charge dan tarif untuk pelanggan.

Malang bagi PAM dan para pelanggan, utang Aetra tidak benar-benar digunakan untuk investasi, tapi buat membayar utang lamanya kepada kreditor lain. Tengok saja penerbitan obligasi Thames PAM Jaya I Tahun 2008. Penjualan obligasi dengan suku bunga 11,30-13,25 persen itu mengeruk Rp 604 miliar. Namun dana ini dipakai untuk melunasi utang kepada Citibank sebesar US$ 69,5 juta.

Juru bicara Aetra, Yosua L. Tobing, membenarkan bahwa pihaknya ingin perjanjian induk segera diteken untuk mempersingkat waktu. Soalnya pembahasan pasal per pasal membutuhkan waktu yang lama. "Kalau begitu, kapan kita bisa bekerja?" kata Yosua. "Angka dalam master plan bukan begitu saja turun dari langit."

Keuntungan finansial dan keleluasaan yang diperoleh Aetra, menurut Yosua, merupakan hal wajar. "Mana ada perusahaan yang mau rugi?" katanya. Toh, dia beralasan, Aetra sudah "mengalah" tidak minta kenaikan tarif hingga 2022, menghapus shortfall yang diperkirakan bertambah hingga Rp 9,5 triliun pada 2022, dan menurunkan tingkat laba dari sebelumnya 22 persen menjadi 15,82 persen.

Keinginan Aetra yang tidak meminta kenaikan tarif diduga taktik belaka. Kewenangan penetapan tarif memang ada di tangan Gubernur dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan bukan urusan operator. Mekanisme kenaikan tarif diusulkan PAM Jaya kepada badan regulator, yang lantas mengajukannya ke Pemerintah Provinsi dan DPRD.

Usul tersebut harus dilengkapi dengan uraian kebutuhan keuangan PAM, badan regulator, pemerintah Jakarta, dan imbalan tarif yang harus dibayar ke operator swasta untuk setiap meter kubik yang diproduksi dan dibayar pelanggan. Jadi, ketika gubernur menaikkan tarif pelanggan, water charge juga ikut naik.

Rachmat Karnadi, Kepala Badan Pendukung Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum Kementerian Pekerjaan Umum, mengingatkan PAM Jaya tak gegabah meneken perjanjian baru tanpa mendalami pasal per pasal. Idealnya, keuntungan dan risiko ditanggung bersama. "Jangan sampai risiko banyak ditanggung PAM," katanya beberapa waktu lalu.

Sriwidayanto berjanji mempelajari kontrak kerja sama secara terperinci. "Saya tidak ingin PAM merugi. Kalau perjanjian kerja sama ini lebih memihak operator, taruhannya jabatan saya."

Bobby Chandra, Amandra Mustika


Mampet Lantaran Rekening Tunggakan

Tak seperti dengan Aetra, proses renegosiasi PT PAM Jaya dengan Palyja terkesan mampet. Sumber Tempo menyebutkan, tersendatnya proses renegosiasi lantaran Palyja mendesak pencairan rekening tunggakan pelanggan sebesar Rp 183 miliar yang kini ditahan PT PAM Jaya.

Masalahnya, uang yang terkumpul dalam rekening Palyja ternyata hanya Rp 123 miliar. Itu pun sebagian besar tagihan dari tunggakan pelanggan golongan 1 dengan tarif Rp 1.050 per meter kubik. Palyja setidaknya memiliki 415 ribu pelanggan.

Sedangkan imbalan tarif untuk Palyja Rp 7.020 per meter kubik. Selisih antara tarif pelanggan dan imbalan tarif itu menjadi tanggungan PAM Jaya yang mesti dibayarkan kepada operator. Walhasil, muncullah selisih Rp 60 miliar. "Dari mana PAM dapat duit sebesar itu?" kata sumber itu.

Palyja kabarnya bakal tetap ngotot meminta PAM Jaya mengembalikan dana di rekening tunggakan pelanggan sebesar Rp 183 miliar. Soalnya, Palyja kadung melapor ke Suez Environment, perusahaan induknya di Prancis, soal tagihan itu sehingga tercatat dalam laporan keuangan sebagai pendapatan perusahaan.

Juru bicara Palyja, Meyritha Maryanie, enggan mengomentari angka-angka itu panjang-lebar. "Kami tak mau menambah polemik," kata Meyritha, Kamis pekan lalu. Namun, dia menegaskan, proses renegosiasi masih berjalan.

Sejak Januari lalu, tim perunding Palyja tiap pekan terus membahas renegosiasi kontrak di kantor PAM di Pejom­pongan, Jakarta Barat. Menurut Meyritha, anggota dewan direksi—antara lain Direktur Utama Phillipe Folliason, Wakil Direktur Utama Herawati Prasetyo, Direktur Pelayanan Budi Susilo—bergiliran memimpin tim.

Direktur Utama PAM Jaya, Sriwidayanto Kaderi, berharap renegosiasi dengan Palyja khatam pada akhir tahun ini. "Selesainya renegosiasi bersama Aetra bisa menjadi acuan untuk berunding dengan Palyja."

BC

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus