Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RAPAT koordinasi terbatas yang dipimpin Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa, Senin pekan lalu, terkesan ”adem ayem”. Nyaris tak ada perdebatan sengit dalam forum tertutup yang dihadiri para menteri dan perwakilan dari departemen bidang ekonomi. Padahal agenda rapat sangat krusial: salah satunya soal penerapan pasar bebas ASEAN-Cina tahun depan.
Satu jam setelah pertemuan yang digelar sejak pukul 7 pagi itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati meninggalkan ruangan. Tak ada keterangan. Setengah jam kemudian, satu per satu peserta rapat keluar. ”Kami sepakat menjalankan komitmen FTA sesuai jadwal,” kata Anggito Abimanyu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Departemen Keuangan. Peraturan Menteri Keuangan soal ini akan terbit lima hari sebelum hari-H.
Itu berarti, sistem perdagangan bebas alias free trade area resmi berlaku di kawasan ASEAN-Cina termasuk Indonesia—per 1 Januari 2010. Keputusan ini rada surprise. Sebab, dua hari sebelumnya, Departemen Perindustrian masih optimistis pelaksanaan pasar bebas akan ditunda. Alasannya, daya saing industri dalam negeri belum pulih karena krisis. Menteri Hatta Rajasa juga berjanji akan mengkaji ulang sebagian isi perjanjian.
Nyatanya, pagi itu rapat memutuskan FTA jalan terus. Seorang sumber berbisik, pertemuan kali ini semacam rapat paripurna. Proses finalisasi telah dilakukan pekan sebelumnya, dalam rapat tingkat eselon satu di Bandung, Jawa Barat.
Dalam pertemuan itu, sebenarnya perwakilan departemen-departemen terkait sepakat meminta Departemen Perdagangan melakukan modifikasi terhadap penerapan perjanjian. Maksudnya, beberapa pos tarif tidak dinolkan. Hasil kesepakatan dilaporkan kepada menteri masing-masing, lantas ”diparipurnakan”.
Menurut Deputi Menteri Koordinator Perekonomian Bidang Perindustrian dan Perdagangan Edy Putra Irawadi, FTA ASEAN-Cina tidak mungkin ditunda. Alasannya, menyangkut reputasi pemerintah Indonesia. ”Ini amanat Bapak Presiden,” kata Sekretaris Jenderal Departemen Perindustrian Agus Tjahayana menambahkan.
Anggito mengatakan, dalam perjanjian tersebut, sekitar 8.000 pos tarif akan dibebaskan dari bea masuk. Penurunan bea beragam. Ada yang turun dari 5 persen menjadi nol persen, atau dari 2,5 ke nol persen.
Pemerintah sudah berhitung, penerapan FTA tersebut akan menyebabkan penerimaan negara susut. Pemasukan dari kepabeanan saja, diperkirakan Rp 15 triliun, melayang. Padahal pemerintah telah mematok pendapatan dari bea masuk Rp 19,6 triliun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2010. ”Revisi penerimaan nanti dimasukkan dalam APBN Perubahan,” kata Direktur Jenderal Bea dan Cukai Anwar Suprijadi.
Para pengusaha pun berteriak. Mulai industri farmasi dan alat kesehatan, produsen ban, sepatu, tekstil, hingga baja meminta penundaan pemberlakuan FTA. Nah, selama masa penundaan itu, Wakil Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia Ade Sudrajat mengusulkan dilakukan kajian ulang.
Industri tekstil memang paling ketar-ketir jika perdagangan dengan Cina dibuka blak. Bagaimana tidak, saat ini saja, produk tekstil Negeri Panda telah menguasai 40 persen pasar domestik, dari total nilai pasar tekstil Indonesia Rp 70 triliun. Impor produk tekstil dari negeri Tiongkok terus meningkat. Dalam tiga tahun, peningkatan mencapai 25 persen. Ini belum termasuk barang ilegal yang mblusuk melalui beberapa pelabuhan.
Senada, Ketua Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia Fazwar Bujang mengatakan pembukaan pasar ASEAN-Cina tidak hanya memberatkan industri baja nasional, tapi juga negara-negara Asia Tenggara lain. ”Semua setuju di-delay,” kata Direktur Utama Krakatau Steel ini, seusai pembukaan musyawarah nasional asosiasi ini, awal Desember lalu.
Pemerintah mencoba mengambil jalan tengah yang tidak melukai perjanjian tapi tetap menjaga kepentingan nasional. ”Sesuai dengan keinginan industri, tapi tetap dalam koridor FTA,” kata Wakil Menteri Perdagangan Mahendra Siregar. Anggito menambahkan, pasar dalam negeri juga akan diamankan melalui kebijakan fiskal, misalnya bea masuk ditanggung pemerintah dan akan ada insentif pajak.
Rencananya pemerintah akan mengajukan penundaan dan modifikasi implementasi perjanjian atas 303 pos tarif dari 8 sektor industri, plus 11 pos tarif dari usaha mikro kecil dan menengah. Awalnya, 12 sektor industri mengajukan penundaan. Tapi, setelah dikaji, hanya 8 sektor yang dinilai perlu ditunda atau dimodifikasi (lihat tabel).
Agus Tjahayana menyatakan usul penundaan implementasi FTA dimungkinkan dan diizinkan oleh organisasi perdagangan dunia atawa WTO. Dasarnya, Article 23 ASEAN Trade in Goods Agreement, yang mengatur perihal Temporary Modification or Suspension of Concessions.
Dalam artikel tersebut, Agus menjelaskan, suatu negara, yang mengidentifikasi adanya kesulitan menerapkan perjanjian, berhak mengajukan modifikasi atau suspensi. Syaratnya, kesulitan itu bisa menyebabkan kerugian bagi industri dalam negeri. Misalnya, penurunan utilisasi kapasitas yang akan berdampak pada pengurangan tenaga kerja, penurunan profit, dan tutupnya perusahaan.
Namun Agus pesimistis terhadap permintaan penundaan. Peluangnya, opsi modifikasi tarif atau notifikasi tahun berlaku terhadap 303 pos tarif yang akan diajukan. Misal, yang tadinya bertarif 5 persen tidak langsung menjadi nol persen, tapi turun ke 3 atau 4 persen dulu.
Menurut Menteri Perindustrian M.S. Hidayat, setidaknya ada dua model perundingan yang akan ditempuh. Pertama, langsung berbicara dengan Cina dengan pemberitahuan ke ASEAN. Kedua, berunding ke ASEAN terlebih dulu baru berbicara dengan Cina.
Edy Putra menambahkan, notifikasi resmi secara tertulis akan diajukan Januari. Pemerintah telah menunjuk dua negosiator untuk membahas penundaan tersebut, yakni Direktur Jenderal Kerja Sama Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Gusmardi Bustami dan Halida Miljani, Ketua Komite Antidumping Indonesia.
Gusmardi menjelaskan, selama enam bulan ke depan, ada proses konsultasi. Indonesia mesti memberikan kesempatan kepada negara-negara yang berpotensi rugi atas usul penundaan ini. Mereka minta kompensasi apa. Misalnya, ekspor negara itu yang bisa nol persen ke Indonesia ditukar dengan industri dalam negeri yang siap nol persen—sebagai pengganti.
Diperkirakan, usul penundaan dan modifikasi makan waktu panjang. Bila disetujui, butuh enam bulan untuk initiating principle. Negosiasi untuk mendapatkan persetujuan setidaknya membutuhkan waktu 180 hari.
IDE membikin kawasan perdagangan bebas ASEAN dengan kawasan lain digagas pada 2001, dalam pertemuan tingkat menteri ekonomi. Saat itu, banyak pilihan terlontar—bukan hanya dengan Cina—seperti dengan Amerika, Uni Eropa, India, Australia, dan Selandia Baru. Kerja sama dengan Cina mengemuka dengan pertimbangan pasar Negeri Panda ekstrajumbo. Dengan jumlah penduduk 1,7 miliar, Cina menjadi peluang pasar menggiurkan.
Menurut Direktur Kerja Sama Ekonomi ASEAN Departemen Luar Negeri Edi Yusuf, gagasan itu lantas diinisiasi pada 2002, dengan serangkaian perundingan. Baru pada 29 November 2004 perjanjian diteken di Vientiane, Laos, oleh para Menteri Ekonomi ASEAN dan Cina.
Semua sepakat melakukan penyesuaian hingga pelaksanaan pada 2010. Pelaksanaannya bertahap. Sejumlah produk pertanian telah diberlakukan nol persen tahun ini. Produk-produk lain, tarif diturunkan dari 20 persen pada 2005 hingga nol persen pada 2010.
Pemerintah Presiden Megawati pada 2004 berhitung, jika konsep ini berjalan, berpeluang besar mencapai target pertumbuhan ekspor 5 persen. Produk-produk yang akan dijagokan didominasi agrobisnis, seperti cokelat, kelapa sawit, dan kopi.
Investor Jepang yang telah menguasai pasar Indonesia waswas produk Cina bakal menyerbu. Maka para investor ramai-ramai menemui Menteri Koordinator Perekonomian saat itu, Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Februari 2003. Delegasi dipimpin Wakil Dewan Direktur Matsushita Electric Indonesia Masayaki Matsushita. Tapi, menurut Djatun, ekspansi usaha dan pembangunan mitra lokal adalah kunci bersaing dengan Cina.
Perjanjian pasar bebas juga telah dilakukan ASEAN-Australia Selandia Baru, diteken 27 Februari 2009. Di kawasan Asia Tenggara, pasar bebas diterapkan dalam ASEAN Free Trade Area alias AFTA.
Mahendra optimistis ada keuntungan yang dipetik dari kerja sama perdagangan bebas, terutama dari sumber daya pertanian, seperti kelapa sawit, kopi, kakao, dan teh. Secara umum, Wakil Menteri Pertanian Bayu Krisnamurthi menambahkan, Indonesia untung. Ekspor meningkat, terutama ditopang sektor perkebunan. Plus, Mahendra melanjutkan, Indonesia berharap aspek kerja sama investasi berlanjut.
Tapi Mantan Menteri Perindustrian Fahmi Idris mengatakan, dalam konteks kerja sama FTA ASEAN-Cina, Indonesia seperti kehilangan posisi tawar. Dorongan pemerintah Cina untuk merealisasi perjanjian ini terlampau besar. Indonesia bisa diuntungkan jika industrinya sudah kuat. ”Tapi, kalau masih loyo seperti sekarang, pasar bebas lebih banyak mudaratnya,” katanya.
Ekonom Sri Adiningsih mencermati defisit perdagangan Indonesia-Cina yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Perjanjian FTA belum berlaku saja, neraca sudah merah. Apalagi setelah pasar dibuka nanti, bukan tidak mungkin akan berdarah-darah.
Retno Sulistyowati, Nieke Indrietta, Fery Firmansyah
Usulan Negosiasi Tarif dalam AC-AFTA
Sektor | Usulan | Pos Tarif |
Makanan & minuman | 1 | 409 |
Petrokimia | 2 | 125 |
Tekstil & produk tekstil | 87 | 838 |
Kimia anorganik | 7 | 187 |
Alas kaki | 5 | 35 |
Elektronika | 7 | 752 |
Furnitur | 5 | 8 |
Besi dan baja | 189 | 350 |
Total | 303 | 2.528 |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo