Ada tiga masalah yang akan ditampilkan oleh J.P. Pronk dalam sidang IGGI, yakni kemiskinan, demokrasi, dan lingkungan. Apa yang dikejar pemerintah RI dari sidang IGGI mendatang? PEKAN ini, seorang tokoh dari Den Haag kembali menjadi buah bibir, setidaknya di kalangan masyarakat pinggiran yang menghuni Tanjungembong dan Kemayoran, Jakarta. Ahad baru lalu, selain sempat berdialog dengan Menteri Kerja Sama Luar Negeri Belanda merangkap Ketua IGGI, Jan Pieter Pronk, mereka juga begitu terkesan olek keterbukaannya. Tamu terhormat dari Belanda itu memang tidak segan-segan beramah-tamah serta mengecap makanan yang disuguhkan rakyat setempat. Melihat dari dekat corak hidup yang mereka geluti, Pronk menarik tiga kesimpulan. Mereka hidup dalam demokrasi, dalam kemiskinan dan belum menyadari bahaya yang mengancam lingkungan. Ke dalam salah satu kategori itu, mungkin kasus sengketa tanah merupakan hal yang sangat menarik perhatian Pronk. Yang pasti, tiga masalah tersebut tampaknya akan "dijual" Pronk pada para anggota IGGI (Inter-Governmental Group on Indonesia) yang akan bersidang di Den Haag minggu kedua bulan Juni mendatang. Tujuannya, agar IGGI tetap memberikan pinjaman lunak bagi Indonesia. Terlepas dari tekad Pronk itu, apakah pijaman luar negeri masih sangat kita perlukan? "Bantuan luar negeri masih tetap diperlukan sebagai pelengkap," ujar Menko Ekuin Radius Prawiro. Kendati kalangan swasta juga sudah dilibatkan untuk pembiayaan pembangunan, Pemerintah tetap saja membutuhkan pinjaman tersebut. "Malaysia saja, yang pendapatan per kapitanya sudah lebih tinggi dari Indonesia, masih perlu, kok," kata Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas Saleh Afiff. Pinjaman dari IGGI yang bersyarat lunak (jangka panjang dan bunganya relatif lebih murah dari bank komersial) terutama diperlukan untuk membiayai pembangunan yang memerlukan dana besar, seperti pembangkit tenaga listrik, jembatan, atau pelabuhan. Berapa besar kira-kira bantuan yang diharapkan Pemerintah tahun ini? "Sekarang ini kita masih dalam tahap pengumpulan bahan," ujar Menko Ekuin Radius Prawiro, seusai pertemuan dengan J.P. Pronk. Jumlah bantuan itu biasanya memang dibicarakan dahulu oleh Menko Ekuin bersama para donor, khususnya kantor perwakilan Bank Dunia dan IMF di Jakarta. Kedua lembaga keuangan internasional ini, bersama para donor, kemudian akan menyusun suatu laporan yang dibahas Senin pekan ini bersama Ketua IGGI serta para duta besar anggota IGGI di Jakarta. Dalam laporan Bank Dunia kali ini, konon ada juga sejumlah kritik. Ketiga masalah yang disinggung Pronk di atas, yakni masalah demokrasi, kemiskinan, dan lingkungan, kabarnya termasuk dalam kritik Bank Dunia. Dari kasus pembangunan Kedungombo, misalnya, konon Bank Dunia menyentil masalah demokrasi. Untuk pembangunan proyek serupa, rakyat setempat perlu diikutsertakan dalam pengambilan keputusan. Masalah hambatan ekspor dengan pajak tinggi, seperti terjadi pada ekspor kayu gergajian, mungkin akan disinggung lagi. Begitu pula soal tata niaga cengkeh yang baru "disempurnakan" oleh Menteri Perdagangan. Namun, secara garis besar, Bank Dunia tetap akan memuji manajemen makro Indonesia. "Saya kira, semua orang akan setuju bahwa pemerintah Indonesia sangat bijaksana mengelola masalah finansial secara menyeluruh, khususnya dalam masa sulit setelah naiknya harga-harga tahun lalu," kata Pronk seusai berdiskusi dengan wakil-wakil Bank Dunia, IMF, ADB, serta para duta besar negara anggota IGGI di Jakarta, Senin petang. Maksudnya, tentu, supaya para onor masih bersedia memberikan pinjaman. Bisa diduga bahwa besar pinjaman yang akan direkomendasikan Bank Dunia kali ini tidak akan lebih kecil dari tahun lalu. Seorang pejabat dari kalangan Ekuin mengungkapkan, jumlah pinjaman yang dibutuhkan tahun ini minimal akan sama dengan tahun lalu. Pemerintah Belanda, yang bertindak sebagai koordinator IGGI, begitu pula Jepang yang biasanya memberikan 80%, kabarnya sudah menyatakan oke. Bahkan ADB (Asian Development Bank) sudah menyatakan siap memberikan pinjaman US$ 1,1 milyar. Dalam sidang tahun lalu, IGGI telah menjanjikan pinjaman US$ 4,5 milyar, termasuk di dalamnya pinjaman khusus US$ 1,2 milyar. "Tahun ini, saya berpendapat bahwa Anda tak perlu lagi diberi special assistance loan," ujar Pronk kepada wartawati Sandra Hamid, yang terus-menerus mengikuti Pronk sejak ia mendarat di Bandara Soekarno-Hatta Sabtu pekan lalu. Yang namanya pinjaman khusus sebenarnya sudah empat tahun berturut-turut diberikan oleh IGGI. Lebih bersifat sebagai bantuan darurat, faedahnya adalah untuk mengimbangkan neraca pembayaran serta mengamankan APBN yang terganggu, ketika harga minyak jatuh pada 1986. Terhitung sejak 1987 hingga 1990, IGGI telah memberikan pinjaman khusus berjumlah US$ 6,6 milyar. Menurut seorang pejabat, hampir semua pinjaman khusus itu sudah ditarik. "Tinggal pinjaman khusus dari ADB (US$ 200 juta) saja yang belum. Sebab, ADB biasanya menyediakan dana pada triwulan pertama tahun kalender, dan kebetulan pada awal tahun 1991 ini kita mempunyai tambahan rezeki minyak," katanya menjelaskan. Sebenarnya, tahun lalu IGGI memutuskan, pinjaman khusus tak perlu disediakan lagi. Pronk sendiri berpendapat, pinjaman bagi Indonesia tak perlu ditingkatkan jumlahnya. Di pihak lain, seorang pengamat ekonomi bersikeras bahwa tahun ini Pemerintah masih membutuhkan pinjaman khusus. Mengapa? Tentu saja bukan karena ketagihan. Masalahnya kira-kira sama, hanya untuk menyeimbangkan neraca pembayaran. Tentu, neraca perdagangan Indonesia selama ini memang selalu surplus. Tapi neraca transaksi berjalan (ekspor-impor ditambah neraca jasa-jasa) kita masih terus mengalami defisit, bahkan semakin besar. Dalam tahun fiskal 1990-1991 yang baru berakhir Maret lalu, neraca transaksi berjalan ini mengalami defisit US$ 3,5 milyar. "Defisit ini kita bayar lunas. Tapi kalau terus membesar, itu akan membahayakan. Maka, lubang defisit itu perlu ditutup dalam BOP. Caranya antara lain dengan mengundang investasi luar negeri dan pinjaman luar negeri," kata sumber TEMPO. Tapi langkah itu pun tidak cukup. Defisit transaksi berjalan untuk tahun fiskal 1991-1992 diperkirakan akan membesar sampai sekitar US$ 5 milyar. Defisit itu sampai terjadi karena meningkatnya penanaman modal dalam negeri sejak tahun lalu. Sejauh yang menyangkut investor asing, tampaknya tidak jadi masalah karena mereka membawa barang-barang modal sendiri. "Tapi investor dalam negeri, yang akan membangun pabrik, tentu perlu mengimpor barang modal. Mereka akan meminta banyak devisa dari Bank Indonesia," kata pejabat tadi, yang tak mau disebutkan namanya. Itulah salah satu sebab, mengapa otoritas moneter terpaksa melakukan kebijaksanaan uang ketat, yang mau tak mau akan mengerem investasi. Pronk rupanya menyetujui policy itu. "Jangan dipaksakan pertumbuhan sampai 7%," kata Pronk. Namun, menurut sumber TEMPO, Pemerintah tidak akan mempertahankan kebijaksanaan uang ketat ini terlalu lama. Kalau terlalu lama, bisa terjadi resesi dan banyak proyek PMDN akan mati. "Untuk membangkitkan kembali gairah investasi, tentu tidak mudah," sumber TEMPO tadi bicara lebih hati-hati. Kendati menghadapi masalah BOP, Pemerintah agaknya harus mencari kiat baru agar mendapatkan pinjaman khusus. Soalnya, pinjaman khusus selama ini biasanya dikaitkan dengan APBN sebagai bantuan program. "Jika pinjaman khusus itu kita minta lagi sebagai bantuan program, tentu akan ditolak," kata sumber TEMPO tersebut. Sebab apa? Untuk APBN 1991-1992, seperti telah diungkapkan Menteri Keuangan di DPR belum lama ini, Pemerintah sudah menyiapkan cadangan anggaran pembangunan (CAP) Rp 2 trilyun. Lalu, bagaimana supaya bisa mendapatkan bantuan program? "Kita kan punya akal," ujar seorang menteri Ekuin, tanpa merasa perlu mengumbar, apa kiat yang ada dalam benak para pejabat Indonesia kini. MaxWangkar dan Bambang Aji
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini