Belum ada kepastian kredit dari Brunei, tapi pinjaman BI Rp 359 milyar akan segera cair. Juga ada tawaran US$ 500 juta dari Hawaii. BUNGA cengkeh belum seluruhnya dipetik, ketika kepastian kredit untuk BPPC sudah diperoleh pekan silam. Dana Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) untuk mendukung BPPC (Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh) sebanyak Rp 359 milyar segera cair dalam pekan-pekan ini juga. Dalam upaya membenahi tata niaga cengkeh, Pemerintah memang telah memberi kepercayaan pada BPPC -- konsorsium terdiri dari lima perusahaan yang dipimpin Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto -- sebagai pelaksananya. Akad kredit sudah ditandatangani Senin pekan lalu oleh PT Kerta Niaga dan Kembang Cengkeh Nasional (KCN), sebagai badan usaha pembentuk BPPC. Untuk penyaluran KLBI tersebut, BI menugasi BBD dan BRI. Sesuai dengan ketentuan Menteri Keuangan Januari 1990, kredit likuiditas yang ditopang BI hanya 75% (Rp 269 milyar). Bank pelaksana ikut menyertakan modal 25%. Bertindak sebagai agen atau pelaksana utama adalah BBD, yang mempersiapkan dana 75% (Rp 80,7 milyar) sementara BRI akan mengisi kekurangannya (25%) sebesar Rp 27 milyar. Kabarnya, kedua bank pemerintah ini memperoleh dana dari BI dengan bunga 10,25% per tahun. Dalam perkara ini, ketika situasi uang ketat sedang menghantui banyak pengusaha, KLBI tersebut tentunya memancing rasa heran di berbagai pihak. Tentang ini Tommy mengatakan, BPPC memperoleh kredit bukan karena diistimewakan, tapi karena bertindak sebagai alat pemerintah pelaksana tata niaga cengkeh. BI sendiri berkilah, mengatakan KLBI bagi pengadaan cengkeh sudah lama diberikan, sejak ketika Menteri Pertanian Tojib Hadiwidjaja. Sebelum ada BPPC, BI melepaskan kredit semacam itu untuk KUD (1970-an) dan kemudian kepada Kerta Niaga (1980-an). KLBI untuk BPPC ini sewarna dengan kredit usaha tani (KUT). Tujuannya untuk menopang penghasilan petani cengkeh. Maka, bunganya pun rendah. Menurut sumber TEMPO di BBD, bunga pinjaman ke BPPC adalah 17% dengan jangka waktu pengembalian setahun. Seorang pejabat Bl mengatakan, KLBI untuk BPPC itu jika dibandingkan dengan total kredit nasional sebesar Rp 80 trilyun, dampak ekonominya kecil. Tommy pernah mengatakan kepada TEMPO, kredit yang dimintanya ke BI sebenarnya Rp 800 milyar. Jumlah tersebut untuk mengantisipasi, jika tidak ada pembelian cengkeh oleh pabrik rokok. Sekarang, kendati hanya memperoleh Rp 359 milyar, Tommy tidak risau benar. Di samping fabrikan kretek -- di antaranya Gudang Garam -- sudah menyatakan kesediaannya membeli cengkeh BPPC, ada pintu pinjaman lain yang terbuka. Salah satu dari Sultan Brunei Hasanah Bolkiah, yang kabarnya tidak berkeberatan meminjamkan US$ 620 juta atau sekitar Rp 1,2 trilyun. Untuk ini pihak Tommy belum sedia berkomentar karena perjanjiannya belum ditandatangani. "Diharapkan dalam waktu dekat dana tersebut bisa cair," kata Sekjen BPPC Yance Worotican. Sampai saat ini, memang belum ada kepastian dari Sultan Brunei. Selain itu, sumber pinjaman lain kabarnya bakal dibuka oleh The International Money Brokers (IMB), berkedudukan di Hawaii yang menawarkan dana sampai satu trilyun rupiah, dengan bunga 8,5%. Tampaknya, para pemberi pinjaman itu tidak khawatir kreditnya terancam macet. Hal ini diungkapkan oleh Direktur Kredit BRI Ir. Sugianto. "Kredit yang disalurkan dijamin dengan stok cengkeh," kata Sugianto. Artinya, kalau BPPC gagal mengembalikan pinjamannya, cengkehnya bisa disita oleh BRI. Di sini pun, BRI tidak perlu bersusah payah karena sudah ada Sucofindo yang bertindak sebagai surveyor dan mengetahui secara persis berapa stok cengkeh BPPC. Paling tidak sudah tercatat, dari stok 87.000 ton yang dimiliki BPPC, 4.000 ton sudah terjual. Mohamad Cholid, Iwan Qodar, dan Indrawan (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini