EMPAT tahun terakhir ini pangsa pasar mobil Toyota menciut terus digerilya para pesaingnya. Kedudukannya sebagai No. 2, di sini, sejak 1984, sebenarnya sudah diambil alih "saudara tirinya": Daihatsu. Dan, mulai tahun lalu, malah dilampaui lagi oleh Suzuki. Jadi, cukup menarik perhatian ketika seminggu lalu Shoichiro Toyoda, Presiden Direktur Toyota Motor Corp. (TMC) Jepang, mendadak berada di Jakarta hampir sepekan. Jarang, memang, orang yang memimpin pabrik mobil terbesar ketiga di dunia, dengan penjualan US$ 28 milyar dan keuntungan bersih US$ 1,7 milyar di tahun 1985, itu keluar dari sarangnya. Di sini, anak pendiri TMC itu menyerahkan sumbangan mobil Kijang, setelah sebelumnya bertemu Kepala Negara. Dan, akhir pekan lalu, ikut menyaksikan peluncuran Kijang baru di sebuah pameran besar-besaran di Balai Sidang, Jakarta. Shoichiro Toyoda memang memberi perhatian istimewa pada Kijang, yang sekarang tampil dengan presisi tubuh dan interior macam sedan. Sosok Kijang kini jauh berbeda dengan ketika diperkenalkan pertama kali, tahun 1977. Dulu, mobil laris itu sederhana bentuknya, murah, sehingga boleh menjadi alat pelampiasan anak-anak muda yang suka menempel ini itu pada body-nya, atau ditabrakkan ke sana kemari. Sebagai kendaraan bermotor niaga sederhana (KBNS), di luar perkiraan agen tunggalnya, Kijang ternyata menjadi juru selamat pamor Toyota. Jangan kaget, sejak diperkenalkan hingga kini, Kijang sudah terjual lebih dari 120 ribu unit. Kijang, tak syak, telah menjadi kuda tunggang bisnis Toyota Astra Motor (TAM) -- setelah dua tahun terakhir ini volume penjualannya rata-rata mencapai 60% dari seluruh jenis mobil keluaran Toyota, menggeser Corolla. Karena prospeknya kelihatan baik, TMC dan Astra kemudian menanamkan US$ 6 juta untuk program pengembangan Kijang. Lalu, muncul gagasan mengekspor KBNS ini ke Muangthai dan Papua Nugini. Tapi, jalan ke sana rupanya belum mulus benar. Mau masuk ke PNG, misalnya, agennya di sini cukup risau menghadapi tingginya biaya pengapalan dari Jakarta. Sementara itu, di Muangthai kena hambatan larangan memasukkan mobil dalam bentuk utuh (completely built up -- CBU). Kalau ekspor itu dilakukan ke negara Asean lainnya, "Kami masih menghadapi tingginya tarif bea masuk," kata Akira Yokoi, Direktur TMC Wilayah Oceania dan Asia Tenggara. Bukan itu saja. Soal biaya dan kualitas barang, menurut Presdir TMC Shoichiro Toyoda, juga memusingkan. "Yang jadi persoalan adalah bagaimana menghasilkan produk secara murah di sini, tapi dengan kualitas baik," katanya. "Soal makin kuatnya mata uang yen melawan dolar bukan merupakan perhatian utama kami." Tingginya biaya untuk menghasilkan mobil di sini, memang, banyak dikeluhkan para agen tunggal Dalam soal mengimpor baja lembaran tipis untuk membuat body dan chassis, misalnya, mereka sudah dikenai bea masuk 30%. Beberapa komponen lokal, yang sudah dipakai sampai 70% untuk membuat Kijang, kabarnya juga dibeli dengan harga tinggi. Sialnya lagi, yen menguat terus melawan dolar, hingga -- apa boleh buat -- harga KBNS itu harus dipasang dari Rp 11 juta sampai Rp 12,2 juta dalam keadaan isi (on the road). Usaha menolong para pengusaha Jepang yang beroperasi di luar negeri itu kemudian dilakukan Bank Sentral dengan menurunkan tingkat suku bunga diskonto dari 3,5% jadi 3%. Dari situ, suku bunga komersial diharapkan bisa ikut terseret turun. Efeknya, kemudian, diperkirakan akan memperlemah nilai yen melawan dolar. "Dan itu berarti, biaya mengimpor komponen untuk perakitan di sini akan menurun," kata Akira Yokoi. Apakah itu berarti akan ikut menurunkan harga mobil, tentu masih harus dilihat. Juga peluang untuk ekspor.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini