Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Musim berganti untuk modal luar

Sejarah investasi asing di indonesia. sempat mandek tahun 1940-an. sejak itu ri mempunyai sikap mendua terhadap investor asing. terbuka lagi thn 1967. tapi masih berkesan ada kecurigaan terhadap pma. (eb)

8 November 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DALAM menghadapi modal asing, begitu sejarah mencatat, Indonesia bagaikan membuang pundi dengan keping uang logam. Sesekali, jatuh pada sisi sangat terbuka: mengundang sebanyak-banyaknya investasi asing. Tetapi, pernah suatu ketika, jatuh ke muka lain: menampik, memusuhi, dan bahkan menasionalisasikan kekayaan modal asing itu. Investasi asing datang, pada mulanya, memang dari Belanda. Sebagai penanam modal pertama, Belanda memilih sasaran sektor perkebunan, kimia dasar, dan perdagangan. Total investasi pada awal abad ini, 1900, sekitar US$ 318 juta. Jumlah tersebut meningkat tajam pada 1937: menjadi US$ 2.264 juta. Kenaikan terbesar terjadi sebelum masa depresi awal 1930-an. Dunia penanaman modal asing (PMA) ketika itu memang didominasi Belanda sendiri: sekitar 63%. Inggris kebagian 14%, Cina 11%, dan Amerika Serikat 7%. Selanjutnya, Prancis, Jerman, Italia, dan Belgia menempati urutan di bawahnya. Sektor yang paling diminati dalam iklim investasi itu, yang terbesar, adalah perkebunan tebu dan karet -- sampai mencapai jumlah 46% dari total investasi. Minyak cuma mengambil 19% dan industri pabrik 2%. Beberapa perusahaan yang mulai buka usaha tahun 1930-an antara lain bir Heineken di Surabaya (Belanda) dan bir Anker di Jakarta (Jerman). Kemudian menyusul beberapa perusahaan multinasional seperti Unilever dan Philips di Surabaya dan beberapa pabrik kertas seperti Leces dan Padalarang. Penanaman modal asing praktis mandek pada tahun 1940-an. Kekayaan asing sebagian diambil alih Jepang. Boleh dibilang, dengan total US$ 2,24 milyar investasi asing pada 1952, berarti sama sekali tidak ada investasi baru pada tahun 1940-an itu. Pada pergantian kekuasaan pada awal kemerdekaan, terlihat adanya sikap mendua terhadap modal dari luar. Di satu pihak, ini diakui, perlu adanya modal dan impor teknologi. Tetapi, di sisi lain, ada dorongan kuat bahwa Indonesia harus menjadi "tuan rumah" yang menguasai segala sendi ekonomi. Sebagai misal, Rencana Urgensi Ekonomi 1951 telah mencanangkan bahwa pihak Indonesia harus memiliki 51% atas investasi asing itu. Bahkan gerak modal asing juga mulai dibatasi, hanya boleh ditanamkan di beberapa sektor. Pada tahun 1950-an, iklim tidak memungkinkan lagi bagi PMA datang ke Indonesia. Bahkan, pada 1953, telah disiapkan rancangan undang-undang untuk investasi asing, yang intinya -- kurang lebih -- pemerintah mencoba mengurangi kehadiran modal asing dan juga mendorong mereka untuk bergerak di bidang-bidang tertentu saja. RUU tersebut akhirnya diluluskan parlemen pada 1958. Namun, gelora antiBelanda -- dalam masalah Irian Barat -- agaknya mempercepat proses tidak-suka-modal-asing. Masa depan modal asing -- yang selalu dicanangkan Presiden Soekarno dan D.N. Aidit akan memperlemah semangat nasionalisme -- menjadi runyam pada Desember 1957. Ada beberapa perusahaan Belanda yang diambil alih langsung oleh buruhnya, seperti Percetakan Des Unie, Jakarta, Nederlandsche Handel Maatschappij N.V. (kini Bank Dagang Negara), dan Bank Escompto. Nasionalisasi belakangan diatur pemerintah sehingga pengalihan beberapa perusahaan, seperti Philips dan KLM, tidak lagi dilakukan langsung oleh buruhnya. Gerakan nasionalisasi perusahaan asing terus menggelinding bersama angin yang ditunggangi golongan komunis dan nasionalis. Perusahaan milik Inggris dan Malaysia juga terkena sabet, pada 1963, ketika terjadi konfrontasi Indonesia-Malaysia. Kekayaan Amerika Serikat juga sempat diambil alih tahun 1965. Arahnya, sejak nasionalisasi milik asing 1957, mengenyahkan segala bentuk modal asing yang berbau Barat. Pemerintah, setelah menasionalisasikan, membentuk perusahaan negara (PN). Pada periode setelah nasionalisasi, modal yang masuk terutama datang dari negeri-negeri sosialis, berupa pinjaman. Pihak asing itu diminta menyediakan komponen suatu proyek yang diimpor dengan perjanjian akan dikembalikan setelah proyek menelurkan hasil. Kebutuhan untuk mengembangkan roda ekonomi dengan mendatangkan modal asing bukannya tidak ada. Komitmen penanaman modal asing pada periode 1962-1965 mencapai US$ 72 juta. Lebih dari separuhnya datang dari Jepang -- terutama untuk industri kayu dan pertanian. Namun, hasilnya sangat mengecewakan. Sampai awal 1966, hanya tersedia US$ 12 juta modal untuk delapan proyek. Pemerintah Orde Baru kemudian berpaling: proyek-proyek yang dibiayai dana blok sosialis dinilai lebih bersifat politis. Sampai kemudian lahirlah UU No. 1/1967 yang menata penanaman modal asing. Iklim terasa lebih terbuka. Walau demikian, menurut sementara pengamat, sikap mendua tetap terkesan. Pintu memang terbuka, tapi di balik itu masih terpendam semacam kebencian atas kehadiran modal asing, yang sebenarnya sangat diperlukan. Seberapa jauh sikap mendua terhadap modal asing itu? Bisa diperbandingkan dengan dua poll yang diadakan awal dan akhir 1970-an. F.G. Weinstein, dalam buku Indonesian Foreign Policy and the Dilemma of Dependence, 1976, mengambil 44 responden untuk diinterviu. Dari situ diketahui, 30 orang (68%) menyatakan prihatin, karena investasi asing itu akan mengarah ke dominasi asing. Sisanya menyebutkan "sangat khawatir". Kebetulan, tidak lama setelah pengumpulan pendapat itu, memang antipati terhadap investasi asing memuncak dengan Peristiwa Malari 1974. Dari pengumpulan pendapat yang dilakukan Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, dalam Japanese Investment in Indonesia, 1983, tergambar pendapat dan sikap mendua tersebut yang berkaitan dengan kecurigaan atas hadirnya modal asing atau bentuk lain keterlibatan unsur asing. Sikap mendua dalam hal investasi asing itu -- dengan ketentuan perundangan yang kurang memberikan iklim nyaman bagi penanam modal asing -- dan kenyataan bahwa Indonesia tergolong soft state berakibat pada keuntungan yang dipetik dari modal asing kecil saja. Belum lagi rintangan lain yang tidak mendorong PMA itu cepat maju di "negeri lembut" seperti Indonesia yang tentunya tidak juga memberikan untung besar bagi investornya -- seperti sistem birokrasi, biaya tinggi untuk prasarana, uang pelicin, pajak, dan biaya operasi yang tergolong besar. Agaknya, banyak hal yang masih harus dipertimbangkan, untuk mengajak moda asing ikut memutar roda pembangunan. Sementara itu, sentimen dan kecurigaan terhadap kehadiran modal asing, agaknya, tidak terlalu mudah ditinggalkan begitu saja. A. Margana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus