SEKARANG tampaknya bukan musim yang baik untuk menangkap investor kelas kakap -- apalagi paus. Jatuhnya berbagai komoditi pertambangan (minyak bumi, timah, nikel, tembaga) serta produk-produk perkebunan (karet, kelapa sawit), yang menjadi andalan penerimaan negara-negara berkembang, menyebabkan perusahaan-perusahaan multinasional enggan datang. Otomatisasi yang juga sedang dikembangkan Jepang, AS, dan Eropa mulai menyaingi tenaga kerja "murahan". Tapi itu bukan berarti tak ada peluang lagi untuk menangkap mereka. Perusahaan-perusahaan multinasional menanamkan modalnya untuk mencari untung dalam jangka panjang. Hal itu mungkin terjadi pada sektor-sektor yang diperkirakan datang musim baiknya. Selain Indonesia, beberapa negara tetangga dan RRC berusaha menciptakan peluang-peluang semenarik mungkin. Muangthai dewasa ini disebut-sebut sebagai negara yang paling menarik investor Jepang: kecil-kecil tapi jumlahnya cukup banyak. Menurut sumber di Board of Investment (badan urusan penanaman modal) Muangthai, ada sekitar 40 proyek yang belum lama ini dipelajari investor Jepang. Ada malah yang sudah masuk. April lalu misalnya, Toyota Autobody -- salah satu perakit suku cadang mobil -- mengontrak sebuah pabrik di Bangkok untuk produksi alat-alat kempa. Kalau di Indonesia investor asing diharuskan menanamkan modal minimal US$ 1 juta, di sana cukup US$ 4.400. Dengan membayar biaya pendaftaran US$ 240, izin sudah keluar dalam tempo dua bulan. Beberapa sektor yang tertutup untuk PMA di sini-kecuali untuk ekspor -- seperti pabrik farmasi dan pengolahan makanan, di sana masih dibuka dengan kemungkinan memasarkan 50% produksi di pasar lokal. Tax-holiday, yang sudah dihapuskan di sini, di Muangthai masih diberikan untuk investasi minimal US$ 2 juta dan memberi lowongan 300 buruh. Menurut Presiden Kamar Dagang Jepang, Taizo Kiyomine, iklim investasi di Muangthai memang lebih menarik daripada di Indonesia. Alasannya, banyak perusahaan Jepang (diduga 1/3 dari 149 perusahaan) di Indonesia merugi dalam tahun-tahun terakhir, sedang yang di Muangthai umumnya masih untung. Menurut seorang pejabat Bank Eksim Jepang, hal itu disebabkan biaya dan birokrasi di sana terasa tidak merepotkan. Keterampilan tenaga kerja Muangthai biasa-biasa saja -- baru dipakai pada tingkat industri pengolahan makanan padat karya. Sedangkan untuk industri bidang elektronik khususnya microchips, dinilai belum bisa diandalkan. Kendati Muangthai kini dinilai Jepang cukup memberi peluang bagi PMA, belum ada indikasi investasi asing meningkat di sana. Menurut Board of Investment Muangthai jumlah permohonan sampai September lalu tercatat US$ 1.140 juta, jauh di bawah permohonan periode yang sama tahun silam, US$ 1.610 juta. Filipina sekarang ini juga disebut-sebut sebagai negara yang diincar investor asing. Menjelang kejatuhan Marcos, tahun silam, para investor angkat kaki dari Filipina dengan membawa modal US$ 26 juta. Tapi sejak Ny. Corazon Aquino menggantikan Marcos, pada empat bulan pertama 1986 saja sudah tercatat investasi baru US$ 3 juta. Ideologi free enterprise yang dicanangkan pemerintahan Aquino merupakan iklim baru. Para pengusaha swasta dulunya kalah bersaing denan perusahaan-perusahaan milik konco-konco (crony) Marcos, yang hidup dengan serba fasilitas: kredit murah dan monopoli. Banyak perusahaan para crony itu, di antaranya 34 perusahaan raja minyak kelapa yang lari bersama Marcos, Eduardo Cojuanco, disita pemerintah. Masalahnya, bagi pemerintah, bila membeli perusahaan-perusahaan crony itu saja diduga anggaran akan defisit Rp 20 milyar (US$ 1 milyar), atau dua kali lipat defisit di zaman Marcos. Corazon Aquino konon terpaksa menjual kembali perusahaan-perusahaan crony itu. Dan, rupanya, investor asing pun tertarik untuk membelinya. Selain itu, utang-utang luar negeri Filipina pun kini tengah dirundingkan, untuk diubah menjadi penyertaan modal asing. Bila kedua langkah itu terjadi, Filipina akan mencatat rekor investasi. Sementara itu, di sana pun tampaknya ada tempat bagi investor Jepang kelas kecil hingga menengah. Menurut Direktur Jetro Manila, Yutaka Miyahara, banyak perusahaan Jepang yang kini sulit beroperasi di negerinya sendiri -- akibat menguatnya yen -- ingin pindah ke Filipina. Produk mereka sebagian besar untuk ekspor -- diduga ekspor ke Jepang juga. Untuk itu, dalam hal lokasi, Filipina memang lebih dekat ke Jepang daripada Indonesia. Singapura, yang selama ini sebagai penampung investasi terbesar Jepang nomor dua di ASEAN, setelah Indonesia, tampaknya ingin juga memanggil para investor menengah dan kecil. Pemerintahan Lee Kuan Yew kini menawarkan pajak khusus 10% (pajak biasa 33%) bagi perusahaan yang mau bermarkas di Singapura. Hal ini, antara lain, berhasil menarik perusahaan elektronik Belanda yang bangkrut di Indonesia dua tahun silam. Masuknya Philips ke Singapura diduga akan memancing pula saingan-saingan perusahaan elektronik dari Jepang, yang kini sudah merugi di Indonesia. Malaysia, yang menawarkan gaji separuh standar Singapura tetapi kemampuan buruh yang lebih tinggi dari Indonesia dan Muangthai, juga tengah berusaha merayu perusahaan-perusahaan suku cadang industri dari Jepang. Keinginannya, disejajarkan dengan Singapura, Taiwan, dan Korea Selatan dalam golongan New Industrialised Countries (NIC). Tapi para investor Jepang, AS, dan Eropa belum tertarik ke sana. Hambatan utama, sejak 1970, adalah New Economic Policy (NEP). Program NEP adalah pemelayuan dunia bisnis di Malaysia dengan target 30% untuk bumiputra pada 1990. Pelaksanaan begitu ketatnya sehingga, menurut laporan Bank Dunia 1986, dalam lima tahun terakhir NEP menyebabkan modal asing cabut dari sana. Baru dalam sidang kabinet Agustus lalu, sebelum PM Mahathir ke New York, pemelayuan itu diperlonggar guna merayu investor AS. Kabarnya, itu menyenangkan investor Jepang juga. RRC masih merupakan negara terbesar yang menyerap investasi asing di Asia. Pada semester I 1986, telah disetujui permohonan investasi asing US$ 1,24 milyar, jumlah yang cukup besar kendati sudah turun 20% dibandingkan semester I tahun lalu. Penurunan minat asing, terutama Jepang, ke RRC terjadi setelah terlihat bahwa RRC ternyata lebih merupakan pusat biaya daripada pusat laba. Susah mendapatkan mitra usaha di sana. Bahan baku masih banyak yang perlu diimpor -- tapi RRC malah melakukan pengetatan devisa. Cari tenaga kerja di sana susah, sedangkan membawa tenaga kerja asing pun mahal, dan jarang ada yang mau. Sejak RRC mengundang investasi asing, 1979, tercatat sudah US$ 16,2 milyar yang dijanjikan tapi baru US$ 4,6 milyar yang diwujudkan. Investasi terbesar (70%) adalah Hong Kong dan Macau, baru disusul AS. Max Wangar Laporan Ekram H.A. (Kuala Lumpur) & Yuli I (Bangkok)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini