LISENSI Van Nelle akhirnya jatuh juga ke Yogya. Perusahaan Daerah (PD) Tarumartani Baru-lah yang, mulai pekan lalu, mengantungi lisensi produksi tembakau shag dari perusahaan Belanda itu. Sebut ia itu terobosan perusahaan tembakau rajangan dan cerutu -- yang berlokasi di Baciro, Yogyakarta, sejak dinegerikan empat bulan silam. Bagi Tarumartani, merk dagang Van Nelle bukan merupakan cerita baru. Sejak perusahaan itu berdiri, belasan tahun silam, produk tembakau rajangan dengan merk Van Nelle telah mencuat sebagai primadona. Sampai saat ini, cap dagang berbau Belanda ini masih menguasai 70 persen produksi tembakau rajangan Tarumartani. Persoalan penguasaan lisensi ini muncul setelah Douwe Egberts (DE), mitra usaha asing pemegang 75 persen saham, berniat mengundurkan diri. Padahal, DE yang memegang lisensi Van Nelle. Maka, sebelum soal lisensi muncul menjadi batu pengganjal, buru-buru Tarumartani mendekati Van Nelle untuk memperoleh hak menggunakan merk dagang bereputasi internasional itu. Alhamdulillah, perusahaan Yogya ini boleh mengambil alih lisensi itu dari DE untuk pasar Indonesia. Kerja sama Tarumartani dengan DE boleh dibilang kurang mesra sedari awal. "Kami terus-terusan rugi," tutur Rudy A. Koagouw, Direktur Utama Tarumartani, kesal. Perjanjian kerja dirasakan Rudy kurang fair. Tanpa perhitungan untung-rugi, "Kami harus membayar 2 persen dari total penjualan," katanya. Jika perusahaan mencatat laba tentu, DE dinyatakan berhak atas dividen sesuai dengan saham mayoritasnya. Pihak DE, tutur Rudy, juga membebani Tarumartani dengan "pajak pembelian" 1 persen untuk setiap impor tembakau dari Kentucky (AS) yang hendak diolah menjadi tembakau Van Nelle. Pasalnya, DE merasa punya lisensi atas Van Nelle. Untuk menghapus perjanjian yang menjerat itu, Juli lalu, Pemda Dati I Yogya menebus 75 persen saham yang ada di tangan DE. Pemda kini menguasai 100% saham. Lalu, Bapindo menyuntikkan dana Rp 700 juta sebagai modal kerja. Lumayan. Kini, Tarumartani merasa tampil lebih sehat. Lepasnya DE dan pemberian lisensi itu dipandang bisa merampingkan struktur biaya. "Kami bisa 'ngirit Rp 200 juta setahun," ujar Sutrino, Manajer Keuangan Tarumartani. Menurut perjanjian, perusahaan milik Pemda Yogya ini wajib memberi royalti 1 gulden (Rp 825) untuk setiap satu kilogram tembakau Van Nelle yang dipasarkan dengan harga Rp 26 ribu. Van Nelle memang menjadi andalan Tarumartani. Keuntungan penjualan tembakau Kentucky rajangan ini pukul rata mencapai Rp 40 juta sebulan, dari produksinya yang sekitar 10 ton. Sumbangan tembakau berwarna cokelat kekuningan ini tak kurang 70 persen dari total penjualan tembakau rajangannya. Maka, Tarumartani memang mati-matian mempertahankan Van Nelle dalam jajaran produksinya. "Kalau tak memproduksi jenis ini, bisa-bisa kami rugi terus," ujar Tonny, seorang staf pemasaran Tarumartani. Dalam bentuk tembakau rajangan, perusahaan ini melepas merk Countryman, White Ox, Drum, dan Perahu. Perusahaan ini juga mencetak 120 ribu btang cerutu, yang harganya Rp 110-Rp 500 per batang. Total jenderal kebutuhan daun tembakau Tarumartani 180-220 ton setahun. Sayang, hanya sekitar 60 ton yang berasal dari kebun domestik. Selebihnya didatangkan dari Kentucky, Tanzania, dan Paraguay. Setahun, menurut Rudy, perusahaan ini mengeluarkan Rp 1 milyar lebih untuk impor tembakau itu. Namun, tampaknya, kegembiraan Tarumartani tak disambut hangat suasana pasar. Rudy Koagouw sendiri mengakui, daya serap pasar lagi menyusut. "Rokok kretek menguasai pasar hampir 78 persen," tuturnya. Tapi, H.W.F. Jonkman, tenaga ahli Van Nelle yang ditempatkan di Tarumartani punya hitungan lain. Konsumsi tembakau shag di Indonesia akan terus meningkat. "Saya perkirakan 5.000 ton tembakau shag akan diisap orang Indonesia," ujarnya, yakin benar. Entah bagaimana orang Belanda itu memperoleh angka. Putut Tri Husodo Laporan Yuyuk Sugarman (Yogya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini