Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
YOGYAKARTA - Pelaku usaha industri padat karya dan berorientasi ekspor menyambut baik komitmen pemerintah yang menjadikan usahanya sebagai sektor unggulan. "Industri kami ada hampir 5 juta tenaga kerja dan kami tengah berfokus bagaimana kami bisa berkontribusi maksimal pada perekonomian," ujar Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman, Adhi Lukman, di Yogyakarta, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun, menurut Adhi, masih ada banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan agar berhasil mencapai target yang diharapkan. Peningkatan ekspor dan daya saing industri tak bisa dipungkiri membutuhkan dukungan dari pemerintah. Dia menjelaskan, dari sisi internal dibutuhkan dukungan kebijakan ihwal pemenuhan ketersediaan bahan baku, kebijakan standar keamanan pangan, hingga peningkatan produktivitas dan kompetensi sumber daya manusia. "Tapi industri kami sebenarnya sudah banyak membuka jaringan distribusi di pasar-pasar Asia untuk mengejar ketertinggalan," kata dia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adhi menambahkan, dari sisi kapasitas teknologi, efisiensi tenaga kerja, dan pelatihan, masih kalah dibanding negara lain. "Kami masih berada di bawah rata-rata Asia-Pasifik."
Sinkronisasi kebijakan antara sektor hulu dan hilir juga dinilai masih perlu diperbaiki. Adhi mengungkapkan, pihaknya di sisi lain juga masih dibayangi faktor-faktor eksternal, seperti kenaikan harga minyak dunia yang kemudian berdampak pada biaya produksi. Faktor lain yang tak kalah penting adalah kebutuhan akan stabilitas nilai tukar rupiah. "Kurs rupiah tolong dijaga. Sebab, kalau sampai di atas 14.000 per dolar AS, mau tidak mau kami harus naikkan harga. Kalau kondisi pelemahan sekarang kisaran 13.900, kami masih okelah manage secara internal," ujarnya.
Adhi secara khusus juga memberikan catatan pada kebijakan fiskal dan keuangan perihal komitmen pemberian insentif fiskal dan suku bunga kredit khusus untuk industri. "Kredit untuk industri berorientasi ekspor harus lebih masif lagi dan lebih murah."
Dia juga meminta pemerintah membangun kerja sama perdagangan dengan sejumlah negara tujuan ekspor potensial non-tradisional, seperti Afrika. "Pemerintah saat ini sudah sediakan Rp 1,3 triliun untuk membiayai kredit ekspor ke Afrika, tapi baru terpakai Rp 300 miliar karena pengusaha mempertimbangkan mahalnya bea masuk ke sana yang sampai 25-40 persen," kata Adhi.
Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia, Ade Sudrajat, membenarkan bahwa dibutuhkan usaha yang kuat untuk mengambil peluang di pasar negara-negara potensial. "Penting untuk melakukan free trade agreement (FTA) atau bilateral trade agreement (BTA) dengan negara-negara pasar tujuan serta melakukan upaya perbaikan internal," ujarnya.
Ade menyoroti tantangan penyempitan akses pasar di negara-negara tujuan utama ekspor, seperti Amerika Serikat, Eropa, dan Turki. Hal itu disebabkan adanya shifting order ke negara-negara yang memiliki preferensi tarif perdagangan, seperti Vietnam, Kamboja, Myanmar, Thailand, dan Pakistan. "Beberapa negara pesaing sudah lebih dulu agresif melakukan serangkaian perjanjian perdagangan," kata dia.
Wakil Ketua Kelompok Kerja III Satuan Tugas Percepatan Reformasi Struktural, Raden Pardede, mengatakan pemerintah konsisten meningkatkan pengembangan industri padat karya berorientasi ekspor. "Kami bisa merebut ekspor padat karya Cina sebesar US$ 110 miliar atau 7 persen dari US$ 1.508 miliar total ekspor mereka," ucapnya. GHOIDA RAHMAH
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo