Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Babak Belur Kinerja Keuangan Media Grup Bakrie

Saham VIVA tak diperdagangkan karena ada pelanggaran. Kinerja keuangan terus memburuk.

6 Oktober 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • VIVA terkena sanksi dari Bursa Efek Indonesia.

  • Kinerja keuangan VIVA terus merosot karena beban yang tinggi.

  • PKPU menjadi sentimen negatif pada saham VIVA.

SEJAK Juli 2024, grafik harga saham PT Visi Media Asia Tbk (VIVA) tak bergerak. Datar di level 0. Bursa Efek Indonesia menghentikan perdagangan saham VIVA, antara lain karena belum menyampaikan laporan keuangan teraudit periode 2023. “Berdasarkan pemantauan kami, hingga 1 Juli 2024, terdapat 53 perusahaan tercatat dan dua ETF (exchange-traded fund/reksa dana) yang belum menyampaikan laporan keuangan auditan yang berakhir per 31 Desember 2023 dan/atau belum melakukan pembayaran denda atas keterlambatan penyampaian laporan keuangan,” demikian pengumuman Bursa Efek Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di tengah masalah ini, VIVA kembali terkena sentimen negatif tatkala induk perusahaan media milik Bakrie Group ini masuk skema penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU). Senior Research and Investment Analyst Infovesta Utama, Wawan Hendrayana, mengatakan VIVA memang mengalami kerugian. Saham VIVA pun ditransaksikan di bawah Rp 50 per lembar melalui full call auction (FCA) hingga akhirnya disuspen. FCA merupakan mekanisme perdagangan saham bagi emiten yang masuk papan pemantauan khusus BEI. “Investor memperhatikan analisis fundamental, prospek bisnis, dan likuiditasnya,” katanya pada Kamis, 3 Oktober 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sedangkan Direktur Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi mengatakan absennya pelaporan kinerja keuangan bisa saja menjadi strategi VIVA. Dia menyebutkan manajemen VIVA akan berhati-hati dalam melaporkan kondisi keuangan ketika sedang terjadi kerugian. “Seandainya melaporkan keuangan dengan kondisi minus, kemungkinan besar sahamnya berguguran, investor akan ketakutan,” tuturnya.

VIVA dan beberapa anak usahanya, yaitu PT Intermedia Capital Tbk (MDIA), PT Cakrawala Andalas Televisi (ANTV), dan PT Lativi Mediakarya (tvOne), terancam pailit. Sebanyak 12 kreditor menagih utang sebesar Rp 8,79 triliun kepada empat perusahaan tersebut. Jika tenggat penyelesaian utang melalui PKPU terlampaui, VIVA bakal dipailitkan. 

Dalam laporan keuangan konsolidasian interim pada 30 September 2023, VIVA mencatatkan pendapatan Rp 906 miliar, turun dari periode sebelumnya yang mencapai Rp 1,32 triliun. Adapun beban usahanya mencapai Rp 1,14 triliun, yang terbesar berasal dari operasi perusahaan yang meliputi gaji karyawan, jasa profesional, transportasi, air, listrik, dan sejenisnya sebesar Rp 630,2 miliar. Walhasil, pada triwulan III 2024, VIVA mencatatkan kerugian Rp 239 miliar.   

Kondisi serupa terjadi pada 2022. Pada periode tersebut, VIVA membukukan kerugian sebesar Rp 1,71 triliun. Jumlah ini membengkak 93,19 persen secara tahunan dari 2021 yang sebesar Rp 883,12 miliar. VIVA juga mencatatkan defisiensi ekuitas sebesar Rp 1,58 triliun atau meningkat dari total Rp 617,33 miliar pada 2021.

Pendapatan VIVA pun menurun 6,26 persen pada 2022. VIVA mencatatkan pendapatan usaha Rp 1,69 triliun, sementara pada 2021 sebesar Rp 1,81 triliun. Penyebabnya adalah pendapatan dari sektor iklan yang turun 7,63 persen. Pada 2022, VIVA hanya mendapatkan Rp 1,65 triliun, sementara pada 2021 angkanya Rp 1,79 triliun. “Iklannya sedikit. Secara brand (tvOne) nomor satu, secara pendapatan dari iklan kalah dengan media lain,” ucap Ibrahim. 

Padahal pada periode tersebut beban usaha VIVA turun 0,44 persen. Beban usaha ini berasal dari dua segmen, yaitu program dan penyiaran sebesar Rp 724,3 miliar dan operasi umum perusahaan Rp 933,7 miliar. Karena itu, VIVA akhirnya hanya bisa mencatatkan laba usaha Rp 40,48 miliar pada 2022. Angka ini anjlok 72,38 persen atau Rp 146,6 miliar. 

Ibrahim mengatakan kondisi VIVA itu tak lepas dari situasi pandemi Covid-19 pada 2020-2022. Dia menyebutkan, ketika terjadi pandemi, industri media bergejolak karena pemasukan dari iklan minim. VIVA yang dikenal sebagai media yang berorientasi pada politik mengalami kondisi lebih parah. “Hampir semua media tidak ada iklan. Apalagi media yang larinya ke politik” katanya. 

Bisnis di sektor media memang telah memasuki babak baru seusai masa pandemi pada pertengahan 2023. Kinerja VIVA sebelum dan setelah masa pagebluk memang menunjukkan perbedaan signifikan, yang terlihat dari pendapatan iklan. Pada 2019 atau sebelum terjadi pandemi, VIVA masih bisa mencatatkan pendapatan usaha sebesar Rp 2,11 triliun. Jumlah itu didukung pendapatan iklan sebesar Rp 2,10 triliun dan noniklan Rp 9,15 miliar.

Wawan Hendrayana mengatakan emiten media selama ini memang mengandalkan pemasukan iklan dan penyelenggaraan acara. Saat pandemi menerjang, bisnis ini anjlok. Menurut dia, setelah pandemi berakhir, terjadi persaingan antara media konvensional dan kreator konten digital. Agar bertahan, Wawan menambahkan, perusahaan media mesti memperbanyak konten digital, mempertahankan jenama, dan mengefisienkan biaya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Berat Beban, Seret Iklan"

 
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus