Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAMUAN makan malam di Hotel Four Seasons, Jakarta Pusat, itu bernuansa India. Diawali lagu yang dinyanyikan para murid Gandhi Memorial International School, Biren Nanda, Duta Besar India untuk Indonesia, menyambut Jyotiraditya M. Scindia, Menteri Perdagangan dan Industri India. Jyotiraditya ditemani belasan pemimpin perusahaan yang tergabung dalam Konfe derasi Industri India.
Pada Jumat tiga pekan lalu, Jyotiraditya bersama delegasi pengusaha itu punya agenda penting. Mereka tengah mencari ceruk bisnis di Indonesia yang bisa dimasuki pengusaha India. Salah satunya dengan menggelar Made in India Trade Fair selama empat hari di Balai Kartini, Jakarta. Ekshibisi ini untuk mempromosikan produk industri dan perdagangan negeri itu.
Kedatangan mereka, kata Nanda, untuk meningkatkan volume perdagangan yang selama lima tahun terakhir melonjak dua kali lipat. ”Tidak hanya meningkatkan, tapi juga menganekaragamkan produk perdagangan, serta bentuk investasi di antara kedua negara,” katanya. Pada 2003, total perdagangan India-Indonesia masih US$ 2,4 miliar, sedangkan tahun lalu sudah menembus US$ 10,06 miliar.
Itu sebabnya misi tadi diawali pertemuan antara delegasi pengusaha India dan Menteri Perindustrian Fahmi Idris sehari sebelumnya. ”Kami mencari sektor yang berpotensi tumbuh,” kata Rajive Kaul, Chairman Nicco Corporation Ltd., yang menjadi pemimpin delegasi. Yang mereka incar proyek pembangkit listrik, teknologi informasi, tekstil dan mesin tekstil, serta baja.
Tekstil, kata Fahmi Idris, dipilih karena Indonesia tidak mampu membuat mesin di sektor itu. ”Itu kelemahan kita, terlebih setelah satu-satunya pabrik pembuat mesin tekstil Texmaco tutup,” katanya. Untuk memenuhi kebutuhan mesin, pabrik tekstil Indonesia selama ini harus mengimpor. Karena itu, delegasi India berikhtiar menjalankan program restrukturisasi mesin tekstil. Lakshmi Machine Works Ltd., perusahaan mesin tekstil terbesar di dunia asal India, akan datang menjajaki kerja sama.
Kendala serupa terjadi di sektor pembangkit. Indonesia, kata Fahmi, belum mampu memproduksi turbin berskala besar. Padahal alat ini menjadi perlengkapan dasar instalasi pembangkit. Produsen domestik baru bisa membuat turbin dua megawatt. Padahal, untuk proyek 10 ribu megawatt, Indonesia memerlukan turbin berkapasitas 7-100 megawatt. India punya kemampuan membuat turbin 35-55 megawatt.
Fahmi lalu mengundang delegasi India untuk membuat pabrik turbin di sini. Apalagi pemerintah berencana membuat proyek pembangkit listrik tahap ketiga untuk memenuhi tambahan kebutuhan pada 2015 sekitar 20 ribu megawatt. Salah satu yang berminat adalah Bharat Heavy Electricals Li mited (BHEL). ”Kami siap berkompetisi dengan per usahaan pembangkit listrik dari Cina,” kata Manajer International Operations BHEL Ltd. Sanjay Kumar Gupta. Menurut dia, Bharat sanggup menawarkan harga yang kompetitif.
Di Indonesia, Bharat bukan pemain kemarin sore. Perusahaan itu telah menggarap sejumlah proyek pembangkit untuk beberapa perusahaan, seperti PT Adaro, PT Kaltim Prima Coal, dan PT Indo Bharat Rayon. Di India, Bharat sanggup membuat pembangkit listrik hingga kapasitas 15 ribu megawatt.
Untuk mewujudkan sederet kerja sama tadi, pengusaha India dan Indonesia akan membentuk komite gabungan pengusaha Indonesia dan India. Tujuh pengusaha—salah satunya Sri Prakash Lohia, pendiri PT Indo-Rama dan Ketua Kadin Komite India—akan duduk sebagai perwakilan Indonesia. Lohia adalah ipar Lakshmi Mittal, raja baja dunia. Nama pengusaha lain akan ditentukan Lohia sebelum akhir bulan ini.
Forum gabungan CEO tadi, kata Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia M.S. Hidayat, akan memilih proyek-proyek yang dianggap potensial untuk kerja sama. Mereka juga akan membicarakan kemungkinan pengambilalihan PT Texmaco, perusahaan mesin tekstil yang dulunya milik Marimutu Sinivasan. ”Kami lagi berpikir, kenapa Texmaco tidak diambil alih,” kata Hidayat.
HUBUNGAN Nusantara dan India, kata Biren Nanda, sesungguhnya sudah terjalin sejak awal Masehi. Hubungan diplomatik Indonesia-India resmi dibuka pada 1951. Pada 1970-an, para pengusaha India mulai marak menanam pundi-pundinya di sini. Nilai investasi India selama periode itu ditaksir US$ 1-1,5 miliar.
Salah satunya PT Ispat Indo, yang didirikan Lakshmi Mittal di Sidoarjo, Jawa Timur, pada 1976. Pada usia 26 ta hun, Lakshmi menyulap 16,5 hektare sawah menjadi pabrik baja. Dari semula mempekerjakan 200 orang, Ispat Indo kini memiliki 760 pegawai tetap dan 500 tenaga kontrak. Kapasitas produksi terpasangnya semula 60 ribu ton per tahun, kini melewati 700 ribu ton per tahun.
Pada tahun yang sama, M.L. Lohia bersama anaknya, Sri Prakash Lohia, mendirikan PT Indo-Rama Synthetics. Berkat Sri Prakash Lohia, Grup Indo-Rama kian menggurita. Produknya meliputi poliester, PET resin, polyethylene, polypropylene, hingga sarung tangan medis. Pabriknya bertebaran di sepuluh negara di empat benua. Bajaj juga mulai masuk ke Indonesia pada 1975.
Namun, setelah era 1980-an, serbuan pengusaha India seperti mati suri. Baru pada 1997, Essar Group, perusahaan yang didirikan adik-kakak Shri Shashi Ruia dan Shri Ravi Ruia pada 1969, membangun pabrik di sini. PT Essar Indonesia kini produsen lembaran baja canai dingin (cold rolled steel) terbesar di Indonesia. Dengan kapasitas 400 ribu ton per tahun, Essar menguasai 35 persen pasar domestik.
Perusahaan India kembali marak membidik Indonesia pada 2000-an. Terutama setelah kedua negara meneken perjanjian proteksi dan promosi investasi pada 2004. Bharat Heavy Electricals Limited, misalnya, memperoleh kontrak pembangunan pembangkit listrik 120 megawatt pada Juli 2005 untuk keperluan PT Merak Energi Group.
Dua tahun lalu, Tata Power, anak perusahaan Tata Group, membeli 30 persen saham PT Kaltim Prima Coal dan PT Arutmin—keduanya anak usaha Bumi Resources—US$ 1,3 miliar. Dari kesepakatan itu, plus pembelian 10 juta ton batu bara per tahun dari Kaltim Prima, Tata punya pasokan untuk pembangkit listrik 7.000 megawatt, yang dibangunnya di pantai barat India.
Pada tahun yang sama, Ispat Steel Ltd., produsen baja di bawah Global Steel Holding Co., berencana menanam fulus US$ 1,5 miliar. Niat itu diutarakan Vinod Mittal, adik Lakshmi Mittal, saat Wakil Presiden Jusuf Kalla berkunjung ke Dolvi Complex, kawasan industri di Mumbai, India.
Ispat ingin membangun pabrik terpadu di Indonesia, dilengkapi dermaga, dengan kapasitas produksi dua juta ton per tahun. Luas lahan yang diperlukan sekitar 1.214 hektare. Daerah yang ditawarkan kepada Vinod antara lain Kabupaten Tanah Laut, Tanah Bumbu, dan Kota Baru. Rencana itu kini tak terdengar lagi.
Sepanjang tahun lalu, pengusaha India tetap wira-wiri ke Indonesia. Nalco —perusahaan aluminium pelat merah India—meneken kesepakatan awal dengan Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan. Nalco berikhtiar membangun peleburan aluminium dan pembangkit listrik. Nalco siap menguras dana US$ 7,61 miliar. Proyek ini, kata Direktur Keuangan Nalco B.L. Bagra, akan rampung lima tahun setelah kesepakatan diteken.
Adapun Reliance Power Ltd. mengaku meneken kesepakatan membeli saham tiga perusahaan batu bara di Indonesia. Pasokan batu bara dibutuhkan karena anak usaha Anil Dhirubhai Ambani Group itu tengah membangun pembangkit senilai US$ 3 miliar.
Langkah itu diikuti National Thermal Power Corp Ltd. dan Power Trading Corp.—keduanya produsen listrik pelat merah. Demi mengamankan pasokan, National Thermal siap mencaplok perusahaan batu bara yang punya konsesi dengan cadangan 300 juta ton. ”Kami tidak boleh lagi bergantung pada spot market,” kata R.S. Sharma, Chairman National Thermal.
Pasokan dibutuhkan karena National Thermal, yang mengkonsumsi seperempat produksi batu bara India, punya pembangkit berkapasitas 29.144 megawatt. Perusahaan itu berencana memompa kapasitas 22.430 megawatt pada 2012, dan 75 ribu megawatt pada 2017.
Tak cuma di pertambangan, per usa haan India agresif di industri serat ray on. Aditya Birla Group, konglomerasi asal India, menyuntikkan US$ 60 juta untuk merampungkan penambahan lini produksi keenam di Purwakarta, Jawa Barat. Pendapatan Aditya Birla ditopang lima anak usahanya, yakni Indo Bharat Rayon, PT Elegant Textiles Industry, PT Indo Liberty Textiles, PT Sunrise Bumi Textiles, dan PT Indo Raya Kimia. Dua tahun lalu, kelimanya menyumbangkan pendapatan buat Aditya lebih dari US$ 600 juta.
Yang hangat jadi perdebatan seru tentu saja niat Lakshmi Mittal ketika tahun lalu hendak membeli Krakatau Steel. Ia siap merogoh dana US$ 3 miliar. Tapi rencananya berantakan setelah Krakatau menolak diakuisisi.
Meski punya setumpuk rencana, nilai investasi perusahaan India—antara yang disetujui dan direalisasi—masih tergolong rendah. Dari nilai investasi US$ 4,5 miliar yang disetujui dari 2004 hingga Februari 2009, realisasinya hanya US$ 157,7 juta. Menurut M. Lutfi, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, rendahnya realisasi itu karena perusahaan India kebanyakan main di sektor hulu, seperti pertambangan. ”Di sektor seperti itu butuh waktu lama antara rencana dan realisasi,” katanya.
Dan India sekarang, kata Lutfi, tidak bisa dibandingkan dengan India yang dulu. ”India tiga lima tahun lalu saat mengajukan izin investasi belum sehebat India yang sekarang,” katanya. Apalagi bila dibandingkan dengan India 20-30 tahun lalu. Perubahan itu se iring dengan pergeseran arus modal global. ”India sekarang sudah menjadi salah satu pemain utama dunia,” katanya. Itu sebabnya, ia percaya, India serius berinvestasi di Indonesia.
Hidayat juga yakin Indonesia akan menjadi pilihan utama ekspansi India. Terlebih lagi, kerja sama itu dijalin atas dasar pertumbuhan ekonomi yang sama-sama positif. Pertumbuhan Indonesia kuartal kedua tahun ini 4,1 persen. Sedangkan pertumbuhan India nomor dua setelah Cina. Rajive Kaul percaya lima tahun ke depan total perdagangan kedua negara bisa naik dua kali lipat hingga US$ 20 miliar.
Yandhrie Arvian, R.R. Ariyani
Realisasi Investasi Asing Januari 2004-Februari 2009
Negara (jumlah proyek)
Realisasi Investasi India
*Jumlah proyek | (US$ ribu) | |
2004 | (12)* | 36.655,02 |
2005 | (10) | 2.813,88 |
2006 | (14) | 88.309,78 |
2007 | (17) | 11.609,11 |
2008 | (20) | 17.799,72 |
Feb 2009 | (2) | 595,00 |
Realisasi Investasi India per Sektor
Sektor | (jumlah proyek) |
Industri tekstil | (6)40.300,20 |
Kimia dan obat-obatan | (1)928,88 |
Logam, mesin, dan industri elektronik | (3)86.725,00 |
Kendaraan bermotor dan perlengkapan transportasi | (2)11.983,94 |
Industri lain | (2)2.839,50 |
Perdagangan dan reparasi | (58)13.164,99 |
Servis lain | (3)1.840,00 |
Penyerapan Tenaga Kerja Jan 04 – Feb 09
Total penyeparan (realisasi) | 3.651 |
Tenaga kerja asing (persetujuan) | 108 |
Tenaga kerja domestik (persetujuan) | 13.831 |
Sumber: BKPM
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo