Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jaringan rel, sinyal, telekomunikasi, dan instalasi listrik yang compang-camping tampaknya masih akan memusingkan pengelola PT Kereta Api Indonesia (KAI). Soalnya, anggaran infrastruktur, perawatan, dan operasional sampai sekarang masih tak jelas nasibnya. Kementerian Perhubungan mengaku sudah mengusulkan anggaran Rp 1,7 triliun per tahun, tapi Kementerian Keuangan tak menerima usul itu dan menganggarkannya.
Kepada Tempo, Rabu pekan lalu, juru bicara Kementerian Perhubungan, Bambang S. Ervan, menjelaskan, dana perawatan itu ada di mata anggaran cadangan 999. Hanya dalam hitungan jam, bantahan pun tiba. "Dalam anggaran kami tak ada alokasi itu," ucap Pelaksana Tugas Direktur Anggaran Askolani di Senayan, Jakarta.
Bahkan, menurut Askolani, usulan dana infrastructure, maintenance, and operational (IMO) untuk PT KAI masih dibahas di level pejabat eselon I antardepartemen. Belum diputuskan usulan dana IMO akan disisipkan lewat anggaran Kementerian Keuangan, Kementerian Perhubungan, atau Kementerian Badan Usaha Milik Negara. "Tunggu saja," ujar Askolani.
Yang sudah pasti, anggaran IMO dicoret dari Rancangan APBN Perubahan 2013. Dalam anggaran negara yang akan disetujui Dewan Perwakilan Rakyat pada pertengahan Juni tak ada alokasi untuk belanja. "Fokus pada anggaran kompensasi kenaikan harga bahan bakar minyak subsidi," kata Direktur Jenderal Anggaran Herry Purnomo, akhir Mei lalu, sehari sebelum pensiun.
Anggaran IMO amat vital bagi KAI. Menurut Undang-Undang Perkeretaapian Nomor 23 Tahun 2007, perawatan itu untuk jalur kereta, stasiun, dan fasilitas operasi kereta semacam persinyalan, peralatan telekomunikasi, serta instalasi listrik. Kecelakaan kereta sangat mungkin terjadi kalau perawatan prasarana kurang. Ujungnya, pengguna layanan transportasi massal akan menjadi korban.
Direktur Utama PT KAI Ignasius Jonan pernah mengatakan setidaknya dibutuhkan anggaran perawatan sekitar Rp 2 triliun per tahun. Angka itu hanya cukup untuk mempertahankan performa seperti sekarang. "Kalau mau meningkatkan, ya, lebih banyak," katanya. Yang terjadi, setidaknya sejak 2010 KAI tak menerima sepeser pun dana IMO. Padahal, berdasarkan Undang-Undang Perkeretaapian dan peraturan pendukung lainnya, perawatan prasarana milik negara itu dibiayai dengan dana dari APBN.
Menurut Staf Utama Direktur Utama KAI Bidang Hubungan Antarlembaga Handy Purnama, "utang" pemerintah untuk anggaran IMO mencapai Rp 7,6 triliun. "Saat ini pengguna kereta dari Medan sampai Jember yang membiayai IMO," katanya kepada Tempo, Rabu pekan lalu.
Operator kereta api di bawah Kementerian BUMN ini pernah kecele lantaran anggaran IMO tak dialokasikan dalam Rancangan APBN Perubahan 2012. Padahal, mendekati pembahasan anggaran, terbit Peraturan Presiden Nomor 53 Tahun 2012 tentang Kewajiban Pelayanan Publik dan Subsidi Angkutan Perintis Bidang Perkeretaapian, Biaya Penggunaan Prasarana Perkeretaapian Milik Negara, serta Perawatan dan Pengoperasian Prasarana Perkeretaapian Milik Negara pada 12 Mei 2012.
Perpres itu merupakan jawaban atas persoalan infrastruktur yang mengakibatkan tabrakan dahsyat di Petarukan, Jawa Tengah, pada 2 Oktober 2010, yang menewaskan 35 orang. Yang penting bagi KAI: aturan ini menegaskan bahwa negara wajib membiayai IMO.
KAI kaget lantaran pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tentang pengantar Rancangan APBN 2013 pada 16 Agustus 2012 tak menyebut dana IMO. Kubu Jonan pusing karena sebelumnya memperoleh informasi bahwa Direktur Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan Tundjung Inderawan telah mengajukan anggaran IMO kepada Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Herry Purnomo via surat tertanggal 27 Juli 2012.
"Kami langsung menelusuri surat itu," kata Handy. Ternyata Herry tak menerima surat itu, sedangkan Tundjung tak memberikan bukti pengiriman surat. "Pertanyaannya, apakah surat tersebut benar dikirimkan."
Tak menyerah, KAI melobi Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) di bawah pimpinan Kuntoro Mangkusubroto dan Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa. Keduanya memfasilitasi pertemuan KAI dengan kedua kementerian tadi plus Kementerian BUMN. "Kami juga membuatkan rancangan aturan menteri tentang penghitungan IMO," tutur Handy. Berdasarkan hasil rapat di kantor Menteri Koordinator Perekonomian, Tundjung mengirimkan usulan lagi kepada Herry pada 5 Maret 2013. Toh, anggaran IMO tak nyantol dalam Rancangan APBN Perubahan 2013.
Kementerian Perhubungan dituding sengaja menahan anggaran IMO. Direktur Prasarana Direktorat Perkeretaapian Arif Heryanto menampik tudingan itu. Ia menerangkan, selama ini dana IMO tak mengucur karena KAI tak ditarik biaya penggunaan rel alias track access charge (TAC). "TAC yang tak ditarik dianggap sebagai IMO," katanya pada akhir Mei lalu kepada Amandra Mustika Megarani dari Tempo.
Sumber Tempo di Kementerian Perhubungan menyebutkan TAC tak ditagih karena belum ada mekanismenya. Regulasi juga membingungkan. Pasal 15 Perpres 53 Tahun 2012 menyebutkan TAC termasuk penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Namun Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2009 tentang Jenis dan Tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak dari Departemen Perhubungan tak mengatur PNBP dari KAI.
Kementerian Perhubungan juga tak kunjung membentuk BUMN prasarana menurut amanat Undang-Undang Perkeretaapian. Undang-undang itu memang memerintahkan pembentukan BUMN prasarana dan BUMN sarana perkeretaapian. Dana IMO akan dikelola oleh BUMN prasarana. "Masih tahap focus discussion group di Kementerian Perhubungan," ujar Pelaksana Harian Deputi Menteri BUMN Bidang Usaha Infrastruktur dan Logistik Imam Apriyanto Putro, Selasa pekan lalu.
Bambang S. Ervan mengakui selama enam tahun belakangan kementeriannya belum bisa menghasilkan rancangan peraturan pemerintah pembentukan BUMN prasarana. Konsepnya akan berbentuk perusahaan umum agar tak berorientasi keuntungan. Namun gangguan selalu muncul. "Pembahasan dihentikan karena suasana tak kondusif. Beberapa pihak menentang pemisahan pengelola prasarana dan sarana," ucapnya.
Ia tak mau menyebutkan siapa yang menentang. "Nanti saya dianggap menuduh," katanya. Bambang menegaskan, tugas membentuk perum prasarana di pundak pemerintah, bukan hanya kementeriannya. Itu sebabnya pembahasan melibatkan sejumlah instansi, seperti Kementerian Perhubungan, Kementerian BUMN, serta Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Sebaliknya Handy menganggap keliru kalau diartikan Undang-Undang Perkeretaapian mengharuskan dibentuk BUMN prasarana terpisah dari KAI. "BUMN prasarana dan sarana bisa dipisah, tapi juga bisa digabung," katanya. Apalagi KAI memiliki kapasitas keduanya karena mengantongi izin usaha dan operasi penyelenggara prasarana dan sarana perkeretaapian.
Ketua Komisi BUMN DPR Airlangga Hartarto juga tak setuju pemisahan itu. Makin banyak BUMN dinilai akan semakin sibuk mencari keuntungan. Kalau dipisahkan, ia khawatir harga tiket akan naik. "Biar KAI yang melakukan kedua fungsi itu," ujar politikus Partai Golkar ini.
Belum adanya BUMN prasarana sebetulnya tak menghalangi KAI menerima IMO. Menurut Imam Apriyanto Putro, Perpres 53 Tahun 2012 menyatakan, jika lembaga itu belum terbentuk, KAI yang akan mengurus prasarana dan menerima anggaran IMO dari Kementerian Perhubungan.
Namun, kata Herry, banyak persoalan dalam pengajuan anggaran IMO. Kementerian Perhubungan belum memilah mana prasarana milik negara yang mesti dirawat pemerintah. Banyak pula infrastruktur kepunyaan KAI. "Prinsip dalam sistem penganggaran itu harus jelas dana untuk apa. Jangan sampai dobel pembiayaan." Maka dibentuk tim klarifikasi aset untuk memilah mana harta milik negara dan KAI.
Ketua Komisi Perhubungan Laurens Bahang Dama, dari Partai Amanat Nasional, memastikan dana IMO tak jelas karena Kementerian Perhubungan dan Kementerian BUMN tak seirama. "Lumrah kalau KAI curiga ada apa-apa," ujar Laurens.
Jobpie Sugiharto, Muhammad Muhyiddin, Ananda Putri, Maria Yuniar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo