Apa yang terjadi, terjadilah. What will be, will be. Tampaknya begitulah peruntungan warung yang bernama Bursa Efek Jakarta (BEJ) tahun 1999. Bursa sahamnya tetap ada, tapi barang jualannya, 200 lebih perusahaan yang terdaftar di sana, cuma sedikit yang bermutu.
Secara teknis, 60 persen perusahaan yang terdaftar di BEJ sudah bangkrut. Gara-gara harga dolar melambung tiga kali lipat dalam satu setengah tahun terakhir, pengeluaran perusahaan membengkak. Biaya operasional menanjak gara-gara harga bahan baku naik.
Beban utang (dolar) berlipat, beban bunga utang rupiah pun meningkat karena suku bunga ikut-ikutan melonjak. Padahal, pendapatan merosot lantaran daya beli konsumen juga turun. Menurut hitungan Rino Agung Effendi, kepala ekonom Danareksa, sekitar 90 persen perusahaan publik tak mampu membayar utang.
Sudah begitu, rasio antara nilai perusahaan dan pinjaman sudah begitu besar. Mohamad Syahrial, Kepala Riset Pentasena Securities, menghitung bahwa utang luar negeri perusahaan publik mencapai US$ 19 miliar. Ini setara dengan nilai kapitalisasi pasar mereka.
Artinya, jika seluruh utang itu dikonversi menjadi saham, semua perusahaan publik akan berpindah tangan: dari semula milik pemegang saham ke tangan pemegang utang. Pendek kata, bukan cuma nasib perusahaan publik yang terseok-seok, peruntungan para pemegang sahamnya pun tengah babak-belur.
Satu-satunya harapan bagi pasar modal Indonesia adalah aliran modal dari investor asing. Tapi, dengan prospek perusahaan publik semuram itu, serbuan modal asing ini juga sulit diharapkan. Apalagi, situasi belakangan ini memang sedang tak menguntungkan pasar modal di negara berkembang.
Menurut Rizal Bambang Prasetijo, Direktur Departemen Riset pada Jardine Fleming Nusantara, ada sejumlah alasan mengapa pasar negara berkembang kini kurang menarik sebagai lahan investasi. Salah satunya, harga komoditi yang terus merosot.
Pada masa krisis seperti sekarang, sebagian besar negara berkembang (seperti Indonesia, Thailand, Filipina, dan negara-negara Amerika Latin) banyak mengandalkan komoditi dari sumber daya alam (pertanian, tambang). Jatuhnya harga barang komoditi jelas mengurangi kemampuan negara-negara ini untuk memulihkan perekonomiannya.
Selain itu, di sejumlah negara (seperti Korea, Jepang, Thailand, Cina, dan dalam tingkat tertentu India) kini sedang terjadi kelebihan produksi. Ini akan mendorong terjadinya deflasi (harga barang turun). Padahal, ''Deflasi merupakan momok yang akan mengusir investor dari pasar modal," kata Rizal.
Terakhir, tingkat suku bunga di negara-negara yang dilanda krisis sudah merosot dengan drastis. Suku bunga sertifikat Bank Indonesia, misalnya, turun dari 71 persen (September) menjadi tinggal 35 persen saat ini. Kencangnya laju penurunan suku bunga ini memperkecil peluang bagi bunga bank untuk turun lebih cepat. Artinya, tak ada insentif lagi bagi pasar modal untuk meningkat.
Kendati demikian, Lin Che Wei, Direktur Riset SocGen, masih berharap bahwa indeks harga saham gabungan di bursa Jakarta bisa menembus batas 500. Ada dua alasan sederhana. Pertama, SocGen yakin, Indonesia di bawah Habibie masih akan menerima bantuan luar negeri. Kedua, utang swasta yang sangat membebani perekonomian juga akan ditunda pelunasannya. Kedua hal itu bisa mendorong penurunan suku bunga sampai di bawah 30 persen pada kuartal pertama 1999.
Kendati demikian, Lin Che Wei mengakui, pertaruhan terbesar dari pasar modal Indonesia terjadi setelah pertengahan tahun. Ketika itu, kondisi politik akan menjadi pertimbangan utama, apakah seorang investor akan tetap tinggal di pasar modal atau tidak.
Nah, berikut dua faktor penting yang akan menentukan nasib pasar modal Indonesia. Menurut beberapa pengamat yang diwawancarai TEMPO, faktor politik menduduki peringkat tertinggi, baru disusul dengan tinggi-rendahnya suku bunga.
Politik
Semua pengamat sepakat, tahun ini ketidakpastian politik akan menaikkan risiko berinvestasi. Tapi sebelum pemilu Juni 1999, para investor masih bisa memanfaatkan peluang untuk trading, memainkan transaksi jual dan beli dalam jangka pendek, memanfaatkan naik-turunnya harga saham secara optimal. Horizon investasi harus dipersingkat dari tahunan, misalnya, menjadi bulanan atau mingguan, bahkan cuma jam-jaman. Pokoknya, beli ketika harga murah, dan lepas kembali begitu ada untung.
Risiko politik bukan cuma meningkat menjelang atau selama pemilu. Periode pasca-pemilu pun memberikan tantangan yang amat besar bagi perekonomian. Menurut Rizal, sulit melihat adanya satu partai yang akan memenangkan suara secara mutlak alias mayoritas dalam pemilu kali ini. Akibatnya, harus terbentuk pemerintahan koalisi. Nah, persoalannya, apakah pasar yakin bahwa akan terbentuk pemerintahan koalisi yang solid. Jika tidak, menurut Rizal, cuma satu jawabannya, ''Ya, kiss goodbye saja sama bursa saham," katanya.
Suku bunga
Para pengamat sepakat, tingkat suku bunga tahun depan masih bisa turun. Cuma, lajunya memang tak secepat sekarang. Menurut hitungan sejumlah analis, tingkat suku bunga rupiah tahun depan besarnya 20 hingga 30 persen. Tingkat suku bunga ini boleh jadi akan lebih rendah dari tingkat inflasi. Artinya, para penabung di bank akan merugi karena harus menerima bunga negatif.
Dengan tingkat bunga yang sudah sedemikian rendah, sebenarnya ada insentif bagi investor untuk kembali bermain di pasar modal. Tapi Rizal mengingatkan, laju penurunan suku bunga di masa datang tak akan sederas sebelumnya. Artinya, insentif suku bunga sebenarnya sudah dinikmati investor pasar modal sebelum tahun 1999 ini.
Nah, dengan pelbagai pertimbangan itu, adakah saham-saham di BEJ yang masih layak menjadi bahan investasi? Ada, tapi tak banyak. Menurut sejumlah analis, saham-saham itu harus memiliki syarat-syarat berikut: arus kas yang kuat, tak banyak dipengaruhi oleh fluktuasi kurs, dan kalau bisa berorientasi ekspor.
Trimegah Securities, misalnya, merekomendasikan perusahaan-perusahaan yang punya penghasilan dolar seperti Aneka Tambang, Berlian Laju Tanker, Rig Tenders, Astra Agro Lestari, dan Daya Guna Samudra. Begitu juga Erwan Teguh Teh, analis dari SocGen, memberi bobot perhatian cukup besar untuk perusahaan agribisnis seperti Sumatera London Plantation dan Astra Agro Lestari.
Anda percaya? Boleh saja. Asal diingat, para analis itu, juga majalah ini, tak menanggung risiko atas kerugian yang mungkin Anda derita.
Bina Bektiati, Dewi Rina Cahyani, Mardiyah Chamim
Situasi Indeks Harga Saham Gabungan | 2 Januari 1997 | 638.103 |
8 Juli 1997 | 740.833 |
15 Desember 1997 | 339.536 |
21 September 1998 | 256.834 |
22 Desember 1998 | 406.405 |