Kalau ada pemilihan gagasan paling kontroversial tahun 1998, pasti ekonomi kerakyatan terpilih sebagai calon kuat. Gagasan yang dilontarkan Menteri Koperasi dan Pengusaha Kecil Menengah Adi Sasono ini mengundang beragam reaksi dari segala penjuru. Lantaran ide tersebut, majalah Far Eastern Economic Review mempertanyakan Adi Sasono sebagai The Most Dangerous Man. Tak kurang ''galak"nya, Asiaweek menjadikan dia sebagai cover story dengan tajuk Watch This Man.
Ekonomi kerakyatan memang layak mengundang debat serius. Selama 32 tahun, pemerintahan Soeharto seperti menyerahkan roda perekonomian pada mekanisme pasar. Sayangnya, roda yang berputar tak sepenuhnya murni kehendak pasar. Bagian terbesar justru dicampuri oleh praktek kolusi, korupsi, dan nepotisme. Akibatnya, yang menghimpun untung besar adalah sekelompok kecil pengusaha yang punya koneksi politik. Sebagian besar rakyat, maaf saja, terpaksa tidak punya akses untuk menikmati kue pembangunan dengan lebih leluasa. Jurang kesenjangan sosial-ekonomi pun makin dalam.
Nah, kini seorang Adi Sasono agaknya berniat mengubah ketimpangan itu. Bersama tim penggagas—Fadel Muhammad, Didik Rachbini, Aburizal Bakrie, Fachri Aly, dan kawan-kawan— Adi mengegolkan ide ekonomi kerakyatan di forum Sidang Istimewa MPR, November lalu. Alhasil, diluncurkanlah Tap MPR No. XVI/1998 tentang Politik Ekonomi Dalam Rangka Demokrasi Ekonomi. Koperasi dan pengusaha kecil dan menengah bakal diorbitkan sebagai bintang baru perekonomian. Tak hanya itu. Bank Indonesia juga meluncurkan 13 skema kredit murah senilai Rp 10,8 triliun. Nanti, kalau lancar, jumlah skema diperluas sampai 30 jenis dengan nilai Rp 35 triliun. Bunganya pun super murah: hanya 15 persen, sedangkan bunga kredit perbankan wajarnya masih di atas 35 persen.
Niat Adi memang tak main-main. Dia juga merencanakan pendirian Dewan Pengembangan Ekonomi Rakyat (DPER), yang langsung dipimpin Presiden Habibie dengan ketua harian Menteri Koperasi Adi Sasono. Rencananya, dewan ini dilengkapi dengan Lembaga Permodalan Nasional (LPN). Tugas LPN, antara lain, membeli saham-saham BUMN baik yang sudah go public maupun yang belum. Kemudian, melalui lembaga reksadana akan dikeluarkan surat berharga untuk dijual-belikan kepada masyarakat. Yang boleh membeli adalah keluarga dari kelas menengah ke bawah, tentu dengan harga diskon. ''Jadi mereka bisa punya aset bagus dengan harga tidak terlalu tinggi," kata Soekarno Wirokartono, Deputi Fiskal dan Moneter Bappenas, yang termasuk penggodok konsep LPN.
Nah, sederet skenario ekonomi kerakyatan ini memicu kecurigaan. Konsep keberpihakan terhadap rakyat dinilai mengarah pada semangat anti-Cina dan anti-pengusaha besar. Apalagi, konsep ekonomi kerakyatan ini agaknya akan diikuti dengan sejumlah undang-undang untuk menjegal konglomerasi. Misalnya, rencana penerbitan UU Antimonopoli atau UU Persaingan Sehat. Ditambah dengan bumbu-bumbu adanya ide mengenai redistribusi aset (penyebaran kembali aset-aset konglomerat kepada pengusaha kecil dan menengah) dan munculnya sejumlah kroni baru antara pejabat dan pengusaha pribumi, makin lengkaplah kecurigaan orang akan gagasan ekonomi kerakyatan ini.
Ada juga yang bersuara, konsep ekonomi kerakyatan hanyalah kendaraan politik. Konon, konsep yang populis ini bisa meraih suara rakyat dan memuluskan langkah Habibie menuju pemilu mendatang. Adi Sasono, tentu saja, membantah kecurigaan tersebut. Dalam wawancara khusus dengan majalah ini (TEMPO, 8 Desember 1998), Adi menilai kecurigaan tadi dihembuskan kelompok yang selama ini menikmati aset nasional tanpa cara yang sehat. ''Yang saya perjuangkan itu rakyat. Bukan Golkar," katanya berkilah.
Adi Sasono dan tim ekonomnya melihat, selama 32 tahun, kesempatan berusaha pengusaha kecil dijegal konglomerat dan ''klan Cendana". Akibatnya, timbul ketimpangan struktural yang parah. Perbandingannya, ibarat Daud melawan Goliath. Dengan posisi yang tak imbang itu, kalau sekarang dipertarungkan dalam mekanisme pasar, pengusaha kecil pasti kalah. Keberpihakan pemerintah pada pengusaha kecil, bagi Sutrisno Iwantono, Staf Ahli Menkop Bidang Pengembangan Iklim Usaha, tak bisa dielakkan. ''Ini adalah upaya mengoreksi ketimpangan struktural yang sudah parah," kata Sutrisno. Dengan koreksi itu, diharapkan posisi tawar pengusaha lemah bakal meningkat. Dan, kalau sudah saatnya, mereka siap bertarung secara fair dengan mekanisme pasar.
Apa pun jawaban tim ekonom Adi Sasono, pro-kontra masih terus berlanjut. Ini terutama disebabkan, sampai kini belum ada penjabaran ekonomi kerakyatan secara gamblang. Kepada TEMPO, seorang fund manager di lembaga sekuritas asing bercerita, kliennya—investor di 50 negara—sangat berminat berdiskusi jarak jauh atau teleconference dengan pejabat yang bisa menjelaskan secara detil ekonomi kerakyatan. Sayangnya, niat tersebut gagal dilaksanakan. Beberapa pejabat yang dihubungi menolak berkomentar karena tidak tahu persis duduk perkara ekonomi kerakyatan. Sementara itu, Adi Sasono telanjur mengeluarkan pernyataan yang bernada defensif, ''Siapa yang melawan ekonomi kerakyatan, berarti melawan rakyat." Akhirnya, niat teleconference pun dibatalkan. ''Khawatir dicap melawan rakyat," kata fund manager tadi.
Sebenarnya, tak seorang pun bisa menyangkal bahwa tujuan ekonomi kerakyatan sungguh mulia. Tapi, dari segi teknis, ide besar ini memang punya banyak celah yang terasa bertentangan dengan mekanisme pasar. Rino Agung Effendi, Kepala Ekonom Danareksa Securities, mempertanyakan klasifikasi apa yang membuat pengusaha A layak diberi kredit murah dan pengusaha B tidak layak. Menurut Rino, celah ini bisa berubah menjadi lahan baru kolusi dan yang menjadi korban tak lain adalah pengusaha kecil. Pengusaha kecil yang selama ini justru tahan banting di tengah krisis, akibat intervensi pemerintah yang berlebihan, malah bisa terbunuh potensi kemandiriannya.
Ketimbang mengguyur subsidi yang berbau sedekah, Rino lebih memandang perlunya pengembangan iklim usaha yang sehat. Misalnya, pemangkasan izin usaha yang sampai puluhan macam atau bersungguh-sungguh mengikis pungutan liar di berbagai instansi. Banyaknya pungutan ini menandakan masih tidak berdayanya penegakan hukum. Padahal, ketidakpastian hukum inilah yang sangat berperan penting memandulkan iklim usaha, yang membuat rakyat tanpa kedudukan dan koneksi selalu kalah. Dibandingkan dengan berbagai kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme, ''Ketidakpastian hukum adalah dosa terbesar Soeharto," kata Rino.
Obral subsidi juga dipersoalkan oleh Lin Che Wei, Kepala Riset Socgen Securities. Menurutnya, pemerintah tak punya data yang memadai untuk menyalurkan dana kredit. Motor penggerak bisnis di setiap pelosok, misalnya, tak cukup dipunyai. Sehingga, sangat mungkin penyaluran kredit akan salah arah. ''Lagipula, sampai kapan pun, yang namanya mengarbit tidak akan berhasil bagus," katanya.
Rupanya keberatan yang berkepanjangan itu ditanggapi pemerintah. Dalam sebuah pertemuan dengan ekonom-ekonom kondang, pekan lalu di Jakarta, para menteri ekonomi menjamin bahwa penjabaran ekonomi kerakyatan tak akan keluar dari rel sistem pasar. Intervensi akan dipilih yang berkualitas dan hanya dilakukan bila memperbaiki kehidupan ekonomi.
Walhasil, kita cuma bisa berdoa, mudah-mudahan saja, janji itu bisa dipegang. Amin.
Mardiyah Chamim, Dewi Rina Cahyani, Nurur Rokhmah Bintari
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini