Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Lompatan Harga Tahun Kelinci

Ramalan inflasi tahun depan berkisar antara 15 dan 30 persen. Tapi semua itu tergantung pada kadar ketakstabilan politik yang masih tinggi. Kalau tak stabil, inflasi bisa melesat tinggi.

4 Januari 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TARIK urat belakangan ini banyak mewarnai suasana pasar. Misalnya, di Pasar Induk Cipinang, Jakarta, seorang pembeli ngotot harga telur ayam kemarin masih Rp 7.500 per kilogram. "Kok bisa, sekarang sekilonya Rp 8.000," katanya sengit. Ratno, si penjual, ganti bersikeras bahwa tiap hari harga bisa berubah, apalagi di tengah melonjaknya kebutuhan telur ayam untuk merayakan Natal, Tahun Baru, dan Lebaran. Kalau tak cocok, Ratno berkomentar santai, "Ya, sudah. Beli saja sama yang kemarin." Begitulah, harga berbagai komoditi?terutama sembilan bahan pokok? bergolak sepanjang 1998. Yang paling heboh adalah fluktuasi harga beras, komoditi yang jadi gantungan pokok 200 juta rakyat Indonesia. Pertengahan 1997, harga rata-rata beras hanya Rp 1.250 per kilogram. Tapi, awal Desember lalu, harganya melonjak hampir tiga kali lipat: Rp 3.400 per kilogram. Di tengah rumitnya krisis ekonomi, kenaikan harga beras menjadi beban yang tak ringan. Lonjakan harga sembako juga berandil besar dalam menggelembungkan angka inflasi. Maklum, daya beli masyarakat anjlok dan terfokus untuk pembelanjaan sembako. Para ibu rumah tangga dipaksa lihai bersilat mengatur kas dapur yang kian tipis. "Gaji suami cuma Rp 200 ribu sebulan, mana sanggup belanja macam-macam," kata Sumarni, warga Rawamangun, Jakarta, yang suaminya menjadi satpam di sebuah kantor di Jakarta. Buah-buahan, kue, apalagi susu?untuk memupuk pertumbuhan kedua anaknya?sudah lama dilupakan. "Masih bisa makan nasi saja sudah bagus," katanya. Sampai November, Biro Pusat Statistik (BPS) mencatat angka kumulatif inflasi 75,14 persen. Ini berarti, dibandingkan dengan tahun 1997, nilai rupiah terhadap harga barang melorot hingga tinggal 57 persen. Bila Anda bergaji satu juta rupiah, misalnya, nilai riil gaji itu tinggal Rp 570 ribu. Nah, bisa dibayangkan, berapa nilai riil gaji yang Rp 200 ribu, atau bahkan di bawahnya. Tak aneh jika jumlah orang miskin di Indonesia kini membengkak menjadi 60 juta, tiga kali lipat dari tahun lalu. Bagi pemerintah, inflasi 75,14 persen sebenarnya tergolong "prestasi". Tadinya, banyak pengamat meramal inflasi 1998 bakal menembus angka keramat 100 persen. Malah banyak yang meramalkan adanya hyperinflation. Wajar saja, sepanjang tahun lalu, badai krisis ekonomi bertiup kencang. Ditambah dengan berbagai gejolak politik dan kerusuhan massa, badai krisis terasa kian dahsyat. Kekhawatiran hiperinflasi merebak seirama terbantingnya kurs rupiah. Namun perkiraan tersebut ternyata tak terbukti. Sejak Oktober, laju inflasi cenderung melemah. Target inflasi 80 persen hingga akhir tahun, tampaknya, akan tercapai. Bagaimana mengendalikan inflasi? Resepnya, menurut pemerintah, adalah kebijakan suku bunga tinggi. Bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang dikerek tinggi?pernah mencapai 70 persen lebih?dinilai amat berkhasiat. Masyarakat berbondong-bondong membeli SBI atau mendepositokan uang mengejar bunga simpanan di bank yang juga ikut melejit. Dengan begini, rupiah yang beredar dikeringkan hingga inflasi bisa ditekan. Namun tidak demikian pendapat para analis. Menurut Raden Pardede, ekonom senior Danareksa Securities, inflasi di Indonesia tak berkaitan dengan tingkat suku bunga. "Kuncinya ada di kestabilan rupiah," kata Raden. Begitu kurs dolar naik, otomatis nilai barang yang dibutuhkan untuk berproduksi?terutama yang impor?jadi terdongkrak. Padahal, hampir tak ada komoditi yang 100 persen terbebas dari bahan impor. Produk pertanian seperti padi atau jagung pun tergantung pupuk, yang sebagian besar unsur kimianya masih diimpor. Inflasi juga disulut dari kenaikan harga barang lokal yang laku di luar negeri (tradeable goods). Suara senada juga muncul dari Rizal Bambang Prasetijo, Direktur Riset Jardine Fleming Nusantara. Menurut Rizal, ketergantungan perekonomian kita pada impor begitu tinggi. "Nah, dolarisasi yang parah ini yang membuat inflasi jadi melambung," katanya. Dan, ketika rupiah stabil di level Rp 7.000-Rp 8.000, gejolak inflasi juga turut adem. Lalu, bagaimana perkiraan inflasi 1999? Ada banyak versi dengan beragam asumsi. Tim Bappenas?yang menyusun Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 1999?berharap inflasi bakal turun di kisaran 15-20 persen. Target ini sejalan dengan penurunan bertahap tingkat suku bunga. Miranda S. Goeltom, Direktur BI, memastikan tingkat suku bunga perlahan-lahan akan dipangkas. "Bunga SBI bisa 30 persen atau lebih rendah pada Maret nanti," kata Miranda. Nah, tentu saja, idealnya angka inflasi ada di bawah 30 persen. Suara lebih optimistis muncul dari Menteri Keuangan Bambang Subianto, yang yakin bahwa inflasi bakal di bawah 15 persen. "Syaratnya, tidak ada gejolak kenaikan harga barang dan tetap terkendalinya peredaran uang," katanya. Sementara itu, berbagai perusahaan sekuritas yang dihubungi TEMPO memprediksi inflasi antara 15 dan 30 persen (lihat Tabel). Umumnya, yang jadi patokan prediksi inflasi adalah nilai rupiah yang diyakini lebih stabil pada tahun 1999. Tapi, meskipun inflasi diyakini bergerak lebih kalem, tetap ada berbagai faktor yang bisa memicunya untuk melaju lebih cepat. Menurut Lin Che Wei, Kepala Riset Socgen Securities, setidaknya ada dua faktor potensial pemacu inflasi. Pertama, pemerintah akan menghapus berbagai subsidi, terutama listrik dan minyak. Kedua, berbagai barang?yang selama ini sebagian masih menghabiskan stok sebelum krisis?bakal habis dan harus diimpor dengan kurs dolar yang baru. Dengan kondisi tersebut, Che Wei memperkirakan, "Inflasi di paruh kedua tahun 1999 bakal melesat tinggi." Ada lagi faktor penting yang tak bisa diabaikan: tingginya ketidakpastian politik. Ini menjadikan seluruh prediksi inflasi 1999 harus disertai catatan: bila kestabilan politik terjaga. Rangkaian pemilu (Juni), pemilihan presiden dan wakilnya, dan Sidang Umum MPR adalah tiga agenda penting yang ditunggu-tunggu para pelaku ekonomi. Bila semua itu bisa terlampaui dengan aman, Indonesia bakal bisa melangkah ke arah recovery perekonomian. Tanpa kestabilan, rasanya kita harus bersiap-siap menerjang badai krisis yang lebih lama. Mardiyah Chamim, Mustafa Ismail, Agus Hidayat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus