APAKAH IBM akan menutup usahanya di Jakarta? Inilah pertanyaan
yang sedang ramai ditunggu kalangan bisnis. Sampai minggu lalu
hanya perusahaan IBM Indonesia -- yang berinduk di AS - masih
'ngotot' mempertahankan eksistensinya yang sekarang. Sementara
UU No. 6/1968 tentang PMDN jelas menetapkan 31 Desember 1977
sebagai batas waktu pengalihan usaha dagang ke tangan nasional.
Tak kurang dari 19 perusahaan dagang asing yang terkena
peraturan tersebut di samping IBM, antara lain Unilever, BAT,
Dunlop dan Hoechst. Pekan lalu PT Ericson Indonesia dan PT
Siemens Indonesia sudah pula menyusul. Kini tinggal IBM saja
yang belum mau. Apa sebabnya?
IBM (International Business Machine) Corp. yang beroperasi di
126 negara - rupanya tak pernah memberikan keagenannya. Juga di
Perancis dan Jepang yang terkenal fanatik. Hanya di Jepang ada
pembatasan bahwa komputer yang boleh mereka jual terbatas pada
yang belum bisa diprodusir di dalam negeri. Merasa sejak lama
menganut dan dibiarkan melakukan cara berdagang seperti itu,
agaknya pihak pusat IBM di AS tak ingin membuat preseden dengan
menyerahkan keagenan mereka pada perusahaan nasional di
Indonesia. IBM mulai bergerak di Indonesia sejak tahun 1937,
dengan menyediakan mesin-mesin kantor, dan sejak 1957 - seperti
halnya di banyak negara lain berhasil merebut pasaran dengan
tenang.
Cara beroperasinya di Indonesia memang, menarik untuk
dipertanyakan.
Kontrak yang berlangsung antara para langganan di Indonesia itu
langsung dilakukan dengan kantor pusat Bukan dengan Indonesia
Dengan sendirinya komputer yang disewakan itu bukan milik
perwakilan di sini, tapi milik IBM Corporation. Penyewa juga
diharuskan membayar bea masuk, ongkos pengangkutan, pengepakan
serta biaya asuransi. Biaya pemasangan komputer pun menjadi
tanggungan penyewa, hingga PT Asuransi Jiwasraya misalnya, awal
tahun ini terpaksa mengeluarkan sekitar Rp 175 juta untuk bisa
menyewa komputer IBM System 70. Dengan demikian kedudukan PT
IBM yang berkantor di Wisma Metropolitan, Jl. Jenderal Sudirman
Jakarta itu - seperti kata beberapa penyewanya -- bertindak
selaku perantara saJa.
Khawatir
Timbul pertanyaan, apa akibatnya kalau tokoh IBM memutuskan
untuk angkat kaki dari sini. Apakah tindakannya itu tak akan
membuat sulit para langganan? Mesin IBM saat ini menguasai 60%
dari pasaran komputer di Indonesia. Langganannya sebagian besar
(kurang lebih 80%) adalah instansi-instansi pemerintah.
Perusahaan seperti Pertamina misalnya adalah contoh langganan
terbesar di Indonesia.
Pekan lalu kepada TEMPO ir Trisulo, direktur Eksploitasi &
Produksi Pertamina mengakui "akan sulit kalau IBM sampai menarik
diri." Sebabnya adalah dana besar yang dibutuhkan bila kita
sampai harus membeli komputer sendiri. Itupun bisa ketinggalan
mengingat perkembangan teknologi yang demikian cepat. Tapi kata
Trisulo pula, "kalau itu sudah jadi policy pemerintah, harus
kita amankan." Herman Syaftari, dir-ut Jiwasraya juga
berpendapat serupa.
Tapi ir Rudy J Pesik (36), veteran IBM Indonesia yang kini
berdiri sendiri, punya pendapat lain. Pesik, kini dir-ut PT
Aliansi Telekomunikasi & Informatika Utama tak mengelak bakal
timbul kesulitan jika IBM sampai pergi. "Tapi itu bukan
kesulitan yang tak terpecahkan," katanya. Juga duduk sebagai
ketua harian Ipkin (Ikatan Pemakai Komputer Indonesia), dia
menopang pendapatnya dengan hasil survei Ipkin belum lama
berselang. Namun dia juga beranggapan kerjasama dengan IBM harus
diteruskan untuk penyediaan suku cadang serta untuk latihan cara
penggunaan model-model komputer baru.
Namun begitu, kekhawatiran para langganan mungkin juga tak akan
terjadi. Dalam edaran persnya, PT IBM Indonesia menyatakan
sedang dilanjutkan perundingan dengan pemerintah untuk mencari
jalan keluar yang menyenangkan kedua pihak. Bagaimana hasil dari
medan perundingan itu baiknya kita tunggu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini