Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Main Lempar Di Panjang

Kapasitas bongkar muat di pelabuhan panjang terbatas 30-50 ton/jam. emka (ekspedisi bongkar muat kereta api) memuat 15 ton/jam. maka terjadi kejaran waktu, sehingga muatan dilempar begitu saja.

22 Oktober 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEKERJAAN bongkar-muat dan ekspedisi di pelabuhan kita biasanya cukup dengan EMKL Kekecualian terdapat di Panjang, karena EMKA pun hadir mengimbangi EMKL. Akibatnya, sungguh semrawut, seperti Kas Kopkamtib Sudomo pernah melihatnya September kemarin. Tapi jika dicari siapa yang salah, maka orang akan menjumpai bahwa itu adalah urusan sesama keluarga di lingkungan Departemen Perhubungan. Sudah bertahun-tahun, dan sudah terbiasa begitu. Panjang adalah pelabuhan ekspor dari Lampung. Di lingkungan pelabuhannya terdapat stasiun kereta-api, dan kapal milik PJKA pun teratur merapat di dermaganya. Sudah menjadi kenyataan bahwa kapal PJKA itu merupakan sambungan lin kereta-api antara Sumsel dan Jakarta via Merak di ujung Jawa Barat. Meskipun begitu, ia bukanlah pelabuhan PJKA, tapi perusahaan ekspedisi & bongkar-muat (EMKA) kereta-api yang dominan di situ, sedang semestinya EMKL. Kapal PJKA trayek Panjang-Merak mundar-mandir dua kali sehari, mel11bawa penumpang dan barang dagangan yang selalu berlebihan. Walaupun hari-hari terakhir ini sudah ada pula tambahan ferry (SDF) yang menghubungi Panjang-Merak, kapal PJKA masih tetap padat dan sarat. (Berbeda dengan di Panjang, PJKA memiliki pelabuhan sendiri di Merak). Tontonan Gratis Minggu lalu pumpinan PJKA mengulang peringatannya supaya kapal PJKA hanya boleh maximum mengangkut 200 ton setiap rit. Menurut Badan Penguasa Pelabuhan Panjang, kapasitas bongkarmuat di dermaganya sekitar 30 - 50 ton/jamnya. Tapi khusus kapal PJKA seyogianya dengan kapasitas 15 ton/jam. Jika cuma tersedia 5 jam untuk bongkar-muat bagi kapal PJKA, maka cuma 75 ton bisa dilakukan secara wajar. Karena batas maximumnya tinggi - 200 ton, maka terjadilah suasana yang tak wajar dalam cara bekerja EM KA, terutama untuk mengejar waktu. Mereka main lempar saja. Selalu orang mengeluh karena barangnya jadi rusak. Mau claim sama siapa? Tidak pula selalu terjamin bahwa pemuatannya di kapal sesuai dengan petunjuk. EMKA tidak terikat pada persyaratan EMKL. Dan EMKA memang bukan untuk perhubungan laut. Maka suasana main lempar itu rupanya selalu menjadi tontonan gratis Adpel Adolf Hutabarat dari serambi kantornya di Panjang setiap hari. "Sayabayangkan seperti keadaan mau perang saja," berkata Hutabarat kepada TEMPO. Bila dilihatnya manusia menaiki kapal PJKA berjubel, dia membayangkan pula apakah jumlah pelampung tersedia cukup bila terjadi sesuatu di laut. "Saya selalu berdoa," katanya lagi. "Ya Tuhan, janganlah sampai karam kapal ini." Tahun lalu, Dephub sudah membentuk satu tim mempelajari kasus Panjang ini. Rupanya antara Ditjen Perla (laut) dan Ditjen Perda (darat) masih belum menemukan ketegasan tentang batas wewenang masing-masing. Buat sementara Adpel Hutabarat menonton saja.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus