PEKERJAAN bongkar-muat dan ekspedisi di pelabuhan kita biasanya
cukup dengan EMKL Kekecualian terdapat di Panjang, karena EMKA
pun hadir mengimbangi EMKL. Akibatnya, sungguh semrawut, seperti
Kas Kopkamtib Sudomo pernah melihatnya September kemarin. Tapi
jika dicari siapa yang salah, maka orang akan menjumpai bahwa
itu adalah urusan sesama keluarga di lingkungan Departemen
Perhubungan. Sudah bertahun-tahun, dan sudah terbiasa begitu.
Panjang adalah pelabuhan ekspor dari Lampung. Di lingkungan
pelabuhannya terdapat stasiun kereta-api, dan kapal milik PJKA
pun teratur merapat di dermaganya. Sudah menjadi kenyataan bahwa
kapal PJKA itu merupakan sambungan lin kereta-api antara Sumsel
dan Jakarta via Merak di ujung Jawa Barat. Meskipun begitu, ia
bukanlah pelabuhan PJKA, tapi perusahaan ekspedisi &
bongkar-muat (EMKA) kereta-api yang dominan di situ, sedang
semestinya EMKL.
Kapal PJKA trayek Panjang-Merak mundar-mandir dua kali sehari,
mel11bawa penumpang dan barang dagangan yang selalu berlebihan.
Walaupun hari-hari terakhir ini sudah ada pula tambahan ferry
(SDF) yang menghubungi Panjang-Merak, kapal PJKA masih tetap
padat dan sarat. (Berbeda dengan di Panjang, PJKA memiliki
pelabuhan sendiri di Merak).
Tontonan Gratis
Minggu lalu pumpinan PJKA mengulang peringatannya supaya kapal
PJKA hanya boleh maximum mengangkut 200 ton setiap rit.
Menurut Badan Penguasa Pelabuhan Panjang, kapasitas bongkarmuat
di dermaganya sekitar 30 - 50 ton/jamnya. Tapi khusus kapal PJKA
seyogianya dengan kapasitas 15 ton/jam. Jika cuma tersedia 5 jam
untuk bongkar-muat bagi kapal PJKA, maka cuma 75 ton bisa
dilakukan secara wajar. Karena batas maximumnya tinggi - 200
ton, maka terjadilah suasana yang tak wajar dalam cara bekerja
EM KA, terutama untuk mengejar waktu. Mereka main lempar saja.
Selalu orang mengeluh karena barangnya jadi rusak. Mau claim
sama siapa? Tidak pula selalu terjamin bahwa pemuatannya di
kapal sesuai dengan petunjuk. EMKA tidak terikat pada
persyaratan EMKL. Dan EMKA memang bukan untuk perhubungan laut.
Maka suasana main lempar itu rupanya selalu menjadi tontonan
gratis Adpel Adolf Hutabarat dari serambi kantornya di Panjang
setiap hari. "Sayabayangkan seperti keadaan mau perang saja,"
berkata Hutabarat kepada TEMPO. Bila dilihatnya manusia menaiki
kapal PJKA berjubel, dia membayangkan pula apakah jumlah
pelampung tersedia cukup bila terjadi sesuatu di laut. "Saya
selalu berdoa," katanya lagi. "Ya Tuhan, janganlah sampai karam
kapal ini."
Tahun lalu, Dephub sudah membentuk satu tim mempelajari kasus
Panjang ini. Rupanya antara Ditjen Perla (laut) dan Ditjen Perda
(darat) masih belum menemukan ketegasan tentang batas wewenang
masing-masing. Buat sementara Adpel Hutabarat menonton saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini