Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namanya Peter, Peter van Dongen, 39 tahun. Kemampuannya, ia sanggup menggambar peristiwa-peristiwa dengan setting enam puluh tahun yang silam, dengan presisi tinggi.
Peter lahir dan dibesarkan di Amsterdam, Belanda. Tapi, jauh di dalam hatinya ada sebuah tempat bernama Hindia Belanda, negeri yang belum pernah dikunjunginya. Di sanalah tanah kelahiran ibunya, dan di sana pula kakeknya gugur dalam Perang Dunia II.
Dalam komiknya, Rampokan Jawa, ia mewakilkan dirinya yang gandrung Hindia Belanda lewat tokoh Johan Knevel. Ya, di Jakarta, Peter van Dongen memamerkan dua karyanya, masing-masing dengan setting Jawa dan Sulawesi: Rampokan Jawa dan Rampokan Celebes. ”Buku tentang Hindia Belanda dan perang kemerdekaan Indonesia berpusat di Jawa. Dan ibu saya pernah tinggal di Makassar,” kata Peter.
Peter mengakui, komik adalah proyek pribadi. Dan ia memang pemuda yang punya keahlian itu. Karya pertamanya, Theatre of Mice (1990), mendapat penghargaan komik terbaik ”Stripschappenning” dari komunitas kartunis Belanda, pada 1991. Delapan tahun kemudian, 1999, ia kembali menerima Stripschappenning dan ”Prix du Lion” di Brussels karena bukunya, Rampokan Jawa. Berikut ini petikan wawancara Tempo dengan Peter.
Orang Belanda mengkritik karya Anda karena dianggap terlalu membela Indonesia. Bagaimana menurut Anda sendiri?
Begini, orang Indonesia yang saya maksud juga menyerang orang Cina, dan Jawa, pada tragedi 1998 setelah Soeharto jatuh. Bagi saya, manusiawi, setiap orang pernah membuat salah. Orang Belanda masih marah terhadap itu dan menjadi kritis mengenai apa yang mereka dengar dari Indonesia. Mereka kesal saya membuat buku era agresi militer. Saya membuka lembaran hitam. Bagi generasi saya, lain, lebih baik dibuka perlahan.
Tentara Amerika yang ke Vietnam dan tentara Belanda yang ke Indonesia adalah penyerang. Dalam cerita, mereka digambarkan dalam sosok antagonis atau lelaki jahat. Makanya, saya mendapat reaksi negatif dari keluarga tentara Belanda yang sudah berperang.
Mengapa Anda membikin karya itu? Nostalgia?
Ya, ini nostalgia, ditambah saya tertarik pada sejarah Belanda-Indonesia yang masih menjadi lembaran hitam bagi sejarah Belanda.
Buku apa saja yang menjadi rujukan karya itu? Buku Pramoedya Ananta Toer?
Saya lupa, mengenai korupsi, perbudakan. Bukan tentang Jawa, tapi bisa menggambarkan bagaimana kehidupan orang Indonesia di masa kolonial.
Tapi, mengapa Anda memilih cerita Belanda di Indonesia?
Karena dunia kehilangan manusia ketika nenek moyang kami datang, makanya saya ungkapkan dalam buku. Saya cinta Indonesia.
Ada banyak latar cerita dari Sulawesi. Bagaimana inspirasi itu tergali?
Ibu saya pernah menetap di Sulawesi, Makassar, pada 1947 hingga 1952. Ia memberi saya ide dengan cerita-ceritanya. Misalnya, ia mengalami saat Makassar dibom Angkatan Laut Indonesia pada Agustus 1950 dan itu akan saya ceritakan pada prolog Rampokan Celebes.
Setelah melihat keadaan Indonesia, apa langkah Anda selanjutnya?
Saya belum pasti, masih mengerjakan subyek mengenai Indonesia, mungkin orang seperti ibu saya yang pergi ke Belanda. Ceritakan secara kilas balik.
Mengapa Anda begitu terinspirasi oleh karya Herge, pembuat komik Tintin itu?
Saya suka cara menggambarnya. Saya lebih terkesan lagi gaya bertuturnya. Karya The Blue Lotus membuka mata saya. Cerita politik, alur menggetarkan, memperlihatkan latar belakang budaya dan pendudukan Jepang di Shanghai selama tahun 1930. Menakjubkan. Gaya bercerita saya lebih modern, dengan penyuntingan cepat dan mungkin lebih rumit.
Apakah Anda puas dengan karya ini? Apa obsesi yang lain?
Saya puas, terutama pada versi Indonesia. Karena saya berasal dari akar Indonesia. Mungkin saya terobsesi, tapi saya seorang penyuka kesempurnaan. Dalam gaya Herge, ada garis-garis tegas di mana kita memperlihatkan detail, tapi sederhana. Pilihan tepat untuk menampilkan gambar.
Kabarnya Anda senang berlibur mengunjungi Padang, Makassar, dan Toraja?
Saya masih berusaha menemukan bangunan di Jakarta dan Bukittinggi yang meninggalkan kenangan pada masa kolonial Belanda. Arsitektur Belanda dari tahun 1920-1930, itu sejarah Indonesia. Berharap anak muda di sini menyukainya juga.
Evieta Fadjar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo