Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Komposisi Utang Luar Negeri Pemerintah dan Swasta Berimbang

Kebutuhan terhadap utang luar negeri (ULN) terus meningkat setiap tahunnya.

25 Januari 2019 | 06.30 WIB

Pemerintah Jamin Kemampuan Bayar Utang Meningkat
Perbesar
Pemerintah Jamin Kemampuan Bayar Utang Meningkat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Kebutuhan terhadap utang luar negeri (ULN) terus meningkat setiap tahunnya. Baik pemerintah maupun swasta mencatatkan kenaikan utang, dengan komposisi yang semakin berimbang. Hingga November 2018, jumlahnya masing-masing mencapai US$ 180,5 miliar untuk milik pemerintah dan US$ 189,35 miliar untuk swasta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

“Penyebabnya utang swasta yang dalam 10 tahun terakhir tumbuh lebih cepat,” ujar Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia Aida Budiman, di Jakarta, Kamis 24 Januari 2019.

Aida menuturkan berdasarkan komposisinya, utang tersebut didominasi oleh utang jangka panjang sebesar 84,8 persen, sedangkan utang jangka pendek terjaga di kisaran 15,2 persen. Kondisi ini menurut dia masih aman, terlebih jika dibandingkan negara-negara peer lainnya. Malaysia misalnya memiliki rasio ULN jangka pendek hingga 45,6 persen, Thailand 41,4 persen, dan India 20,4 persen. “Ini artinya risiko yang dimiliki lebih rendah,” katanya.

Ditinjau dari kemampuan membayar, menurut Aida juga tak perlu dikhawatirkan. Termasuk, dari sisi risiko fluktuasi nilai tukar rupiah beberapa waktu terakhir. “Kepatuhan kewajiban lindung nilai (hedging) pelaku ULN sudah lebih dari 90 persen, sedangkan kepatuhan terhadap rasio kewajiban likuiditas sudah 88 persen, tinggal mereka kelola dan lanjutkan dengan terkendali,” ucapnya.

Sedangkan, perihal ketersediaan dolar Amerika Serikat (AS) maupun valuta asing lain untuk memenuhi kebutuhan pembayaran utang jatuh tempo juga dirasa tak ada masalah. “Itu nanti mekanisme pasar yang berlaku, lagipula dengan hedging minimal 25 persen dari kewajiban itu sudah ada.”

Deputi Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia Riza Tyas menuturkan meskipun jumlah ULN pemerintah maupun swasta meskipun meningkat, penggunaannya diperuntukkan untuk hal-hal yang produktif. “Kalau korporasi bisa untuk modal kerja atau untuk kebutuhan investasi, atau untuk belanja modal (capex),” ujarnya.

Adapun untuk jangka pendek menurut dia biasanya digunakan untuk kebutuhan modal kerja, dan jangka panjang untuk investasi. “Korporasi secara total pasti menyesuaikan dengan kemampuan likuiditasnya supaya tidak ada mismatch juga dari sisi kurs.”

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pun memastikan dari sudut pandang pemerintah, pengelolaan utang digunakan untuk kebutuhan produktif dan mendorong pertumbuhan perekonomian. “Utang adalah alat yang kami gunakan secara hati-hati dengan bertanggung jawab, dibicarakan secara transparan, bukan tiba-tiba, dan tidak ugal-ugalan,” katanya.

Sri Mulyani membantah jika kondisi utang saat ini dianggap membahayakan. Dia membandingkan dengan indikator rasio seluruh utang Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang di bawah 30 persen. “Coba bandingkan dengan negara yang sama dengan kita income-nya, negara yang lebih maju, lebih miskin, rasio kita tidak terlalu tinggi,” ujarnya.

Negara ASEAN lainnya seperti Malaysia memiliki rasio utang terhadap PDB sebesar 50,9 persen, Thailand 41,8 persen, Vietnam 61,5 persen, dan Filipina 42,1 persen.

Ekonom Center of Reform on Economics Piter Abdullah menambahkan indikator kesehatan utang, sebenarnya tak hanya dilihat dari rasionya terhadap PDB. “Ada rasio utang terhadap service dan ekspor, artinya berapa banyak dolar yang kita hasilkan yang digunakan untuk membayar tinggi,” katanya.

Menurut Piter, selama ini kebutuhan dolar AS banyak terkuras untuk memenuhi permintaan pembayaran utang. “Hampir separuh lebih dari neraca transaksi ekspor kita digunakan untuk membayar utang, risikonya adalah tekanan ke rupiah yang lebih besar,” ujarnya.

Di sisi lain, Piter mengungkapkan dorongan swasta untuk menambah utang luar negeri juga semakin terbuka tahun ini. “Insentifnya cukup besar karena kan suku bunga di luar lebih rendah dibandingkan dengan di domestik, sehingga mereka mendapat keuntungan ketika melakukan ULN,” katanya.

 

Ghoida Rahmah

Bergabung dengan Tempo sejak Agustus 2015, lulusan Geografi Universitas Indonesia ini merupakan penerima fellowship Banking Journalist Academy batch IV tahun 2016 dan Banking Editor Masterclass batch I tahun 2019. Pernah menjadi juara Harapan 1 Lomba Karya Jurnalistik BPJS Kesehatan di 2016 dan juara 1 Lomba Karya Jurnalistik Kategori Media Cetak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2021. Menjadi Staf Redaksi di Koran Tempo sejak 2020.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus