Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Konflik Nikel Tanah Kawei

Dua perusahaan berebut wilayah kuasa pertambangan di Raja Ampat, Papua Barat. Rumit karena melibatkan aparat dan masyarakat adat.

29 Agustus 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NIKEL mengoyak kedamaian Pulau Kawei. Suhu di pulau yang terletak di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat, ini memanas. Pemicunya, PT Anugerah Surya Indotama dan PT Kawei Sejahtera Mining saling klaim sebagai pemilik sah kuasa pertambangan. Suasana genting lantaran kedua perusahaan memanfaatkan dukungan masyarakat adat setempat.

Anugerah, perusahaan yang bermarkas di Menara BCA, Jalan M.H. Thamrin, Jakarta, mendapat izin eksplorasi tambang dari Bupati Raja Ampat Marcus Wanma pada Maret 2004. Pada saat yang hampir bersamaan, Oktober 2004, Kawei Sejahtera, korporasi yang berkantor di Jalan Pangeran Diponegoro 22, Rufei, Sorong, Papua Barat, mengantongi izin dari Gubernur Irian Jaya Barat Jacobus Perviddya Solossa.

Berdasarkan izin tersebut, kedua perusahaan sudah melakukan kegiatan. Anugerah telah melakukan eksplorasi dan pengeboran di dua titik. Sedangkan Kawei sudah melakukan penggalian di satu blok, dengan produksi nikel sekitar 50 ribu ton siap dikirim ke Cina.

Sengketa kedua perusahaan kini sudah masuk ke meja hijau. Mereka memperkarakan keabsahan izin pertambangan di Pengadilan Tata Usaha Negara Jayapura, Papua. Kawei Sejahtera memperkarakan surat izin bupati buat Anugerah. Dalam sidang Kamis pekan lalu, majelis hakim memutuskan Kawei Sejahtera memenangi gugatan. "Kami menang," kata Johnson Panjaitan, kuasa hukum Kawei, kepada Tempo di Jakarta akhir pekan lalu.

Anugerah tidak tinggal diam. Yos Hendri, Presiden Direktur PT Anugerah Surya Pratama, induk usaha Anugerah Surya Indotama, menyatakan perseroan akan mengajukan permohonan banding. Berkas perlawanan sudah diserahkan Rabu pekan lalu. "Ada kejanggalan dan banyak bukti kami dikesampingkan hakim," ujar Yos.

Dua perusahaan itu memperebutkan konsesi pertambangan seluas 9.700 hektare di Pulau Kawei. Kawasan itu diperkirakan memiliki kandungan nikel 50-100 juta metrik ton. Logam ini diperkirakan habis dalam waktu 100 tahun lagi. Sekarang para pembeli di luar negeri sedang giat-giatnya mengimpor nikel dari Indonesia. Pembeli berpacu dengan waktu sebelum 2014. Pada saat itu, larangan ekspor bahan tambang belum-diolah diberlakukan.

Pulau Kawei memanas sejak awal Juli lalu. Ketika itu tersiar kabar Johnson Panjaitan disandera polisi dari kesatuan Brigade Mobil Kepolisian Resor Raja Ampat. Bekas aktivis Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia ini sedang berusaha menutup kegiatan eksplorasi Anugerah. Ia berpatokan pada penetapan Pengadilan Tata Usaha Negara Jayapura, yang memerintahkan kegiatan pertambangan Anugerah dihentikan hingga perkara sengketa berkekuatan hukum tetap.

Suasana di Pulau Kawei semakin genting lantaran masing-masing kubu memanfaatkan dukungan masyarakat adat setempat. Anugerah didukung Bupati Marcus Wanma dan kepolisian resor setempat. Anugerah juga telah melakukan upacara adat "ketuk pintu" dengan menyetor uang tanda persahabatan Rp 30 juta. Uang ini diberikan kepada masyarakat Desa Saleyo, Teluk Manyailibit, sebagai pemilik tanah adat hak ulayat. "Kami sudah diterima secara adat," kata Haryanto, Komisaris Utama Anugerah.

Sebaliknya, Kawei Sejahtera mendapat dukungan dari masyarakat adat Pulau Kawei di bawah pimpinan ketua adat suku Kawei, Korinus Ayello. "Mereka pemilik sah ulayat Pulau Kawei," kata Johnson. Saat menyambangi Raja Ampat, Johnson dan Kawei Sejahtera meminta pengawalan dua anggota Brigade Mobil dari Kelapa Dua, Depok. "Saya memang minta pengawalan resmi," ujar Johnson. Ia mengaku akan dibunuh dan dianggap provokator oleh masyarakat adat Raja Ampat.

Anugerah membantah cerita ini. Yos menuding Johnson melakukan insinuasi berita di media massa. "Bagaimana mungkin kami menyandera? Johnson kan dikawal dua anggota Brimob Depok," ujar Yos. Johnson, ujar Yos, hanya mendramatisasi peristiwa yang dialaminya ke media massa seolah-olah menjadi teraniaya dalam sengketa ini. Kepolisian Daerah Papua juga membantah ihwal penyanderaan itu. "Tidak benar," kata juru bicara Polda Papua, Komisaris Besar Wachyono.

l l l

SALING tuding menjalar ke masalah lain. Anugerah menuding Kawei Sejahtera diam-diam menjalin kemitraan dengan PT Ricobana Abadi. Perusahaan milik Kentjana Widjaja ini berkantor di Jalan Majapahit Nomor 26, Gedung Centrum, Jakarta. "Ada Kentjana di balik perusahaan itu (Ricobana)," kata Haryanto.

Bagi sebagian pengusaha, nama Kentjana tak asing lagi. Dia sudah lama berbisnis. Kentjana juga bermitra dengan Tommy Soeharto mengelola Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC) dan menjalankan tata niaga cengkeh 21 tahun silam. Kejaksaan pernah menghitung kerugian negara akibat BPPC sekitar Rp 3 triliun. Dana yang raib antara lain Kredit Likuiditas Bank Indonesia dan dana milik petani cengkeh.

Kawei Sejahtera didirikan Daniel Daat dan kawan-kawannya. Daniel menjabat direktur utama. Daniel menggandeng Kentjana karena butuh duit gede buat mengeksplorasi tambang. Menurut Haryanto, Kentjana tidak masuk struktur pemegang saham Kawei Sejahtera. Izin eksplorasi juga tetap di tangan Kawei Sejahtera. "Ricobana Abadi milik Kentjana menjalankan kapal pengangkutan nikel."

Kentjana kepada Tempo mengatakan Ricobana Abadi hanya merupakan pembeli nikel setelah logam itu ditambang Kawei Sejahtera. "Itu perusahaan orang lain. Yang punya izin (pertambangan) Kawei Sejahtera," kata Kentjana sambil buru-buru memutus hubungan telepon. Bantahan juga datang dari kuasa hukum Kawei Sejahtera, Benyamin Panjaitan dari kantor pengacara Johnson Panjaitan. "Perusahaan ini milik masyarakat adat. Mitranya banyak," ujar dia. Benyamin memastikan tidak ada Kentjana di dalam Kawei Sejahtera.

Sebaliknya, Johnson menuding Anugerah berbisnis dengan dukungan polisi dan tentara. Dalam setiap operasi, dia mengungkapkan, Anugerah dikawal polisi yang tidak hanya bersenjata pistol, tapi juga senjata laras panjang AK-47. Johnson juga menyaksikan ada dukungan tentara berseragam di lokasi pertambangan. "Ada apa ini," kata Johnson.

Menurut Johnson, ada pensiunan jenderal polisi berpengaruh di balik Anugerah. Juga ada pensiunan jenderal tentara yang pernah menjadi pejabat tinggi negara yang membekingi Anugerah. Yos menampik tudingan Johnson. Menurut Yos, Anugerah didirikan Haryanto, pengusaha sekaligus komisaris utama. Haryanto bekerja sama dengan sejumlah insinyur lulusan Institut Teknologi Bandung. "Tidak ada pensiunan jenderal tentara atau polisi," kata Yos.

Persoalan nikel di Pulau Kawei semakin rumit lantaran ada persaingan politik lokal antara Bupati Marcus Wanma dan Daniel Daat. Dua orang ini bersaing ketat dalam pemilihan Bupati Raja Ampat enam tahun lalu. Marcus memenangi persaingan dan menjadi Bupati Raja Ampat. Daniel Daat anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Papua periode 1999-2004 dan 2004-2009 dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Pada periode kedua, Daniel tidak tuntas sebagai anggota Dewan karena mundur dan bertarung dalam pemilihan bupati tadi. Gagal memenangi pemilihan kepala daerah, Daniel mendirikan Kawei Sejahtera.

Kedekatan Daniel Daat dengan J.P. Solossa—meninggal akhir 2005—membuatnya mudah mendapat izin pertambangan dari gubernur sebagai pemegang otonomi khusus Papua. Marcus tak merespons panggilan telepon dan tak menjawab pesan pendek dari Tempo. Daniel Daat juga begitu. Benyamin Panjaitan dari kantor pengacara Johnson Panjaitan mengatakan, "Daniel putra daerah Raja Ampat mendirikan perusahaan (Kawei Sejahtera) demi kesejahteraan masyarakat adat di sana." Konflik nikel di Pulau Kawei tampaknya masih akan panjang.

Sunudyantoro, Jerry Omona (Jayapura)


Ancaman terhadap Kawasan Ekologi Dunia

RAJA Ampat merupakan kawasan ekologi yang sangat penting buat dunia. Kawasan ini mirip Great Barrier Reef di Australia. Raja Ampat berada di tengah kawasan segitiga terumbu karang dunia. Terumbu karang seluas 1,6 miliar hektare yang menembus Filipina sampai Pulau Solomon ini menjadi sumber makanan bagi fauna laut di sana. Itu sebabnya, koran Australia, Sydney Morning Herald, edisi 2 Juli lalu, menyoroti hilir-mudiknya kapal tambang antara Australia dan Raja Ampat.

Kapal itu membawa tanah liat dengan kandungan nikel dan kobalt yang ditambang oleh PT Anugerah Surya Indotama. Kapal-kapal itu menuju perusahaan Queensland Nickel milik jutawan Australia, Clive Palmer. Yos Hendri, Presiden Direktur PT Anugerah Surya Pratama, induk usaha Anugerah Surya Indotama, menyatakan tidak mengerti topik yang diberitakan oleh media Negeri Kanguru itu. "Saya pernah dikontak, tapi waktu itu saya sedang di luar negeri," ujarnya di Jakarta, Selasa lalu.

Para aktivis lingkungan dan ilmuwan Australia memprotes penambangan nikel lantaran mengancam ekosistem bawah laut paling berharga di dunia itu. "Saya sedih mereka menambang tanpa melakukan studi lingkungan yang benar," kata Charlie Veron, bekas kepala ilmuwan dari Australian Institute of Marine Sciences. Queensland Nickel menolak mengomentari Anugerah Surya, rekanan mereka. "Kami tidak berkomentar urusan bisnis supplier kami," kata juru bicara Queensland Nickel, Mark Kelly, kepada Sydney Morning Herald.

Sunu

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus