Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
BI berencana membeli SBN senilai Rp 150 triliun dari pasar sekunder pada 2025 untuk menjaga stabilitas moneter dan mendukung kondisi fiskal.
Ekonom menilai langkah ini strategis untuk meningkatkan likuiditas dan stabilitas pasar, tapi ada risiko fiskal dan persoalan independensi BI.
Kepemilikan besar BI atas SBN berisiko menambah beban moneter dan mengurangi fleksibilitas kebijakan.
UNTUK menjaga stabilitas fiskal dan moneter tahun depan, Bank Indonesia bersama Kementerian Keuangan sepakat menerbitkan dan membeli Surat Berharga Negara (SBN). Melalui kebijakan ini, BI akan memegang obligasi pemerintah, sedangkan pemerintah memperoleh dana untuk menutupi defisit anggaran. Gubernur BI Perry Warjiyo menyatakan langkah ini bertujuan menstabilkan nilai tukar rupiah di tengah tekanan ekonomi global.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah dan BI mengambil keputusan ini setelah melakukan pembahasan intensif. Perry menyebutkan langkah tersebut telah disepakati bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. "Secara prinsip, kami sudah sepakat mengenai rencana penerbitan dan pembelian SBN dari pasar sekunder sebagai bagian dari operasi moneter," ujarnya dalam pengumuman hasil Rapat Dewan Gubernur BI, Rabu, 18 Desember 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Melalui skema ini, pemerintah akan meminjam langsung dari bank sentral dengan menerbitkan obligasi yang diborong BI. SBN tersebut akan menjadi alat pendanaan penting bagi pemerintah untuk menutupi celah fiskal, sembari menjaga kepercayaan pasar terhadap stabilitas keuangan negara.
Perry menuturkan BI akan membeli lebih banyak SBN dari pasar sebagai strategi pengelolaan utang menjelang jatuh tempo pada 2025. Pada 2025, utang pemerintah yang jatuh tempo mencapai Rp 800,33 triliun. Angka ini terdiri atas SBN atau obligasi pemerintah senilai Rp 705,5 triliun. Sebanyak 92,7 persen dari obligasi tersebut terbit setelah 2014 atau pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo. Ada juga utang yang jatuh tempo tahun depan berupa pinjaman sebesar Rp 94,83 triliun.
Selain itu, sebelumnya Sri Mulyani memperlebar defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara menjadi 2,53 persen dari produk domestik bruto (PDB) atau sebesar Rp 616 triliun. Pembiayaan defisit APBN 2025 akan dipenuhi melalui pembiayaan utang yang secara neto sebesar Rp 775,8 triliun dan pembiayaan nonutang yang secara neto sebesar minus Rp 159,7 triliun. Pembiayaan utang ini akan dilakukan melalui penerbitan global bond, penarikan pinjaman luar negeri dan dalam negeri, serta penerbitan SBN di pasar domestik.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo (ketiga dari kiri) didampingi Deputi Gubernur Senior BI Destry Damayanti (ketiga dari kanan) serta para Deputi Gubernur BI, Doni P. Joewono (kedua dari kiri), Juda Agung (kedua dari kanan), Aida S. Budiman (kiri), dan Filianingsih Hendarta (kanan), berbincang sebelum menyampaikan keterangan pers hasil Rapat Dewan Gubernur BI di Jakarta, 18 Desember 2024. ANTARA/Aprillio Akbar
Sebagai bagian dari strategi pengelolaan utang, BI akan membeli SBN dari pasar sekunder senilai Rp 150 triliun melalui mekanisme bilateral debt switch. Langkah ini memungkinkan pertukaran SBN yang jatuh tempo dengan SBN reguler bertenor panjang untuk mendukung kesinambungan fiskal pemerintah. Mekanisme ini diatur dalam kesepakatan bersama Menteri Keuangan dan BI berdasarkan Surat Keputusan Bersama Nomor 326/KMK.08/2020 dan Nomor 22/8/ KEP.GBI/2020 tanggal 7 Juli 2020 sebagaimana diubah dengan Kesepakatan Bersama Menteri Keuangan dan BI Nomor 347/KMK.08/2020 dan Nomor 22/9/KEP.BI/2020 (SKB II) tanggal 20 Juli 2020, yang akan jatuh tempo pada 2025.
Langkah ini sebetulnya bukan hal baru. Pada masa pandemi Covid-19, pemerintah menerapkan kebijakan burden sharing dengan pembelian SBN di pasar perdana oleh BI untuk mendanai program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Pada 2020, BI membeli SBN senilai Rp 473,42 triliun, yang berlanjut hingga 2021 dengan total Rp 358,32 triliun. Setelah pandemi mereda, kebijakan ini dihentikan untuk menjaga independensi BI dan menghindari potensi tekanan inflasi yang lebih besar. Karena itu, sejak 2021 BI hanya bisa membeli SBN di pasar sekunder.
Namun kebijakan ini bukan tanpa risiko. Ekonom Yusuf Rendy Manilet menilai langkah ini dapat mengoptimalkan likuiditas sistem perbankan, mengendalikan inflasi, serta menstabilkan pasar dan nilai tukar rupiah. Selain itu, kebijakan ini bisa mencegah volatilitas yang bisa merugikan investor.
Meski demikian, menurut Yusuf, BI perlu berhati-hati terhadap eksposur risiko utang yang besar. Sebab, hal ini akan mempengaruhi keseimbangan keuangan bank sentral. "Skema ini tentu perlu dirancang dengan saksama untuk memastikan distribusi beban fiskal yang adil dan berkelanjutan tanpa mengorbankan kredibilitas dan efektivitas kebijakan moneter BI," ujarnya kepada Tempo, Ahad, 29 Desember 2024.
Tanpa pembelian SBN oleh BI, ekonom senior Bright Institute, Awalil Rizky, mengatakan pembiayaan defisit anggaran memang menjadi sulit. SBN yang masih dipegang BI bahkan memberikan jaminan kepada investor, termasuk pihak asing dan bank, sehingga lebih mudah diterima pasar. Namun langkah BI memborong kembali SBN membuat kepemilikan obligasi pemerintah makin melonjak, baik secara nominal maupun persentase terhadap total SBN yang diperdagangkan.
Per 23 Desember 2024, BI memiliki 25,81 persen dari total SBN domestik yang diperdagangkan atau sekitar Rp 1.557,24 triliun. Ditambah dengan SBN yang tidak diperdagangkan, sekitar Rp100 triliun, total kepemilikan BI lebih besar lagi. Dibandingkan kepemilikan pada akhir 2019, BI hanya memiliki Rp 273,21 triliun atau 9,93 persen dari SBN domestik yang diperdagangkan.
"Kepemilikan BI atas SBN sudah telanjur sangat banyak. Semestinya secara perlahan dikurangi, minimal dalam hal porsinya," tutur Awalil kepada Tempo, Ahad, 29 Desember 2024. Sebab, kepemilikan yang besar membuat pemerintah makin bergantung pada dukungan BI untuk pembiayaan defisit anggaran. Hal ini berpotensi mengurangi disiplin fiskal dan menambah beban bagi BI.
Awalil menjelaskan, kepemilikan SBN yang besar mengurangi fleksibilitas BI dalam mengambil kebijakan moneter lain. Kondisi ini juga meningkatkan eksposur BI terhadap risiko pasar, seperti fluktuasi suku bunga atau nilai tukar. Jika terjadi guncangan eksternal, portofolio BI bisa menjadi rentan dan mengancam stabilitas keuangan. Karena itu, BI perlu lebih berhati-hati mengatur eksposur risiko sehingga dapat membatasi opsi dalam mengelola likuiditas dan stabilitas ekonomi.
Ketergantungan pemerintah kepada BI, terutama setelah masa pandemi, menurut Awalil, berpotensi mempengaruhi kredibilitas BI sebagai otoritas independen. Imbasnya, langkah memborong SBN dapat melemahkan kepercayaan pasar keuangan terhadap kebijakan BI. "Independensi BI sudah cukup terganggu sejak masa pandemi. Meski ada pembenaran kondisi darurat, rencana kebijakan 2025 itu sedikit memaksa," ucapnya.
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menuturkan skema debt switch menjadi salah satu opsi memitigasi risiko penerbitan kembali surat utang yang jatuh tempo. Namun ia menegaskan bahwa langkah ini hanya solusi jangka pendek. "Debt switch tidak menyelesaikan masalah utang, tapi hanya menunda jatuh tempo," ucapnya kepada Tempo, Ahad, 29 Desember 2024.
Terlebih Josua berpandangan langkah memperpanjang tenor utang akan meningkatkan total bunga yang harus dibayar. Terutama jika suku bunga di masa depan meningkat. Walhasil, kebijakan tersebut akan membebani pemerintahan yang akan datang.
Selain itu, debt switch bergantung pada kondisi pasar obligasi, termasuk tingkat bunga dan minat investor terhadap SBN pemerintah. Jika kondisi pasar memburuk, Josua memperkirakan ada kemungkinan pemerintah harus menawarkan bunga yang lebih tinggi untuk menarik pembeli.
Karena itu, Josua mendorong pemerintah menerapkan strategi jangka panjang, antara lain dengan memperkuat penerimaan negara, efisiensi belanja, dan kebijakan pro-investasi untuk mengurangi ketergantungan pada utang baru. Rasio utang terhadap PDB juga harus dijaga agar tetap terkendali.
Dosen ekonomi Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, memperingatkan risiko crowding out akibat dominasi SBN dan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia di pasar. Dua instrumen ini kerap menyerap dana investor dari sektor riil dan aktivitas pasar modal sehingga menghambat investasi jangka panjang. Wijayanto menyebut kondisi ini sebagai tanda dehidrasi fiskal, yaitu melemahnya keuangan negara akibat ketergantungan pada utang berbunga tinggi. "Negara berutang ibarat orang haus minum air laut. Makin diminum justru makin haus dan berisiko dehidrasi hingga kematian. Pemerintah dan BI perlu segera mengubah strategi pengelolaan utang agar lebih berkelanjutan," ujarnya. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo