DI satu pihak, ada gagasan -- yang disokong pemerintah --
menggalakkan "koran masuk desa" yang, tentu saja, juga berarti
supaya jangan menumpuk di Jakarta saja. Buat Jakarta, 17
suratkabar harian sudah cukup banyak.
Di lain pihak, masih ada saja seperti Yayasan Dwi Guna berusaha
menerbitkan koran di Jakarta. Dan lahirlah harian Lensa Generasi
mulai 6 Juni, hari lahir Bung Karno.
Departemen Penerangan sudah tidak lagi mengeluarkan Surat Izin
Terbit (SIT) baru. Sejak Kongres PWI 1978 di Padang, ada
pendapat umum bahwa SIT, kalaupun dikeluarkan, hendaknya untuk
daerah yang belum punya koran.
Ternyata koran baru itu menggunakan SIT Lensa dari Lampung
Rupanya dengan gaya baru, ia bisa pindah dari Lampung ke
Jakarta. Dari penyajian beritanya, ia pun bukan koran daerah
lagi, tapi mengarah ke koran nasional.
Sering Ngutang
Gejala ini merupakan tantangan bagi pemerintah dan Serikat
Perusahaan Suratkabar (SPS) yang pekan ini memasuki periode baru
sesudah Kongres ke-16. "Untuk survive (bisa bertahan) di
Jakarta," komentar Zulharman Said, Sekjen SPS yang baru, "kan
juga tidak mudah .... "
Bahwa koran daerah sukar bertahan, itu sudah terbukti. Djamal
Ali, bekas ketua SPS, mengatakan kemampuan koran daerah
tergantung juga pada prasarana seperti percetakan. Di daerah,
percetakan umumnya memang masih lemah, sedang biaya cetaknya
cukup tinggi bagi penerbitan setempat.
Pernah 3 koran Palembang dicetak di Jakarta. Ketiganya malah
bertambah ambruk. Ytu Radar Selatan dan Berita Express, meski
namanya harian, mampu terbit sebulan sekali. Api Pancasila yang
juga dicetak di Ibukota malah padam alias tidak lagi terbit.
Kemudian Letkol M. Ali, Ketua PWI Cabang Palembang, berteriak:
"Kerjasama dengan setan pun jadilah asal kami bisa punya satu
percetakan offset." Bukan hanya Palembang, tempat lain seperti
Aceh, Lampung, Manado, Palu, Ambon, Irian Jaya juga belum
beroffset.
Setelah Manado April lalu meresmikan sebuah Wisma SPS, 7 koran
setempat mogok terbit gara-gara ongkos cetak di Percetakan
Negara naik 100%. Ongkos cetak bagi koran bisa turun, demikian
Jacobus Makawangkel, Kepala Percetakan Negara Manado, kalau
semua barang cetakan Pemda dicetak di tempat. "Boleh saja, asal
jangan sampai kita dijadikan tukang cari order cetak," tukas
Anwar Asrar, Sekretaris SPS Manado yang juga memimpin koran
Warta Utara. Setelah Laksusda pun turun tangan, Makawangkel
hanya menaikkan ongkos cetak sebesar 25% saja.
Percetakan Negara di Aceh juga menaikkan ongkos cetak, meskipun
mesinnya bikinan 1936. "Ongkos cetak yang lama sudah tidak
sesuai," kata T. Bardan, Kepala Percetakan Negara Banda Aceh.
Susahnya, koran-koran itu sering "ngutang sampai 10 kali
penerbitan," tambah Bardan. Akhirnya Aceh Post mencetak di
Medan.
Gara-gara kenaikan ongkos cetak itu, Media Masyarakat di
Banjarmasin yang sudah berusia 14 tahun terpaksa istirahat.
Koran itu berhutang Rp 1 juta kepada Alma Mater Press. Juga
Generasi Muda gulung tikar. Dan S.A. Abdis, Penanggungjawabnya,
kemudian menjadi Manajer La Disco, Bar & Dancing Hall.
Tidak semua koran di Banjarmasin menderita. Ada 5 koran lagi
yang jalan terus, yaitu Banjarmasin Post, Pembabaru, Mingguan
Dinamika, Indonesia Merdeka dan Utama. Mereka punya percetakan
sendiri, malah 3 di antaranya offset.
Hampir sama situasinya dengan Banjarmasin adalah Padang dan
Ujung Pandang. Harian Haluan di Padang kuat bertahan dengan
percetakan sendiri, sementara Singgalang dan Semangat yang
dicetak oleh Percetakan Daerah Unit II belum sepenuhnya mampu
menutup ongkos cetak. Di Ujung Pandang, hanya Pedoman Rakyat
yang sudah punya percetakan sendiri. Penerbitan di Ujung Pandang
lainnya seperti harian Tegas dan mingguan Gema mengalami
kesulitan ongkos cetak. Dari Palu (Sul-Teng), Suluh Nasional
mencetak di Surabaya supaya lebih murah.
Hampir semua Pemerintah Daerah menyisihkan sekian prosen
APBD-nya untuk pengembangan pers daerah. Jumlahnya tidak sama.
Umpamanya Kalimantan Selatan Rp 30 juta, Sumatera Selatan Rp 15
juta. Tapi tidak semuanya dana tadi untuk kegiatan produktif.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini