Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Isi periuk orang betawi

Nasib orang betawi sebagai penduduk asli jakarta ada yang mengungsi ke luar, ada yang bertahan di dalam kota. arus urbanisasi tak bisa di bendung. (sd)

23 Juni 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BANYAK hal yang menarik dari masyarakat Betawi. Sementara mereka meneruskan hidup dengan cara yang lama -- Jakarta makin berubah. Lapangan baru dengan kemungkinan yang lebih baik berkembang. Arus urbanisasi pun tak bisa dibendung. Sering dikhawatirkan penduduk Betawi asli akan merasa asing di daerah kelahirannya sendiri. Tetapi syukurlah mereka memiliki hati terbuka, sehingga sampai sekarang kerukunan dapat dipertahankan. Seperti kata Mutridi bin Maisin, petani salak berusia 70 tahun di Condet, Balaikambang: "Saya tidak merasa terdesak. Orang memang lain-lain, ada yang dari Jawa, Sumatera, Ambon, tetapi sukunya kan sama!" Madjuk, 47 tahun, asal Gandaria Selatan, Jakarta Selatan, sudah sejak belasan tahun yang lalu punya "kereta benhur". Ini istilah baru buat gerobak kuda yang mengangkut bahan-bahan material bangunan dan kadang-kadang juga diisi dengan meubel. Daerah operasinya sampai ke Tebet, Senen atau Kota, yang memerlukan setengah hari perjalanan. Biasanya dilakukan bersama-sama gerobak temannya, sehingga merupakan konvoi. "Yah mulanya seneng juga," kata Madjuk merenungi pekerjaannya. Kongkow-Kongkow Usaha Madjuk mulai terganggu tatkala polisi mengadakan penertiban. Beberapa daerah ditentukan tidak boleh dijamah gerobak. Sementara itu pabrik colt dan honda dari Jepang menyerang terus dengan alat pengangkutan yang lebih praktis. "Kalau kita angkut dari Gandaria ke Pondok Pinang harus Rp 2000 per kubik kayu, colt berani Rp 1.500 Kan payah. Apalagi mereka angkut sejam, kita sampai tiga jam lebih," kata Madjuk sambil mengerenyitkan keningnya. Untuk menahan serangan itu, Madjuk kemudian tidak hanya mangkal di tempat penjualan material. Ia juga nempel di toko meubel. Lemari atau bufet yang tidak bisa ditancap dengan beca, ia oper. Untuk sementara memang lumayan. "Tetapi orang beli perabot kan kagak sehari-hari ada. Malah sering sehari nggak ngangkut," ujarnya. Akibatnya Madjuk terpaksa puter dia punya otak. Walhasil dia putuskan merangkap kerja dengan jual es. Dengan biaya Rp 30 ribu, dibuatnya sebuah warung. "Kalau warung enak, bisa buat kongkow-kongkow," kata Madjuk. Tapi nasib, hanya tiga bulan warung itu gulung tikar. Seperti kebanyakan orang Betawi Madjuk kemudian menoleh kepada "rumah petak"nya. Karena keadaan tambah rawan, coba-coba dikontrakkan. Malang sampai sekarang belum ada yang sudi. Kenapa? Ya biasa, tidak ada yang cocok. Tetangga Madjuk sendiri mulai tidak betah bersebelahan gara-gara kudanya merengek setiap malam. Belum tahi dan kencingnya yang pesing. "Dalam keadaan begitu kuping saya tidak boleh dengerin omongan tetangga, salahsalah bisa berantem," ujarnya. Menjelang lebaran, tahun lalu, akhirnya kereta benhur itu dilego. "Supaya tidak bikin ribut, lagian juga untuk modal," kata Madjuk. Ia dapat Rp 75 ribu. Hutang-hutang dibereskan. Beli sepeda dan pakaian untuk anak-anaknya. Lalu ia mulai bangun pukul 3 subuh, langsung pergi ke Pondok Labu membawa keranjang besar di kiri-kanan sepeda. Dibelinya pepaya, kacang panjang terong, lalu dibawa ke Pasar Cipete. Demikianlah anak Betawi ini menyulap dirinya dari pengusaha gerobak menjadi pedagang sayur. Untungnya bisa mencapai Rp 1.000 sehari."Tapi buat rokok saja sudah Rp 500, dapur Rp 1.000, lama-lama habis aja itu modal," katanya dengan sedih. Kebijaksanaan baru menyusul. Sepeda ditukar dengan yang lebih murah. Uangnya dipakai untuk jualan pisang goreng. Tapi bangkrut juga, karena anak-anaknya ikut nyomot, sehingga dagangan habis dimakan sendiri. Untung ada tetangga ngajak jadi tukang kuli bangunan. Hasilnya dia pakai modal jadi tukang sayur kembali. Ia memborong kebon kangkung Rp 3.500, lalu dijual dan bisa mencapai Rp 6.000. Lumayan juga. Sebagai tambahan kadang-kadang ia memburuh, mengerjakan sawah orang. Sebagai orang Betawi, Madjuk sudah berjuang dan bertahan dengan ulet. Ia juga tidak fanatik. Seandainya Tuhan mengijinkan ia dapat menerima menantu orang mana saja -- tak perlu harus Betawi. Hanya saja, belakangan ini muncul gagasan untuk menjual rumahnya. Ini penyakit umum. Ia ingin mengungsi ke luar kota. Kalau bisa ingin punya tanah sedikit untuk menanam sayur, lalu menyuapi orang-orang di Jakarta dengan daun-daunan segar. Madjuk tentulah bukan orang Betawi pertama yang punya gagasan itu. Barangkali sudah banyak yang mendahuluinya pindah ke luar kota, mencari daerah yang lebih aman buat keluarganya. Satu segi yang menyedihkan buat orang Betawi. Tapi tidak semua orang Betawi seperti Madjuk. Halimah dan suaminya engkong Kasak -- penjual kerak telor, ingin bertahan. "Jual rumah itu malah bikin morat-marit saja. Pegang uang 'kan cepat hilang," ujarnya. Biar bagaimanapun keadaan rumahnya, ia berusaha untuk tetap di tempat. Rumah yang doyong diperbaiki, sambil berusaha, tawakal dan sabar. "Kita memang nggak keturunan orang kaya," katanya. Halimah dan Kasak yang tinggal di bilangan Tanah Abang, sudah hidup bersama selama 50 tahun. Halimah mengaku orang Betawi asli yang dipungut oleh orang Cina. Sedangkan Kasak memang keturunan Tionghoa. Hidup mereka bergantung kerak telor. Untuk itu engkong Kasak yang berusia 80 tahun memang orang yang beken. Sejak zaman Belanda namanya sudah harum dalam bisnis kerak telor. Hanya zaman Jepang ia berhenti. Begitu Jepang pergi dia mengangkat pikulan, kembali. Kerak telor dibuat dari ketan yang direndam seharian. Tambah lada, cabe, bawang goreng, kelapa goreng, vetsin, udang kering dan tentu saja telor. Digoreng di atas anglo kemudian ditaburi bumbu. Harganya Rp 250 satu bungkus. Di sekitar gerbang Jakarta Fair, selalu bisa dijumpai pedagang beginian. "Tapi kerak telor bapak memang mahal sedikit," kata Halimah. Para pengamat kerak telor memang mengatakan telor Kasak rasanya memang lebih enak dari yang lain-lain, karena lebih asli. Ada kerak telor yang disimpan semalam sudah basi. Jualan engkong Kasak dijamin mutunya. Dua puluh tahun lalu ngkong Kasak masih ngider membawa pikulannya, sejak magrib sampai tengah malam. Sekarang ia sudah tidak kuat. Kini dagangan diangkut dengan becak ke Kebon Kacang I dibantu oleh seorang anggota keluarga bernama Unus. Mereka nangkring di samping tukang goreng ayam. "Tengah malam, kalau lampu yang jualan ayam goreng mati, kita juga ikut pulang," kata Halimah. Halimah yang berusia 77 tahun sempat mengandung 12 kali. Tapi karena keguguran, atau meninggal, anaknya tinggal tiga. Semuanya sudah berkeluarga. Sekarang ia punya cucu 15 dan buyut 2. Penghasilan keluarga menurut Halimah lumayan untuk hidup. "Hidup kan Tuhan yang ngatur, kita nggak berkuasa," ujarnya. Demikianlah ia berjualan dengan hati tenang. Kasak sendiri sebenarnya sudah tidak kuat lagi. Ia pernah terkulai di bangku, lalu-byur jatuh ke dalam got karena ngantuk. Untung gotnya kering. Toh orang tua itu selalu berada di pos. "Istilahnya buat pajangan," kata Halimah. "Soalnya banyak langganan senang lihat bapak, ada juga yang suka kasih uang rokok sampai Rp 1.000." Tidak Mampu Halimah dan Kasak hidup pas-pasan. Mereka tinggal dalam sebuah rumah yang selalu kebanjiran kalau hujan. Pada saat-saat seperti itu, kalau ada mobil lewat, Halimah merasa seperti nonton ombak di Cilincing. Ada niat untuk memperbaiki, tapi ia tidak mampu, di samping itu selalu sibuk. "Tak apa, syukur-syukur aja bisa hidup, rumah bocor itu biasa, gedung saja bisa bocor, apalagi yang gubuk," ujarnya menghibur diri. Walhasil, penduduk Betawi ini tetap berada di tempatnya sampai sekarang. Di Condet, seorang pemilik kebon salak bernama Dullah juga berniat untuk bertahan. Lelaki Betawi usia 40 tahun ini mewarisi sekitar 1400 meter tanah --kebon salak dan duku -- dari orang tuanya. Ia pernah merantau ke Indramayu untuk mencari hidup. "Ternyata tidak cocok. Di mana-mana tidak cocok kecuali di Condet," ujarnya. Kenapa? "Yah di sini kita sudah mengenal daerah kita. Bahkan teman-teman yang sudah pindah dari sini, akhirnya cari makannya juga di sini," kata Dullah. Bagi penduduk Betawi yang tinggal di Condet, mungkin bergantung dari kebon salak saja tidak cukup. Kalau musim hujan, salaknya memang bisa menghasilkan sampai dua kali setahun. Tapi kalau panas lebih banyak, kebon tak bisa banyak diharapkan. Untung di situ ada kali. "Jadi kalau hujan, kita hidup dari salak. Kalau panas, kita turun ke sungai mengeduk pasir," kata Mutridi bin Maisin. Selain tidak merasa terdesak, si tua Mutridi juga merasa sangat bangga dengan daerahnya, karena ia merasa gampang mencari makan. "Sekarang keadaan lebih baik, kita tidak lagi digencet Belanda. Meskipun harga beras satu liter Rp 150, cari barang dua liter satu hari bisa. Tapi dulu waktu harga beras hanya 6 sen banyak orang yang tidak makan," katanya mencoba membandingkan. Apa iya?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus