Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sudah empat kali Ariyandi menerima kunjungan Komisi- Pemberantasan Korupsi di kan-tor PT Taspen (Persero), Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Kunjungan pertama dilakukan pada April lalu.
Kepada petugas yang berasal dari Direktorat Pencegahan KPK, Ariyandi menjelaskan alasan perusahaannya mengenakan premi jaminan kematian lebih mahal daripada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan. “Iuran Taspen dan BPJS diatur peraturan pemerintah,” kata Ariyandi, Kepala Desk Hukum Taspen, di kantornya di Cempaka Putih, Kamis, 25 Juli lalu.
Saat itu KPK mulai mengkaji kisruh penyelenggaraan jaminan sosial tenaga kerja yang melibatkan BPJS Ketenagakerjaan dan Taspen serta PT Asabri (Persero). Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan- mengatakan kajian itu berawal dari keluhan BPJS Ketenagakerjaan kepada komisi antirasuah pada awal 2019.
BPJS menyurati KPK menyusul rencana Taspen mengambil alih pengelolaan jaminan- kecelakaan kerja dan kematian pegawai honorer pemerintah, yang saat ini masih dikelola BPJS. Untuk mengambil alih layanan itu, Taspen membutuhkan peraturan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi sebagai aturan pelaksana.
Polemik jaminan sosial buat pegawai honorer itu membuka kotak Pandora jaminan sosial ketenagakerjaan. Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, yang terbit delapan tahun lalu, memerintahkan Asabri dan Taspen mengalihkan program asuransi sosial dan pensiun ke BPJS Ketenagakerjaan paling lambat pada 2029. Tata cara pengalihan akan diatur dengan peraturan pemerintah.
Taspen dan Asabri merancang peta jalan berbeda dengan mengajukan revisi Undang-Undang BPJS dan Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional. “Intinya, Taspen dan Asabri tidak mau digabung dengan BPJS Ketenagakerjaan,” ujar Pahala.
Asabri masih berharap dapat mengusulkan perubahan Undang-Undang BPJS sekaligus penerbitan Undang-Undang BPJS Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian RI. Menurut juru bicara Asabri, Desy Ananta Sembiring, tentara dan polisi adalah profesi dengan risiko tinggi. “Diperlukan pembinaan yang bersifat khas, yang tidak bisa disamakan dengan aparat sipil atau pekerja pada umumnya,” tuturnya, Kamis, 11 Juli lalu.
Adapun Direktur Utama Taspen Iqbal Latanro mengakui Taspen tidak menyiap-kan- peta jalan pengalihan program ke BPJS. “Saya belum mendapat instruksi bahwa- kami harus melakukan transformasi atau penggabungan,” kata Iqbal di kantor pusat Taspen, Cempaka Putih, Kamis, 25 Juli lalu.
Saat menerima petugas KPK, Ariyandi menjelaskan semua peraturan yang menjadi landasan Taspen bertahan menjalankan jaminan sosial buat aparat sipil negara. Namun kajian KPK berkata lain. Dalam kajian tersebut, KPK antara lain menyatakan tarif premi jaminan kematian Taspen, yang nilainya 0,72 persen dari gaji pegawai per bulan, lebih tinggi dibanding premi BPJS yang hanya 0,30 persen dari gaji. Negara sebagai pembayar premi harus menyetor lebih mahal Rp 246 miliar bila jaminan kematian honorer nanti dikelola Taspen.
KPK telah mengirim surat kepada Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Syafruddin pada 17 Juli lalu. Isinya merekomendasikan jaminan sosial bagi pegawai honorer tetap dikelola BPJS Ketenagakerjaan. “Nanti saya cek dulu. Saya harus koordinasi dengan Kementerian Keuangan,” ucap Deputi Bidang Sumber Daya Manusia Aparatur Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara Setiawan Wangsaatmaja di sela Presidential Lecture 2018 di Istora Senayan, Jakarta, Rabu, 24 Juli lalu.
Adapun Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Askolani mengatakan jaminan sosial buat pegawai honorer merupakan urusan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara. “Bisa ditanyakan ke Kemenpan, yang sudah membahas dan memutuskan hal itu,” kata Askolani, Selasa, 23 Juli lalu.
Iqbal Latanro mengakui KPK sudah memberikan rekomendasi. Taspen menerima tembusan suratnya. Namun, dia menerangkan, Taspen melanjutkan bisnis seperti biasa. “Tentu kami punya hak memberikan masukan kepada pemerintah,” ujarnya.
KHAIRUL ANAM
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo