Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Manajemen Bank Muamalat akhirnya mengusulkan skema baru untuk menyelesaikan masalah permodalan perusahaan kepada pemerintah. Dua petinggi bank syariah tertua di Indonesia itu, Direktur Utama Achmad Kusna Permana dan Komisaris Utama Ilham Habibie, menemui Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Luky Alfirman, Kamis siang, 25 Juli lalu.
Luky mengkonfirmasi soal pertemuan yang berlangsung di kantornya, kompleks Kementerian Keuangan, kawasan Lapangan Banteng, Jakarta, tersebut. Tanpa memaparkan usul skema yang dimaksud, ia memastikan pemerintah sedang mempelajari konsep yang disodorkan manajemen Bank Muamalat. “Kami masih mengkaji usul mereka,” ujarnya, Jumat, 26 Juli lalu.
Dalam skema baru itu, menurut pejabat yang mengetahui pertemuan tersebut, muncul alternatif menggunakan surat berharga syariah negara atau sukuk negara sebagai salah satu opsi sumber pembiayaan. Pertimbangannya: biaya obligasi yang diterbitkan pemerintah akan jauh lebih murah.
Anto Prabowo./kemenkeu.go.id, uii.ac.id
Usul baru itu muncul di tengah penolakan Otoritas Jasa Keuangan terhadap skema penyehatan yang diajukan manajemen Muamalat. Perusahaan menghadirkan Al Falah Investments Pte Limited sebagai calon investor yang akan mengakuisisi sekitar 50,3 persen dari seluruh saham yang diterbitkan Bank Muamalat. Nilai pengambilalihan itu setara dengan Rp 2,2 triliun. Rencana itu sempat mengembuskan angin segar bagi perusahaan yang sedang megap-megap setelah menanggung pembiayaan seret dalam jumlah besar tersebut.
Manajemen Muamalat sibuk mencari mitra untuk meningkatkan permodalan beberapa tahun terakhir. Dari belasan calon investor yang berminat, hanya Al Falah yang paling maju, sampai melakukan uji tuntas. Yang lain langsung “balik kanan” begitu ditanyai keseriusannya.
Kesulitan yang dialami Muamalat terjadi sejak empat tahun lalu. Pada 2015, kredit macet kotor bank ini mencapai 7,11 persen dengan rasio kecukupan modal cuma 12 persen. Tiga tahun kemudian, kredit seret Muamalat mulai berkurang, tapi modal kerja tetap pas-pasan di angka 12,34 persen berdasarkan laporan tahunan 2018. Tahun lalu, OJK menyebutkan, Muamalat memerlukan suntikan dana segar paling tidak Rp 4 triliun. Karena itu, Otoritas meminta para pemegang saham menyetor duit untuk memperkuat keuangan perusahaan.
Tapi pemegang saham Muamalat, seperti Islamic Development Bank (IDB), National Bank of Kuwait, dan SEDCO Group, tak bisa melakukannya. Sebab, porsi saham mereka di Muamalat telah menyentuh batas maksimal. IDB bahkan telah memegang 32,7 persen saham Muamalat, melebihi batas kepemilikan mereka di perusahaan lain yang rata-rata 20 persen.
Tak mengherankan bila Al Falah membawa angin segar. Perusahaan yang berbadan hukum di Singapura ini dimiliki dan didirikan Ilham Habibie dan CP5 Hold Co 2 Limited. Adapun CP5 adalah perusahaan investasi yang modalnya berasal dari dana kelolaan SSG Capital Management Limited. SSG merupakan perusahaan pengelola aset yang berpusat di Hong Kong, yang nilai kelolaannya lebih dari US$ 5 miliar.
Berdasarkan prospektus Bank Muamalat 17 April 2019, Al Falah sedang dalam proses perubahan komposisi pemegang saham. Nantinya Ilham Habibie mengendalikan sekitar 51 persen saham Al Falah, sementara CP5 memegang 49 persen. Al Falah disebut memiliki kapitalisasi keseluruhan US$ 121 juta atau sekitar Rp 1,7 triliun.
Dalam rencana akuisisi, Al Falah akan mengambil 77,1 persen dari total saham baru yang dikeluarkan Bank Muamalat dalam penawaran umum terbatas melalui pelaksanaan hak memesan efek terlebih dahulu. Caranya, membeli hak memesan efek lebih dulu dari pemegang saham yang ada sekarang atau berperan sebagai pembeli siaga dalam penawaran umum terbatas Bank Muamalat.
Al Falah memastikan perusahaan menggunakan dana internal untuk membiayai proses akuisisi tersebut. Perusahaan menjamin dananya tidak berasal dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam bentuk apa pun dari bank atau pihak lain di Indonesia. Bila akuisisi rampung, Ilham Habibie dan SSG secara bersama akan mengendalikan Bank Muamalat.
Ilham Habibie./TEMPO/M Taufan Rengganis
RAPAT umum pemegang saham Bank Muamalat pada 17 Mei lalu menyetujui Al Falah menguasai 50,3 persen saham perseroan. Selain Al Falah, masuk Koperasi Simpan Pinjam (Kospin) Jasa dan Lynx Asia sebagai pemegang saham minoritas. Ketiganya berkomitmen mengikuti penawaran umum terbatas VI senilai Rp 2,2 triliun. Rinciannya: dana dari Al Falah Rp 1,7 triliun, Kospin Jasa Rp 250 miliar, Lynx Asia Rp 50 miliar, dan sisanya diharapkan Muamalat dapat terserap oleh pembeli siaga lain di pasar modal.
Sekretaris Perusahaan Bank Muamalat Hayunaji mengatakan dana tersebut telah masuk ke rekening penampung (escrow account) di bank nasional. Rencananya, rights issue digelar pada semester kedua nanti. Rapat umum juga meminta penerbitan saham baru lewat hak memesan efek terlebih dahulu senilai Rp 2 triliun menjadi satu paket dengan tukar guling aset.
Tapi rencana akuisisi tak berjalan mulus. Bila mengacu pada prospektus, penerbitan saham baru semestinya terlaksana pertengahan Juli 2019. Sebelumnya, perusahaan menjadwalkan penerbitan saham baru pada Januari 2019 dan Desember 2017. Namun Hayunaji memastikan rencana tersebut masih berjalan. Kali ini Muamalat memerlukan pembaruan audit atas laporan keuangan. Perusahaan juga masih membahas hal ini bersama Otoritas Jasa Keuangan. “Kami mengikuti aturan dan arahan dari regulator,” kata Hayunaji.
OJK masih mempersoalkan transaksi penyehatan Muamalat yang menggunakan skema tukar guling aset. Konsorsium membeli aset Muamalat bernilai rendah, seperti kredit macet, sebesar Rp 6 triliun untuk ditukar dengan surat berharga senilai Rp 8 triliun yang tingkat kuponnya 0 persen. Sebaliknya, Muamalat, yang kurang bayar Rp 2 triliun, akan memenuhinya lewat penerbitan sukuk Rp 1,6 triliun dengan nilai kupon 8 persen selama 20 tahun. OJK menilai penyehatan Bank Muamalat harus dilakukan dengan dana segar, bukan surat utang.
Mencari Juru Selamat
Deputi Komisioner Hubungan Masyarakat dan Manajemen Strategis OJK Anto Prabowo mengatakan, supaya Bank Muamalat lebih berkembang, dibutuhkan investor yang dapat menambah kapasitas. Prinsipnya, kata dia, OJK terbuka kepada siapa pun yang akan menjadi investor sepanjang mereka memiliki dana yang disimpan di rekening penampung.
Pengusaha yang sempat disebut-sebut sebagai calon investor Bank Muamalat, Dato Sri Tahir, menyatakan diperlukan dana segar sedikitnya Rp 10 triliun agar Bank Muamalat bisa berjalan dengan baik. “Harus dana segar, tidak bisa hanya rekayasa keuangan di atas kertas (paper engineering),” ujarnya, Jumat, 26 Juli lalu.
Ihwal opsi menggunakan sukuk negara, Anto mengaku belum mendengar. Penggunaan dana pemerintah, dia menjelaskan, sudah diatur dan punya mekanisme di Komite Stabilitas Sistem Keuangan. Adapun Luky Alfirman tak membantah kabar bahwa ada opsi menggunakan sukuk negara. “Sedang kami pelajari skemanya.” Sedangkan Achmad Kusna Permana dan Ilham Habibie memilih tak berkomentar.
Anggota Komisi Keuangan dan Perbankan Dewan Perwakilan Rakyat, Eki Muharam, menyebutkan proses penyehatan dan penyelamatan sebuah bank sudah diatur dalam Undang-Undang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan dan peraturan terkait lain. Ia menilai kebijakan penyehatan dan penyelamatan harus diambil OJK karena tuntutan sejarah dan keberpihakan pada ekonomi syariah. “Bank Muamalat tidak membebani negara saat krisis moneter lalu, berbeda dengan bank-bank lain yang saat itu menyedot ratusan triliun rupiah dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia.”
Ekonom Universitas Indonesia, Lana Soelistianingsih, juga mendorong pemerintah membantu menyelesaikan persoalan bank syariah tertua di Tanah Air tersebut. Hal ini sekaligus bisa menjadi momentum untuk memperbaiki kinerja industri perbankan syariah yang secara keseluruhan kurang bagus.
RETNO SULISTYOWATI, PUTRI ADITYOWATI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo