Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kinerja industri di Cina terus merosot.
Warga Cina yang berinvestasi di properti kehilangan tabungan.
Cina memerlukan suntikan insentif.
KELESUAN makin serius membekap ekonomi Cina. Semua negara tak bisa mengabaikan persoalan itu atau menganggap enteng dengan mengatakan, “Itu bukan masalah saya.” Kelesuan ekonomi Cina sangat berisiko menular dengan cepat bak pandemi Covid-19 yang mendisrupsi ekonomi banyak negara, termasuk Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kita lihat dulu angkanya. Indeks harga produsen di Cina terus merosot 23 bulan terakhir. Per Agustus 2024, indeks itu turun lagi 1,8 persen secara tahunan. Artinya, terjadi deflasi di tingkat produsen yang harus menurunkan harga lantaran permintaan konsumen melemah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu sebabnya adalah harga properti yang anjlok. Warga Cina yang berinvestasi di properti kehilangan tabungan secara signifikan. Merosotnya harga saham di bursa Cina juga menggerus tabungan. Dalam tiga tahun terakhir, penduduk Cina yang berinvestasi di saham sudah kehilangan US$ 6 triliun atau hampir Rp 100 ribu triliun. Ini lebih dari enam kali lipat produk domestik bruto Indonesia. Konsumen yang kehilangan tabungan dan investasi tentu akan mengurangi konsumsi.
Untuk memulihkan daya beli konsumen, diperlukan suntikan insentif pemerintah. Ibaratnya baterai yang sudah lemah harus diisi ulang agar permintaan tidak kian lesu. Para ekonom menghitung, pemerintah Cina perlu menyuntikkan insentif senilai US$ 1,4 triliun atau sekitar Rp 21.630 triliun. Angka ini lebih dari tujuh kali lipat nilai total rencana anggaran pemerintah Indonesia tahun depan.
Namun bukan soal besarnya nilai insentif yang menjadi penghalang. Masalahnya, Presiden Cina Xi Jinping punya ide berbeda tentang bagaimana menjalankan ekonomi. Alih-alih memberi insentif kepada konsumen rumah tangga, pemerintah Cina lebih suka menyuntikkan insentif dengan cara mengguyurkan utang secara besar-besaran pada sektor industri. Xi berambisi menjadikan Cina rajadiraja beberapa industri strategis untuk menguasai dunia. Sektor yang menjadi pilihan antara lain mobil listrik, panel surya, robotik, dan teknologi informasi berbasis kecerdasan buatan.
Di seluruh Cina pun berlangsung jorjoran guyuran pinjaman dan pembangunan industri. Walhasil, terjadilah pertumbuhan kapasitas yang luar biasa. Sementara itu, daya beli konsumen sedang melemah. Produsen akhirnya harus banting harga, tak apa tak ada untung yang penting ada uang masuk untuk membayar utang. Jalan keluar lain: menjual murah kelebihan produksi itu ke pasar ekspor alias dumping ke seluruh dunia.
Kelebihan kapasitas industri baja di Cina, misalnya, sudah lebih besar ketimbang gabungan semua kapasitas produksi baja Jerman, Jepang, dan Amerika Serikat. Tahun ini, jumlah ekspor baja dengan harga dumping dari Cina akan mencapai 100 juta ton. Industri baja di banyak negara terancam bangkrut tak mampu berkompetisi. Hal serupa terjadi pada mobil listrik, panel surya, elektronik robotik, juga segala industri turunannya.
Banjir dumping barang Cina ini menimbulkan disrupsi ekonomi di seluruh dunia. Dampak negatifnya menyentuh segala lapisan. Ibaratnya Cina sedang mengekspor masalah ekonominya ke seluruh dunia. Kelesuan ekonomi dan kelebihan produksi Cina yang berskala maharaksasa itu pelan-pelan juga akan membunuh industri dasar ataupun barang-barang manufaktur di banyak negara.
Itulah sebabnya belakangan ini kita melihat begitu banyak negara menaikkan tarif bea masuk setinggi mungkin terhadap barang dari Cina agar industri domestik tidak tumbang. Amerika Serikat dan Uni Eropa langsung menaikkan tarif bea masuk, misalnya, untuk mobil listrik. Di Indonesia, perdebatan tentang kenaikan tarif barang-barang Cina juga sudah bergulir. Bahkan tak hanya menargetkan barang tertentu, pemerintah berencana mengenakan tarif 200 persen untuk semua barang impor dari Cina.
Tapi sampai sekarang kenaikan tarif itu masih berupa rencana. Padahal sektor manufaktur di negeri ini makin sempoyongan. Aktivitas produksi yang menurun memicu banyak pemutusan hubungan kerja alias PHK. Presiden Joko Widodo, yang selama ini terkenal dekat dengan Xi Jinping, sepertinya enggan mengambil kebijakan yang bisa mengecewakan sahabat baiknya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo